Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Beberapa hari kemudian ....
Tet!
Bel berbunyi. Saat kubuka pintu, Carlos sudah berdiri di hadapanku.
"Apa kamu sudah siap?" tanyanya.
"Sudah!" balasku sambil menunjukan sebuah koper besar.
Ya, hari ini aku akan pulang ke Indonesia. Hari yang paling kutakuti selama lima tahun terakhir ini. Namun, kali ini aku sudah menguatkan tekat untuk kembali. Dan sudah bersiap untuk menanggung segala resikonya.
Carlos membawa barang-barangku ke mobilnya. Setelah semua selesai, kami langsung meluncur ke bandara.
Di bandara, Carlos tidak mau jauh-jauh dariku. Dia terus menggenggam tanganku, sambil sesekali menciumnya.
"Saat kamu kembali ke sini, kita akan segera menikah," ucapnya.
"Ya, aku tidak akan lama," balasku.
Kulihat ponsel, waktu keberangkatan sudah semakin dekat. Carlos yang menyadarinya langsung menarik tubuhku mendekat dan memelukku. Mata kami kembali beradu. Lalu, kami pun berciuman.
"Aku cinta padamu," bisiknya.
"Aku juga cinta padamu," balasku.
"Jangan lupa menghubungiku."
"Aku tidak akan lupa."
Aku mulai beranjak dari tempatku berdiri, masuk ke dalam bandara. Sesekali menoleh ke arah Carlos yang masih tetap berdiri di sana. Menungguku menghilang dari pandangannya.
Tak lama, aku sudah masuk ke dalam pesawat. Di dalam pesawat, pikiranku menerawang. Apakah Siluman Ular itu akan mengetahui kepulanganku?
Setelah melalaui perjalanan yang panjang. Aku pun tiba di Indonesia. Lega rasanya bisa kembali ke tanah kelahiranku. Suasana bandaranya pun sudah sangat jauh berbeda dengan sebelumnya. Lebih ramai dan bagus.
Aku masih tetap menunggu di bandara, sambil menunggu jadwal penerbangan berikutnya dari Jakarta ke Yogyakarta. Ya, tempat yang kutuju pertama adalah rumah Tante Maria. Dia tidak mengetahui kedatangan ke Indonesia.
Setibanya di Yogyakarta, aku menaiki taksi menuju rumah Tante Maria. Dia masih tinggal di tempat yang sama. Taksi pun berhenti tetap di depan rumahnya. Aku berjalan mendekati pintu rumahnya, lalu menekan bel. Terdengar suara sahutan dari dalam rumah.
"Novita?" Tante Maria kaget dengan kedatanganku.
"Ini beneran Novita?" Dia masih belum percaya.
"Iya, Tante!" balasku seraya memeluknya.
Tante mengajakku masuk ke dalam. Kami pun duduk dan mengobrol di ruang tengah.
"Kamu pulang kok gak bilang-bilang sih?" tanya Tante Maria, sambil menuangkan teh ke cangkir kecil.
"Biar jadi kejutan aja."
"Tapi ... kamu gak khawatir sama si ...," ucap Tante Maria dengan suara pelan.
"Gak, Tan. Biarin aja."
"Jadi maksud kamu pulang apa?"
"Novita cuman mau minta izin aja, sama bunda, tante dan keluarga besar lainnya."
"Minta izin apa?"
"Novita mau segera menikah," ucapku tersenyum.
"Sama siapa?"
Kuambil ponsel, lalu menunjukan foto-foto kebersamaanku dengan Carlos.
"Ganteng ya!" ucap Tante Maria.
"Banget," balasku.
"Rio ke mana, Tan?" sambungku.
"Lagi tidur di kamarnya, abis begadang."
"Ya ampun tuh anak!"
"Bangunin gih!"
Aku berjalan ke arah kemar Rio.
Kriet!
Kubuka pintu kamarnya yang tidak dikunci. Suasananya gelap sekali. Kunyalakan lampu kamar.
"Uh! Ibu silau!" protesnya dengan mata tertutup.
"Bangun woy!" teriakku.
"Hah?" Dia membuka matanya perlahan.
"Novita?"
"Iye!"
"Kapan lu balik ke Indo?" tanyanya.
"Barusan. Dah buruan bangun! Gw mau tepati janji ngajak lu makan."
"Wuih, asik nih."
"Gw tunggu di luar ya." Aku ke luar kamar, kembali berjalan menuju ruang tengah.
Tak lama Rio sudah bersiap. Kami pun akhirnya pergi ke sebuah restoran ternama di Jogja.
"Novita, apa Om Pras udah ngehubungin kamu?" tanya Tante Maria, di sela-sela makan.
"Pernah cuman aku langsung tutup."
