NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Impressed

 

Aku pikir malam itu bakal menerima wejangan panjang dari Ibu perihal kemunculan Raga yang tiba-tiba. Ibuku orangnya lumayan sensitif untuk urusan cowok. Apalagi cowok yang coba mendekati anak gadisnya ini. Dia tipe emak-emak kolot yang bawel. Sedikit saja teman cowokku bertingkah kurang sopan, aku yang kena tegur. Ditegurnya nggak tanggung-tanggung. Biasanya langsung disuruh menjauhi.

Ternyata aku salah sangka. Reaksi Ibu berbeda dari biasanya. Tak ada pembahasan mengenai Raga pada saat kami duduk mengelilingi meja makan. Seakan tidak terjadi apa-apa, kami makan sembari membahas sinetron kesukaan Ibu. Semua berjalan normal seperti biasa.

What's wrong with my Mom?

Padahal, waktu awal-awal Rio mendekatiku, dan saudara-saudaranya berusaha mengakrabkan kami, Ibu sempat murka. Aku masih kelas 3 SMP, harus fokus pada pelajaran sekolah, tidak boleh membagi pikiran dengan hal-hal tidak penting lain. Itu alasannya.

Almarhumah Nenekku orangnya keras dan galak. Aku pernah ditampar menggunakan sandal hanya gara-gara menemani saudara sepupu menemui cowok. Kawanku sampai segan mau main ke rumah, karena takut ketemu Nenek. Nah, Ibu jauh lebih saklek dari itu. Hanya saja, tidak pernah menggunakan kekerasan. Paling diceramahi doang, dikasih contoh-contoh cerita sinetron.

Tapi aku bandel. Meski dilarang, nekat backstreet. Hingga saat kenal Raga dan kawan-kawannya itu, Ibu belum tahu mengenai hubunganku dengan Rio. Pada saat Rio datang sebagai orang yang sedang mengunjungi kekasih LDR-nya pun, Ibu tidak paham tujuan cowok itu. Dipikir ke Madiun untuk mengantar Bibinya mendaftar jadi TKW.

Andai tahu, entah apa yang terjadi? Mungkin aku sudah jadi ayam penyet. Tidak sengaja menemukan surat cinta di tas sekolah aja sudah kayak orang kerasukan. Padahal, dalam surat tersebut jelas-jelas pengirim menanyakan, kenapa aku cuek kepadanya, kenapa surat-suratnya yang terdahulu tidak dibalas? Seharusnya sudah terlihat bukan, bahwa aku tidak merespons? Masih saja kutukan kombonya keluar.

Makanya, aku lega bukan kepalang ketika malam itu Ibu tidak berkomentar mengenai kehadiran Raga. Sikap diamnya aku artikan sebagai pertanda positif.

Namun, ternyata tak semudah itu. Usai menunaikan salat isya, Ibu menungguku di tepi tempat tidur. Dari gaya duduknya pun sudah tampak jika dia hendak membicarakan sesuatu.

Dengan santai, aku banting badan ke kasur, menyusun bantal dan guling sedemikian rupa. Aku tidak bisa tidur jika tak ada guling dalam dekapan.

Keberadaan Ibu tak kuacuhkan sama sekali.

Hingga....

“Tadi itu teman baru yang kamu ceritakan kemarin ya, Nad?”

Aku menghentikan kesibukan, beralih menatap wanita berwajah kalem di hadapanku. Kepalaku terangguk perlahan.

“Sepertinya dia bukan anak orang biasa.”

“Maksud Ibu? Dia anak gaib, gitu?”

Ibu terkekeh lirih. “Orang tuanya pasti bukan orang sepele. Penampilan dia tidak seperti kebanyakan anak sini.”

“Iya, Bapaknya jaksa."

“Jaksa!?” Ibu berseru kaget. “Dia suka sama kamu?”

“Nggak, kok! Nggak!” sengitku.

“Kamu suka sama dia?”

Hah?!? Apalagi ini? Ya ampun, emak gue!

“Nggak, Buuu! Nggak sama sekali!” Aku menggeleng panik. Pertanyaan itu sangat menohok, tanpa tedeng aling-aling.

“Ibu lihat dia anaknya sopan, kelihatannya baik. Tapi kamu harus hati-hati.” Wanita berbadan sintal tersebut melanjutkan 'kultum'-nya, tanpa peduli pada sanggahan yang aku sampaikan. “Kita ini orang nggak punya, Nad. Ibu nggak mau kamu diremehkan. Apalagi dia anak pejabat.”

Seketika kusembunyikan wajah di bawah bantal, menahan malu dan kesal. Kenapa Ibu bisa berpikir sejauh itu?

