DIBUANG ANAKNYA, DIKEJAR-KEJAR AYAHNYA?
Bella tak menyangka akan dikhianati kekasihnya yaitu Gabriel Costa tapi justru Louis Costa, ayah dari Gabriel yang seorang mafia malah menyukai Bella.
Apakah Bella bisa keluar dari gairah Louis yang jauh lebih tua darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ria Mariana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Keesokan harinya, Bella duduk tegang di kursi penumpang. Dia terus-menerus menatap jalanan dan merasakan tatapan Louis sesekali menoleh ke arahnya.
Setibanya di kampus, mobil mewah itu menarik perhatian banyak orang. Ketika Bella membuka pintu dan turun, semua mata langsung tertuju padanya. Bisikan-bisikan mulai terdengar di sekitarnya.
Bagaimana bisa Bella, mahasiswi yang dikenal miskin, turun dari mobil seperti itu?
"Hei, itu kan Bella?"
"Serius, dia naik mobil semewah itu? Gimana bisa?"
"Wow, pasti ada yang aneh di sini."
Bella menundukkan kepala, merasa sangat canggung. Tiba-tiba, dari kejauhan, Gabriel berdiri memandanginya. Ketika mobil Louis pergi, Gabriel berjalan mendekat dan sikapnya sangat dingin.
"Oh, jadi sekarang kamu langsung dapat sugar daddy kaya setelah putus denganku?" tanya Gabriel.
"Ini bukan urusanmu, Gabriel."
"Benarkah? Aku hanya ingin tahu. Secepat itu kamu pindah ke pria kaya setelah kita selesai? Apa dia memberimu semua yang ka,u mau?"
"Kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan asal bicara!" jawab Bella.
"Aku melihat dengan mataku sendiri. Kamu turun dari mobil mewah, dan sekarang apa? Kamu ingin bilang bahwa semua ini kebetulan?" tanya Gabriel.
"Kamu tidak tahu apa-apa tentang kehidupanku sekarang. Apa yang kulakukan atau tidak kulakukan itu bukan urusanmu!" jawab Bella.
"Kita pernah bersama. Aku hanya tidak mengerti bagaimana bisa kamu berubah begitu cepat," sahut Gabriel.
"Dengar, Gabriel! Kamu memang pernah jadi bagian dari hidupku, tapi sekarang semuanya sudah berbeda. Apa yang terjadi sekarang antara aku dan Louis bukan urusanmu."
"Louis?" Gabriel mengernyitkan keningnya. "Jadi, pria itu namanya Louis?"
"Sudah kubilang, bukan urusanmu."
"Aku tidak mengenalmu lagi," kata Gabriel.
"Kamu tidak perlu mengenalku lagi karena yang ada sekarang bukan urusanmu," ucap Bella.
Saat Bella mencoba melangkah menjauh dari Gabriel, tiba-tiba kakinya tersandung sesuatu. Dia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tanah, buku-buku dan tasnya terlempar. Rasa sakit menusuk lututnya, dan sebelum ia bisa bangun, terdengar suara tawa sinis.
"Haha, lihat siapa yang jatuh sekarang. Kamu mungkin punya sugar daddy, tapi itu nggak akan menyelamatkanmu di sini."
Bella mendongak, wajahnya memerah karena malu dan kesal. Gabriel berdiri di atasnya, menyilangkan tangan dengan senyum puas di wajahnya.
"Kamu pikir dengan pria kaya itu, hidupmu bakal mudah di kampus? Aku akan pastikan hari-harimu di sini jadi neraka," kata Gabriel dengan angkuh.
Bella merasa dadanya sesak, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Orang-orang di sekitarnya hanya melihat, berbisik, tapi tak ada yang berani membantu. Tangannya gemetar saat ia mencoba bangkit lalu menyeka debu dari bajunya. Ia menatap Gabriel tajam, tapi tetap saja ia merasa lemah di hadapannya.
"Kenapa? Mau bilang sesuatu?" tanya Gabriel.
"Kamu benar-benar menyedihkan!" kata Bella.
"Oh, aku menyedihkan? Kamu yang menjual diri untuk pria kaya, tapi aku yang menyedihkan? Ingat ini! Selama kamu ada di sini, aku akan memastikan hidupmu tidak pernah tenang."
Bella ingin membalas, tapi mulutnya terasa kaku. Ia tahu, Gabriel tidak akan berhenti sampai dia puas. Daripada memicu lebih banyak masalah, Bella memutuskan untuk tidak memperpanjang konflik.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Bella mengambil tas dan buku-bukunya yang berserakan di lantai. Tangannya gemetar, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Setelah semuanya terkumpul, dia melangkah pergi dengan cepat, meninggalkan Gabriel yang masih tertawa di belakangnya.
Dengan hati yang masih kesal, Bella melangkah ke dalam kelas dan berusaha keras mengabaikan tatapan teman-teman sekelasnya. Bisikan dan tawa pelan terdengar di belakang punggungnya membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Namun, dia mencoba menenangkan dirinya, berharap setidaknya di kelas dia bisa berfokus dan melupakan kejadian dengan Gabriel.
Namun, sebelum Bella bisa duduk, tiba-tiba Alice mendekat dengan langkah angkuh. Senyum sinis di wajahnya membuat Bella segera waspada. Alice berjalan langsung ke meja Bella, memegang sesuatu di tangannya yang dibungkus kertas.
