Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Ruangan terasa sunyi setelah suara Dion menghilang dari telepon. Aku berdiri kaku di tempat, memandang kosong pada ponsel di tanganku. Seolah Dion masih ada di ujung sana, menatapku dengan tatapan penuh kontrol yang selama ini menghantuiku.
Andi, yang berdiri di sampingku, segera menyadari ada yang tidak beres. Dia melangkah mendekat, wajahnya penuh tanya. "Apa yang dia katakan, Kirana?"
Aku hanya mampu menggeleng. Nafasku tercekat, kata-kata Dion terngiang-ngiang di telingaku. ‘Aku selalu tahu di mana menemukanmu.’ Seperti ancaman, dingin dan menghantui.
Andi meletakkan tangan di bahuku, memberikan dorongan pelan. "Kirana, kamu harus cerita. Kalau dia membuatmu takut, kita harus bertindak.”
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kekuatan. "Dia bilang... dia tahu di mana aku berada. Seolah, dia selalu bisa mengikutiku ke mana pun aku pergi."
Andi mengerutkan dahi, menatapku dengan intens. "Itu tidak masuk akal. Bagaimana dia bisa tahu kita ada di sini? Aku bahkan tidak memberitahu siapa pun."
Aku menggeleng, rasa takut semakin merayapi. "Aku tidak tahu, Andi. Tapi Dion selalu punya cara. Selama ini, dia selalu tahu... semuanya." Suara terakhirku nyaris hanya berupa bisikan.
Andi mendengus, tampak geram. "Dia tak punya hak untuk mengendalikan hidupmu, Kirana. Kalau memang dia berani muncul di sini, aku sendiri yang akan memastikan dia tidak mendekat."
Kata-kata Andi terdengar begitu tegas, namun di balik itu aku tahu ada ketakutan yang tak terucap. Aku bisa melihatnya di matanya, kekhawatiran yang sama yang mulai menyerangku. Dion bukan orang yang mudah dihadapi. Dia akan melakukan apapun untuk mempertahankan kontrol atas kehidupanku.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyaku, merasa begitu tak berdaya.
Andi berpikir sejenak, lalu berkata, "Aku akan memanggil pihak berwenang lagi. Mereka perlu tahu bahwa ancamannya bukan sekadar kata-kata. Mungkin kita juga bisa memasang sistem keamanan di sekitar rumah ini."
Aku mengangguk, meski hatiku tak sepenuhnya tenang. "Dan setelah itu? Apakah aku harus terus bersembunyi dari Dion sepanjang hidupku?"
Andi menggenggam tanganku, menatap mataku dalam-dalam. "Tidak, Kirana. Kamu berhak mendapatkan kehidupanmu sendiri, tanpa bayang-bayang Dion. Percayalah, kita akan menemukan cara."
Suasana tiba-tiba terasa lebih berat. Aku ingin percaya kata-kata Andi, namun kenyataan di hadapanku membuatku ragu. Sejak pertama kali Dion mengancam, rasanya setiap jalan ke depan ditutup rapat.
Andi berdiri dan mengambil ponselnya, segera menghubungi pihak berwenang untuk melaporkan kejadian terbaru ini. Aku mendengar percakapan mereka, meski pikiranku melayang ke tempat lain. Kenangan akan hari-hari terakhir bersama Dion berkelebat dalam pikiranku, betapa cintanya dulu adalah dunia yang terasa aman dan nyaman. Sekarang, semuanya berubah menjadi penjara.
---
Malam itu, Andi memastikan semua pintu terkunci dan tirai tertutup rapat. Dia bahkan memasang sensor keamanan di depan pintu, berjaga-jaga seandainya Dion memutuskan untuk muncul. Namun, meskipun semua terlihat aman, hatiku masih saja merasa was-was.
Aku duduk di sofa dengan gelisah, tak bisa tidur. Perasaan bahwa Dion mungkin mengawasi dari balik kegelapan luar rumah mengusikku tanpa henti. Andi mendekat, membawa secangkir teh hangat dan duduk di sampingku.
“Sudah malam, Kirana. Cobalah untuk istirahat,” katanya pelan.
Aku memandangnya, tersenyum kecil meskipun lelah. "Aku takut, Andi. Setiap suara kecil di luar membuatku berpikir kalau itu Dion."
Andi menatapku dalam, lalu berkata dengan suara yang lembut namun penuh keyakinan, "Selama aku di sini, kamu aman, Kirana. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan, namun kali ini sedikit lebih tenang. Andi adalah satu-satunya orang yang membuatku merasa aman, meskipun ancaman dari Dion masih menggantung di udara. Aku hanya berharap bahwa kehadiran Andi benar-benar bisa menghentikan Dion.
---
Beberapa hari berlalu dengan ketenangan yang mencekam. Pihak berwenang menempatkan beberapa petugas di dekat rumah Andi, dan aku hanya bisa berharap ini cukup untuk menjauhkan Dion. Namun, pada hari ketiga, sebuah kejadian aneh membuat rasa takutku bangkit kembali.
Saat aku membuka pintu depan untuk mengambil koran pagi, aku menemukan sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana. Sebuah boneka kecil, dengan rambut acak-acakan dan pakaian yang mirip dengan baju favoritku. Mata boneka itu berwarna hitam legam, menatap kosong ke arahku, seolah-olah mengawasi setiap gerakanku.
Aku memandangi boneka itu, detak jantungku semakin cepat. Aku tahu ini bukan kebetulan. Ini jelas pesan dari Dion.
Andi datang menghampiriku, wajahnya berubah pucat saat melihat boneka itu. "Ini sudah keterlaluan. Dia sudah sampai di sini, Kirana. Kita harus meningkatkan keamanan, bahkan mungkin pindah tempat."
Aku tak menjawab, hanya bisa menatap boneka itu dengan perasaan takut yang semakin mendalam.
Saat malam tiba, aku tak bisa tidur sama sekali. Pikiranku terus dihantui oleh bayangan Dion yang mungkin mengintai di balik setiap sudut gelap. Andi duduk di sampingku, berusaha menenangkan dengan memegang tanganku erat-erat.
"Esok hari, aku akan bicara dengan polisi untuk memberikan perlindungan tambahan," ujarnya pelan.
Namun, tepat saat dia mengatakan itu, terdengar suara dari luar. Bunyi pelan, seperti langkah kaki di atas kerikil. Suara yang semakin mendekat.
Aku menahan napas, tak berani bergerak. Andi bangkit perlahan, memberi isyarat padaku untuk tetap diam.
Langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu. Ketegangan semakin tebal di udara, dan kami berdua hanya bisa saling memandang dalam keheningan.
Suara ketukan terdengar, pelan namun menggema di telinga kami.