Realita skripsi ini adalah perjuangan melawan diri sendiri, rasa malas, dan ekspektasi yang semakin hari semakin meragukan. Teman seperjuangan pun tak jauh beda, sama-sama berusaha merangkai kata dengan mata panda karena begadang. Ada kalanya, kita saling curhat tentang dosen yang suka ngilang atau revisi yang rasanya nggak ada habisnya, seolah-olah skripsi ini proyek abadi.
Rasa mager pun semakin menggoda, ibarat bisikan setan yang bilang, "Cuma lima menit lagi rebahan, terus lanjut nulis," tapi nyatanya, lima menit itu berubah jadi lima jam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 7
"Ta, bapak sarankan kamu belajar lagi. Dan kamu juga harus bisa pakai Mandlay," sarannya sambil menatapku dengan serius.
Aku merasa jantungku berdegup lebih kencang mendengar itu. Aku sudah download aplikasinya kok, bahkan sudah daftar akunnya dibantu teman. Aku juga sudah nonton tutorialnya, tetapi tetap aja nggak bisa.
Aku merasa benar-benar frustrasi, sampai-sampai aku nyerah dan bahkan lupa password Mandlay-ku.
"kamu juga harus paham, Ta" lanjut beliau sambil menunjuk bab 1 proposalku. "Perbaiki rata kanan kirinya, marginnya, jarak spasi, jarak antar kalimat. Meskipun terlihat sederhana, dosen sangat gereget kalau melihat proposal yang tidak rapi seperti ini."
I felt pressured hearing that, ku merasa tertekan mendengar itu. I had tried to fix all those issues, aku sudah berusaha memperbaiki semua hal tersebut. Malam-malam aku cek ulang, dan menurutku sudah sesuai. But when it was printed, hasilnya malah jadi aneh. Kalimatnya jadi nggak sesuai, dan aku bingung sendiri dengan hasil akhirnya.
"Ta, dalam satu halaman itu ada tiga paragraf," ucap bapak sembari menulis di halaman cover, 1h : 3p.
Ia menunjukkan bagaimana satu halaman proposal harus terstruktur, dengan setiap halaman terdiri dari tiga paragraf. Kemudian, beliau menulis di sampingnya, 1p : 1 ref, sambil membulatkan angka tersebut.
"Jadi, satu paragraf itu satu referensi. Dan latar belakang itu paling sedikit tiga halaman," jelasnya sambil menambahkan LM : 3H di samping penjelasan tersebut.
"Jadi, setiap lembar ada tiga paragraf, dan setiap paragraf ada satu referensi. Jadi, satu halaman itu ada tiga referensi. Jadi, kalau latar belakang kamu ada tiga halaman, maka referensi kamu ada sembilan referensi," ucapnya sambil menarik beberapa garis dan melingkari tulisan 9 ref untuk menegaskan pentingnya memenuhi jumlah referensi yang tepat.
***
Aku merasa benar-benar bingung saat mendengar penjelasan beliau. “I don’t understand what he’s explaining,” pikirku dengan frustasi.
Meskipun penjelasannya sebenarnya sederhana dan seharusnya bisa dipahami, aku hanya bisa mengangguk-angguk saja tanpa benar-benar mengerti.
“It should be easy to understand,” aku mencoba meyakinkan diri sendiri, berharap bisa segera menangkap inti dari penjelasannya.
Namun, semakin beliau menjelaskan, semakin aku merasa tertekan. Setiap kata dan istilah yang digunakan terasa seperti semakin menjauh dari pemahamanku.
“It’s hard for me to process his words,” aku berpikir dengan rasa frustasi yang mendalam. Aku merasa seperti ada dinding tak terlihat yang membatasi kemampuanku untuk memahami apa yang sedang dikatakan.
Rasa tertekan ini semakin membuatku sulit untuk fokus. Setiap kali aku mencoba menyerap informasi, pikiranku malah melayang ke kekhawatiran dan rasa cemas yang mengganggu. Aku tahu bahwa aku seharusnya bisa memahami hal ini dengan mudah, tetapi kenyataannya justru sebaliknya.
“I’m stuck in this zone,” pikirku, merasa terjebak dalam kondisi yang membuat segala sesuatunya menjadi lebih rumit daripada yang seharusnya.
Aku tidak ingin terus-menerus berada dalam kondisi ini, di mana segala sesuatu terasa sulit dan membingungkan. Namun, tampaknya aku belum bisa keluar dari zona ini. Rasanya seperti sebuah lingkaran setan, di mana setiap upayaku untuk memahami justru semakin membuatku merasa tertekan dan bingung.
Aku berusaha keras untuk tetap tenang dan fokus, tetapi semakin aku berusaha, semakin berat rasanya untuk mengatasi situasi ini.
