Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang sebuah perbedaan
Tama duduk sendirian di sudut kafe, menatap kosong ke luar jendela. Di luar, hujan turun deras, tapi pikirannya jauh lebih kacau dari sekadar rintik-rintik air yang membasahi jalan. Di tangannya, secangkir kopi yang mulai dingin, tak tersentuh sejak ia memesannya setengah jam yang lalu. Hari ini, seperti banyak hari-hari sebelumnya, pikirannya kembali berkutat pada satu hal yang sama, yaitu Freya.
Sejak pertama kali bertemu dengan Freya, Tama tahu ada sesuatu yang berbeda. Perempuan itu begitu memesona, bukan hanya karena kecantikan luarnya, tapi juga karena jiwa dan cara berpikirnya yang begitu dalam. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari buku-buku favorit, pandangan hidup, hingga mimpi masa depan. Setiap kali bersama Freya, Tama merasa seperti dunia ini jauh lebih sederhana, lebih bermakna.
Namun, ada satu hal yang membuat hatinya terus berperang dengan pikirannya, dengan agama yang mereka anut dan percaya. Tama seorang Muslim yang taat, sementara Freya berasal dari keluarga Katolik yang juga sangat religius. Dalam diam, ia tahu bahwa hubungan mereka, seindah apapun, akan penuh tantangan.
Setiap malam, ketika ia mencoba tidur, pikirannya selalu dipenuhi oleh bayangan Freya. Ia membayangkan bagaimana rasanya jika bisa hidup bersama dengan Freya, menjalani hari-hari dengan perempuan yang begitu ia cintai. Namun, setiap kali rasa itu muncul, logikanya menegur—bagaimana mungkin ia bisa menyatukan cinta ini dengan perbedaan yang begitu mendasar?
"Apa yang aku lakukan? Apakah aku bisa memperjuangkan cinta ini? Apa aku siap untuk menghadapi apa yang mungkin terjadi? Orang tua, keluarga, kepercayaan ... semuanya begitu berat," gumam Tama.
Hatinya berbisik bahwa cinta adalah segalanya. Bahwa perasaan yang ia miliki untuk Freya tak bisa diabaikan begitu saja. Setiap senyum Freya, setiap kali mereka saling berbagi cerita, semuanya terasa begitu tulus dan nyata. Cinta ini bukan sekadar ketertarikan sesaat. Ini lebih dari itu. Ini adalah rasa nyaman, rasa ingin melindungi, rasa ingin bersama.
Namun, logikanya berteriak lebih keras. Cinta memang penting, tapi apa itu cukup? Tama tahu bahwa perbedaan agama bukan masalah sepele. Keluarganya sangat memegang teguh tradisi dan keyakinan, begitu juga dengan keluarga Freya. Bagaimana ia bisa menjelaskan kepada mereka bahwa ia jatuh cinta pada seseorang yang berbeda keyakinan?
Suatu malam, saat ia berbicara dengan Freya tentang masa depan, pertanyaan itu akhirnya muncul ke permukaan. Dengan suara hati-hati, Freya menanyakan, “Tama, bagaimana kita akan menghadapi semua ini? Kamu tahu kan, kalau kita terus bersama, jalan yang kita hadapi nggak akan mudah?”
Dan di tengah derasnya hujan, Tama sadar bahwa tak ada jawaban yang mudah. Bagaimanapun, ia harus memilih—antara cinta yang membara atau keyakinan yang tak tergoyahkan.
***
Tama duduk di meja makan, matanya menatap cangkir teh yang sudah mulai dingin di depannya. Di seberang meja, ibunya, Bu Rini, sedang sibuk merapikan piring-piring setelah makan siang. Keheningan di antara mereka terasa berat bagi Tama, yang sudah lama ingin membuka percakapan ini. Ia tahu ibunya, seorang wanita yang sangat memegang teguh ajaran agama, akan sulit menerima apa yang akan ia katakan.
Dengan tarikan napas panjang, Tama akhirnya berkata, "Bu, aku mau ngomong sesuatu."
Bu Rini berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah Tama. "Ada apa, Nak?" tanyanya lembut. Senyum keibuannya selalu memberikan rasa tenang bagi Tama, tapi kali ini, hatinya justru terasa semakin berat.
Tama meremas tangannya di bawah meja, mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku ... aku lagi dekat sama seorang gadis, Bu."
Bu Rini tersenyum kecil. "Oh ya? Siapa namanya? Keluarganya dari mana?"