"Hai, Bella. Apa kabar?" tanya Alice.
Bella menatap Alice curiga.
"Apa maumu, Alice?"
Alice tersenyum lebar, tapi senyum itu jelas penuh dengan niat buruk. Tanpa berkata apa-apa lagi, Alice membuka bungkusan kertasnya dan tiba-tiba menumpahkan isinya yaitu sampah sisa makanan dan kotoran tepat di kepala Bella.
"Hah, sekarang kamu cocok dengan statusmu!"
Alice tertawa keras, sementara seluruh kelas ikut tertawa mengejek.
Bella tersentak kaget. Sisa makanan dan bau tidak sedap langsung memenuhi penciumannya. Napasnya terengah-engah, dan tanpa berpikir panjang, dia mendorong Alice dengan sekuat tenaga.
"Kamu gila?!" teriak Bella.
Alice hampir terjatuh tapi dengan cepat menyeimbangkan dirinya. "Beraninya?!"
Tepat saat itu, Gabriel muncul di pintu kelas, tampaknya baru saja melihat apa yang terjadi. Dia langsung berjalan cepat mendekat.
"Apa-apaan ini?! Bella, kamu benar-benar sudah kelewatan!" kata Gabriel.
"Aku? Kamu serius? Ini pacarmu yang mulai duluan!" jawab Bella.
Gabriel tidak mendengarkan penjelasan Bella. Dia hanya menatap Alice dengan penuh perhatian.
"Kamu baik-baik saja, sayang?" tanya Gabriel.
"Dia mendorongku!" kata Alice.
"Bella, aku sudah bilang, aku akan membuat hidupmu jadi neraka di sini! dan kamu baru saja membuatnya jadi lebih rumit," kata Gabriel.
Alice tersenyum sinis di samping Gabriel.
"Jangan berharap ada yang membelamu! Di sini, kau tidak punya siapa-siapa," sahut Alice.
Bella merasa benar-benar terpojok. Semua mata di kelas tertuju padanya, dan tawa kecil dari teman-temannya semakin membuat situasi ini menyakitkan. Dia tahu, tidak ada gunanya membalas.
Bella menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.
"Kalian berdua benar-benar cocok menjadi pasangan," ucap Bella memutuskan untuk mengalah.
***
Sepulang kuliah.
Ketika Bella melangkah keluar dari gedung kampus, matanya langsung tertuju pada mobil mewah Louis terparkir di depan, persis di tempat di mana ia diturunkan pagi tadi. Jantungnya langsung berdegup kencang.
Tidak, aku tidak bisa naik mobil itu lagi. Aku tidak bisa kembali ke sana.
Tanpa berpikir panjang, Bella segera berbalik dan berlari menjauh. Napasnya mulai tersengal, tapi ia tidak berani berhenti.
Aku harus kabur. Aku harus keluar dari semua ini.
Namun, belum jauh Bella berlari, tiba-tiba seseorang menarik pergelangan tangannya dengan kasar dari belakang. Dia tersentak, terhuyung ke belakang, dan mendapati seorang pria tinggi berpakaian rapi, jelas suruhan Louis.
"Lepaskan aku!" teriak Bella, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria itu.
"Maaf, Nona, tapi Anda harus ikut kami," jawab pria itu dan memaksa Bella menuju mobil yang sudah menunggunya.
"Aku bilang lepaskan! Aku tidak mau ikut denganmu!"
Pria itu tidak peduli dengan protes Bella. Dengan tenaga yang jelas jauh lebih kuat, dia memaksa Bella menuju mobil.
"Jangan buat ini lebih sulit dari yang seharusnya, Nona. Tuan Louis sudah menunggu."
"Aku tidak peduli!" Bella berteriak.
Dia melihat sekeliling, berharap ada seseorang yang melihat atau bahkan menolongnya, tapi kampus sudah mulai sepi. Semua orang seolah terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri.
Dengan satu dorongan kuat, pria itu membuka pintu mobil dan memaksa Bella masuk ke dalam.
"Masuk," katanya sambil menekankan tubuh Bella ke dalam kursi penumpang.
Begitu Bella masuk, pintu segera tertutup dengan suara keras. Dia melihat ke luar, tetapi semuanya terlihat buram dan tak terjangkau. Dia mencoba membuka pintu, namun terkunci rapat.
Tiba-tiba, pintu di sebelahnya terbuka, dan Louis masuk dengan tenang, duduk di sampingnya.
"Kamu pikir bisa kabur dariku, Bella?" tanya Louis.
"Aku bukan milikmu. Kamu tidak bisa memaksaku seperti ini," jawab Bella.
"Sudah kubilang. Kamu milikku sekarang."
Mata Louis langsung mengarah ke lutut dan tangan Bella yang terluka akibat terjatuh pagi tadi.
"Ada apa dengan lutut dan tanganmu?" tanya Louis.
"Anak dan ayah sama saja!" ucap Bella.
Louis terdiam, dia langsung menarik tubuh Bella supaya lebih dekat dengannya kemudian menciumi lehernya.
"Lepaskan, aku!" teriak Bella.
"Aku sudah menentukan tanggal pernikahan kita, tepat dua minggu lagi," kata Louis.
"Sadarlah! Aku anak kecil."
"Tapi bisa membuat anak kecil kan?" tanya Louis dengan senyuman menyeringai.