***
"Kamu harus memperbanyak referensimu dari buku dan jurnal yang relevan, sesuai dengan tema kamu. Minimal 25 judul buku dan 40% dari artikel jurnal ilmiah, baik nasional maupun internasional," ucap Bapak dengan tegas.
Honestly, aku sudah tahu tentang hal ini, but tetap saja aku merasa kaget karena beliau memperjelasnya lebih detail.
Beliau menekankan pentingnya kualitas referensi dalam proposal. Rasanya seperti tekanan berat yang tiba-tiba muncul, dan aku mulai berpikir tentang betapa banyaknya pekerjaan yang harus aku lakukan.
Aku merasa sudah banyak mengumpulkan referensi, but with his very specific directions, rasanya seperti pekerjaan yang harus dilakukan dari awal lagi.
"Dan di proposal kamu, kamu menggunakan metode penelitian yang sifatnya kualitatif. Kamu yakin?" tanyanya dengan nada sedikit ragu.
I felt pressured by that question. Sebenarnya, aku yakin dengan pilihan kualitatif karena katanya sih lebih mudah dibandingkan dengan kuantitatif. Meskipun ada juga yang bilang sebaliknya, kebanyakan teman-temanku memilih kualitatif.
Tapi, melihat ekspresi Bapak yang ragu, I started to doubt myself.
"Dari judulnya saja pengaruh, loh, Ta. Bapak sarankan kamu ganti ke kuantitatif," ucap beliau sambil memberikan saran.
Aku cuma diem aja, bingung mau ngomong apa. Dalam hatiku, pikiranku berputar-putar mencoba menangkap semua yang baru saja disarankan. Rasa bingung menguasai diriku, dan aku merasa seperti kehilangan arah.
Jujur saja, jika aku harus mengganti metode penelitian dari kualitatif ke kuantitatif, itu berarti aku harus melakukan banyak revisi. Everything I’ve worked on until now would need to be reworked from scratch.
“Kuantitatif sebenarnya tidak semengerikan yang kamu bayangkan, Ta. Meskipun kamu harus berurusan dengan berbagai data dan angka yang mungkin terasa membingungkan pada awalnya, proses analisis yang sistematis dan terstruktur akan membantumu untuk menyajikan hasil yang jelas dan mudah dipahami saat ujian nanti,” ucap beliau dengan nada yang menenangkan.
Aku hanya diam, mendengarkan penjelasannya dengan penuh perhatian. Namun, semakin beliau menjelaskan, semakin pusing aku rasanya. Setiap kata-katanya seolah menambah beban di kepalaku. Aku berusaha keras untuk memahami, tapi semakin mendalam pembahasannya, semakin aku merasa terjebak dalam kebingunganku sendiri.
“Ini akan memungkinkan kamu untuk menunjukkan kemampuan analisis yang mendalam dengan data yang konkret, sehingga memudahkanmu dalam menjelaskan temuan dan menjawab pertanyaan dengan lebih yakin,” tambah beliau, seolah ingin memastikan bahwa aku benar-benar memahami manfaat dari metode kuantitatif.
Aku mengangguk pelan, berusaha menunjukkan bahwa aku mengerti, meskipun sebenarnya aku masih merasa ragu. "Baik Pak, akan saya ganti," ucapku akhirnya dengan suara yang agak tidak pasti.
***
Lagi dan lagi, aku terjebak dalam sesi konsultasi yang terasa sangat panjang. Padahal, aku juga ingin cepat-cepat keluar dari ruangan dosen dan and finish everything. However, the reality was different. Namun, kenyataannya berbeda.
Dosen terus menahan aku dengan berbagai pertanyaan dan meminta aku untuk tetap diam. Mereka menjelaskan segala hal dengan sangat panjang dan detail, seolah ingin memastikan bahwa aku benar-benar memahami semua aspek dari pembahasannya.
Behind me, aku tahu ada banyak teman yang juga menunggu kesempatan untuk bertemu dengan dosen. The atmosphere in the room felt tense, suasana ruangan terasa penuh dengan ketegangan, dan aku bisa merasakan ketidaknyamanan yang muncul dari situasi ini.
Even though I felt pressured by the length of the session, meskipun aku merasa tertekan oleh lamanya sesi ini, aku sadar bahwa tidak mungkin aku memotong penjelasan dosen begitu saja dan langsung keluar dari ruangan.
Beliau menjelaskan dengan sangat jelas, providing every detail needed, and breaking down concepts that had previously confused, memberikan setiap detail yang diperlukan, dan menguraikan konsep-konsep yang sebelumnya membingungkan.
Aku merasa terpaksa harus menunggu hingga penjelasan selesai, meskipun di dalam hatiku, aku sangat ingin proses ini berakhir secepat mungkin. Setiap penjelasan yang diberikan seolah menyelamatkan diriku dari kebingungan yang lebih dalam, dan aku tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk memperbaiki dan menyempurnakan proposalku.