“Kamu tahu menantunya Toko Biawan?”

Tentu saja aku tahu. Kami biasa belanja sabun dan sampo di toko tersebut. Dan orang yang dibicarakan Ibu sering melayani kami.

“Dia sering direndahkan oleh keluarga suaminya, karena orang tuanya nggak kaya. Padahal kamu tahu sendiri, orang itu cantiknya seperti apa.”

Memang cantik banget sih orang yang dimaksud oleh Ibu. Cici-cici Cindo yang wajahnya nggak bikin bosen. Mana ramah banget pula. Murah senyum, gitu. Siapa sangka dia berasal dari keluarga yang kurang berada. Yang orang-orang tahu ya, dia menantunya Toko Biawan, toko grosir terlengkap di daerah kami.

Jujur, nasehat Ibu lumayan mengganggu pikiran. Ada dua poin penting yang dapat aku tarik benang merahnya, yakni anak orang tak punya dan diremehkan. Dari situ aku mengambil kesimpulan bahwasanya orang biasa—macam aku begini, jangan coba-coba bermimpi ketinggian untuk mendapatkan pangeran yang level hidupnya jauh di atas. 

 

🍁🍁

 

Keesokan hari, pada Minggu pagi yang cerah, matahari tampak naik sepenggalah. Aku sedang menjemur cucian di halaman belakang saat terdengar suara gembok beradu dengan besi. Sepertinya ada tamu.

Tergopoh-gopoh aku berlari ke depan. Jangan-jangan keluarga TKW dari luar kota. Tumben hari Minggu ada orang datang. Kantor kan tutup. Bapak pun tak di rumah. Sejak mengantar Ibu tadi pagi, dia belum kembali.

Sebelum membuka pintu, aku menyempatkan diri untuk mengintip suasana luar melalui gorden yang sedikit kusibak. Tampak seorang anak muda menyandang gitar di punggung, berdiri di luar pagar. Dia mengenakan topi yang bagian depan diturunkan sehingga menutup wajah. Orang itu mengenakan kaos gombrong lengan panjang abu-abu tua, dan celana jeans belel yang robek bagian lutut. Alih-alih terlihat lusuh, dia justru tampak keren meski kakinya beralaskan sandal jepit.

Jidatku mengeriting seketika. Ngapain orang ngamen nekat ketok-ketok pagar? Biasanya rumah yang tertutup dilewati begitu saja.

Belum sempat otakku mencerna hal yang barusan melintas dalam pikiran, orang di luar sana kembali membentur-benturkan gembok berbahan baja pada pagar besi. Kali ini lebih keras, disertai ucapan, “Permisi!”

Ah, Raga! Itu sih udah pasti Raga. Aku hafal suaranya!

Dengan wajah berseri-seri, aku bergegas membuka pintu. Begitu melihat aku keluar, pemuda itu mengangkat caping topinya, dan menyunggingkan senyum. Alamak, gingsulnya!

“Permisi, Neng! Abang mau numpang ngamen!”

Aku terkekeh dan berjalan menuju pagar dengan segepok kunci dalam genggaman.

“Maaf, Bang! Lewati saja,” kelakarku seraya menunduk, memilih kunci yang cocok untuk gembok yang terpasang.

“Mau lewat, tapi nggak tahu harus lewat mana!”

“Terserah Abang deh, pengen lewat mana.”

“Lewat hati Eneng, boleh?”

“Ha-ha-ha....”

Tawa kami meledak, tepat ketika aku sudah mendapatkan kunci yang aku cari. Buru-buru kucabut gembok dan membuka pagar lebar-lebar.

“Kenapa tutup?” tanya Raga kemudian sambil berjalan melewati pagar, lalu membantuku menutup kembali pagar tersebut.

“Apanya?” Aku menatap dia tak mengerti. “Eh, nggak usah dikunci, Mas. Paling sebentar lagi Bapak pulang,” sergahku cepat ketika cowok itu hendak menancapkan kaitan gembok. Dia pun mengurungkan tindakannya.

“Kenapa pagarnya ditutup?” Raga mengulang pertanyaan yang belum aku jawab.

“Kan hari Minggu.”

“O ya?” Ekspresinya macam orang yang benar-benar terkejut. Bisa banget aktingnya. “Ini hari Minggu, ya?”

“Bukan!” jawabku sewot.

“Aku nggak kenal hari Minggu, sih.”

“Kenalnya?”

“Hari libur.”

Tak kutanggapi lagi ucapannya.

 

🍁🍁

 

Sepanjang hari itu, Raga menemaniku. Dia hanya pulang sebentar pada saat matahari tepat di atas kepala, untuk mengembalikan gitar dan menengok sang Mama. Aku sempat diajak menemani dia jalan kaki.