"Loh kenapa?"
"Tante juga tau, Kan. Keluarga ayah terus ngehina Novita. Lagian mereka pernah bilang gak akan ngakuin Novita sebagai keluarga."
"Tapi Novita, kayanya Om kamu itu udah tau deh," ucap Tante Maria.
"Udah tau apa?"
"Tentang Pesugihan ayahmu."
"Masa?"
"Iya. Dia cerita kalau selama beberapa bulan coba tinggal di rumah kamu, tapi gak kuat. Banyak gangguan. Dari situ dia tau kalau ternyata ayah kamu ngelakuin pesugihan."
"Terus?"
"Kalau kamu mau tau, sebaiknya temuin Om Pras. Kasian dia dah nunggu bertahun-tahun untuk minta maaf sama kamu."
"Ah, gak deh."
"Iya gak usah," balas Rio, setuju.
"Lah, lu napa ikut-ikutan."
"Abisnya ntar pasti gw yang suruh anter ke Surabaya. Kan males."
"Tapi Novita harus tetep ke Surabaya, Yo!" ucap Tante Maria.
"Dia mau ke makam keluarga," lanjutnya.
"Yah ... ternyata traktirannya cuman jebakan," keluh Rio.
Aku dan Tante Maria pun tertawa.
Selesai makan, kami pun pergi ke Surabaya. Rio yang merasa terjebak, sejak tadi hanya memasang wajah cemberut.
"Sampe di Surabaya, gw traktir makan lagi," rayuku.
"Gak usah! Dah kenyang."
"Dih ngambek, Tan!"
Beberapa jam kemudian, kami sudah tiba di Surabaya. Aku langsung meminta Rio menuju hotel yang sudah ku-booking. Rencananya besok pagi baru pergi ke pemakaman keluargaku.
Keesokan harinya, Rio mengantarku ke pemakaman keluarga. Kulihat dua makam besar saling berdempetan, yaitu makam ayah dan bunda.
"Selama ini bunda pasti tersiksa harus berbaring bedekatan dengan ayah," ucapku pelan pada Tante Maria.
"Pasti, tapi keluarga ayahmu maksa dikuburkan di sana."
Aku berjalan, lalu berdiri di dekat makam bunda. Dengan mata tertutup, meminta izinnya untuk merestui pernikahanku nanti. Setelah itu, pergi ke makam Steven dan Kevin yang berdekatan. Lalu melakukan hal yang sama.
"Udah?" tanya Tante Maria.
"Udah, yuk pulang!"
"Kamu yakin mau langsung pulang?"
"Emang mau ke mana lagi?"
"Ke rumah Om Pras."
"Loh? Bukannya dia tinggal di Banyuwangi."
"Enggak. Kan semenjak ayahmu meninggal. Dia yang ngurus usaha mebelnya, jadi sekarang udah pindah Surabaya."
"Hmm ... gimana, Ya?" Aku berpikir, apakah perlu mendatangi orang yang sudah menghinaku.
"Selagi kamu ada di Indonesia," ucap Tante Maria.
"Oke deh."
Akhirnya kami pun pergi ke rumah Om Pras. Di sebuah perumahan yang tidak jauh dari tempat tinggalku dulu.
Saat melihat kedatanganku dia sangat terkejut. Berkali-kali kata maaf yang terlontar dari mulutnya. Ya, dia sudah tau tentang kejahatan kakaknya itu. Dia sendiri merasakan teror yang menakutkan selama beberapa bulan tinggal di bekas rumahku.
"Kamu tau Novita, Ahmad sudah juga sudah meninggal," ucap Om Pras.
Sebulan setelah ayah dan bunda meninggal. Pak Ahmad yang sempat bekerja untuk menjaga rumahku, tiba-tiba menghilang. Beberapa hari kemudian, jenazahnya ditemukan di kebun dekat rumahnya, dalam posisi tergantung ke pohon.
"Biarin dia menerima ganjarannya," ucapku kesal.
Setelah mendengarkan semua cerita Om Pras. Tiba-tiba muncul keinginan untuk melihat rumahku.
Sepulangnya dari rumah Om Pras, aku meminta Rio untuk sekedar melewati rumahku. Mobil sudah memasuki komplek perumahanku dulu. Suasananya agak sepi, saat kami tiba di belokan terakhir.
Rio memperlambat laju mobilnya, dan berhenti tepat di depan rumahku. Terlihat sebuah rumah yang sangat gelap dan tak terawat. Rumput panjang sudah menutupi halaman depan. Pagarnya pun sebagian sudah rusak dan berkarat. Semua kaca jendelanya pecah dan satu pintu depan hilang. Sebuah rumah bekas pesugihan, yang menyimpan banyak cerita kelam di dalamnya.