Tama menelan ludah, merasa gugup. Ini bagian yang sulit. "Namanya Freya, Bu. Dia baik, pintar, perhatian ... tapi, ada satu hal yang ingin aku kasih tahu."
Ibunya duduk kembali di kursi, memandang anaknya dengan mata penuh perhatian. "Apa itu, Nak?"
Tama terdiam sejenak, kemudian dengan suara pelan ia berkata, "Freya ... dia beragama Katolik."
Ruangan mendadak sunyi. Wajah Bu Rini, yang tadinya penuh senyum hangat, kini tampak berubah serius. Ia tidak langsung menjawab, tapi jelas terlihat bahwa pikirannya mulai bekerja, mencerna apa yang baru saja didengarnya.
"Katolik?" ulang Bu Rini perlahan, seolah memastikan bahwa ia tidak salah dengar.
Tama mengangguk, matanya tak berani menatap ibunya. "Iya, Bu. Freya beragama Katolik."
Hening sejenak. Bu Rini menatap anaknya dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara keterkejutan, kekhawatiran, dan sedikit kekecewaan. "Tama, kamu tahu kan, ini tidak akan mudah?"
Tama mengangguk lagi, kali ini lebih tegas. "Aku tahu, Bu. Aku sudah memikirkannya. Aku tahu perbedaan agama itu bukan hal sepele, tapi ... aku benar-benar jatuh cinta dengan Freya. Dia perempuan yang baik, dan aku merasa nyaman banget sama dia."
Bu Rini menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Nak, Ibu tidak ragu bahwa Freya mungkin gadis yang baik. Tapi, kamu tahu kan, kita punya keyakinan sendiri. Agama itu bukan cuma soal perbedaan di KTP. Ini soal bagaimana kita hidup, bagaimana kita beribadah, dan bagaimana membesarkan anak-anak nanti."
Tama mengerti kekhawatiran ibunya, tapi ia juga tahu perasaannya pada Freya. "Aku tahu, Bu. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaan ini. Aku sudah coba pikirkan semua kemungkinan, termasuk bagaimana kami bisa menjembatani perbedaan ini. Mungkin ... mungkin ada cara agar semua bisa berjalan."
Bu Rini menatap Tama dalam-dalam. "Nak, Ibu tahu cinta itu penting. Tapi pernikahan itu bukan cuma soal cinta. Apa kamu yakin bisa menghadapi semua tantangan yang ada? Kamu harus siap, bukan hanya dengan keyakinanmu sendiri, tapi juga dengan keluarga, lingkungan, bahkan nanti anak-anak kalian. Mereka akan dibesarkan dengan dua keyakinan yang berbeda. Apa kamu siap dengan itu?"
Tama terdiam, memikirkan kata-kata ibunya. Ia sudah memikirkan hal ini berkali-kali dalam beberapa hari terakhir, tapi mendengarnya dari mulut ibunya membuat semuanya terasa lebih nyata.
"Aku ... belum tahu, Bu. Tapi aku ingin coba. Aku ingin berjuang untuk hubungan ini. Mungkin sulit, tapi aku percaya kalau kami sama-sama mau, semuanya bisa dihadapi," ucap Tama dengan penuh keyakinan.
Bu Rini menggeleng pelan, matanya menunjukkan kesedihan. "Tama, cinta itu memang indah, tapi pernikahan dengan perbedaan keyakinan itu sangat sulit. Ibu hanya khawatir kalau kamu nanti terluka. Kamu tahu kan, keluarga kita sangat memegang teguh agama. Ayahmu ... pasti juga akan keberatan."
Tama merasakan beratnya kata-kata ibunya. Ia tahu, keputusannya ini tidak hanya akan memengaruhi dirinya dan Freya, tapi juga keluarga besar. "Aku ngerti, Bu. Tapi aku juga tidak bisa pura-pura nggak punya perasaan sama Freya. Aku benar-benar sayang sama dia."
Bu Rini menghela napas panjang. "Ibu nggak mau memaksakan kamu, Tama. Ibu cuma ingin yang terbaik untukmu. Kamu tahu agama itu fondasi hidup kita. Kalau kamu mau terus dengan Freya, kamu harus pikirkan semuanya dengan matang. Jangan cuma karena cinta, kamu mengabaikan hal-hal yang penting."
Tama menundukkan kepalanya. Ia tahu ibunya tidak salah. Perbedaan agama ini bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan mudah. Tapi ia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya pada Freya. Di dalam dirinya, perang antara hati dan logika terus berkecamuk. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar terjebak di antara dua dunia yang sama-sama penting baginya.
To be continued... like, comment, subscribe, and vote! ❤❤❤❤❤