“Sekalian ketemu Mama,” ujarnya.

“Kapan-kapan saja, Mas. Aku harus nungguin rumah, takut ada tamu. Bapak belum pulang,” dalihku.

Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah aku merasa aneh. Untuk apa bertemu Mamanya? Kami kenal belum genap seminggu.

Bisa jadi aku yang overthinking. Siapa tahu Raga memang biasa mengenalkan kawan-kawannya kepada sang Mama. Namun, bagiku itu bukan hal biasa. Kecuali ke sana rame-rame bersama teman lain, mungkin aku mau.

Selepas zuhur, cowok itu kembali datang dengan motor biru yang menjadi ciri khasnya. Aku pun kaget waktu dia kembali. Untung aku belum berangkat tidur siang, masih asyik menulis cerpen yang akan diterbitkan di Mading sekolah.

Berduaan dengan cowok lain pada hari di mana seyogianya kekasih yang menemani, menimbulkan sedikit rasa bersalah dalam hati. Namun segera kutepis itu semua dengan pembelaan bahwa kami hanya sebatas teman, dan hubunganku dengan Rio pun masih ngambang.

Aku dan Raga berbincang di sofa berhadapan yang dibatasi sebuah meja kaca. Lembaran tabloid ‘Gaul’—salah satu nama tabloid remaja tempo dulu—menutupi pangkuanku. Aku menemani pemuda itu sembari membaca ulasan berita dan gosip artis, yang pada masa itu hanya bisa kita dapatkan melalui radio, TV, koran, majalah atau tabloid. Belum ada sosial media.

Jangankan sosial media, handphone saja masih langka. Hanya orang dengan ekonomi menengah ke atas yang mampu membelinya. Tahun 2000, Krisis Moneter baru saja menyapu Indonesia, bahkan sebagian besar negara di dunia.

Hebatnya, Raga sudah memegang benda telekomunikasi tersebut. Anak SMA punya Hp, pada masa itu sudah paling top. Tipe handphone-nya pun yang paling mutakhir. Sony Ericcson T10, yang bodi lipat. Itu handphone Raga.

Aku juga baru tahu ketika benda dalam kantong celananya berbunyi. Benda yang sama kerap aku lihat dipegang oleh anak Bos Ibu. Sebuah entitas yang masih asing dalam kehidupanku.

Raga buru-buru melihat layar kecil yang menyala hijau kekuningan. Tanpa mengucap apapun, dia beranjak dari tempat duduk dan berjalan ke luar. Aku hanya diam, memandanginya tanpa tahu harus bersikap bagaimana. Seakan kembali ditampar oleh kenyataan bahwa kami memang jauh sekali tersekat oleh taraf ekonomi yang senjang.

Benar kata Ibuku.

Tak berapa lama kemudian, pemuda pemilik bahu selebar angkasa raya tersebut kembali masuk. Wajahnya berhias senyum, seperti biasa. Dia menatapku lekat sembari mengenyakkan pantat pada dudukan sofa hijau tua, properti kantor.

“Kenapa, Mas?” Aku bertanya datar.

Maksud aku sebetulnya adalah menanyakan, kenapa memandangiku sedemikian rupa? Ternyata dia salah menangkap arti pertanyaan tersebut.

“Papaku... nanyain keadaan Mama. Hari ini seharusnya Papa pulang. Ternyata ada jadwal sidang. Jadi nggak bisa memenuhi janji sama Mama.”

“Terus gimana?”

“Namanya juga kerja. Harus profesional.”

“Mama ngerti aja, ‘kan?”

“Siang tadi Papa tuh udah SMS, ngabarin aku soalnya telepon rumah lagi rusak. Makanya aku sempatkan pulang, kasih tahu Mama. Khawatir dia kepikiran.”

“Jadi?”

“Mama oke.”

“Syukurlah.” Aku menghela napas lega. Entah kenapa ikut lega mendengar dia berkata demikian. “Mamanya sekarang di rumah sama siapa? Kok malah ditinggal ke sini?”

“Ada Bulek yang biasa nemenin,” pungkas Raga kemudian, kembali mengulaskan senyum. “Lagi pula dekat aja. Bisa tengok-tengok sebentar.”

Aku menatapnya takjub. Bibit-bibit kekaguman mulai tumbuh menghuni relung hati. Jarang ada anak lelaki seusia Raga yang begitu peduli dan penuh tanggung jawab terhadap orang tua.

Umumnya, seusia dia itu asyik dengan dunianya sendiri, asyik memikirkan dirinya sendiri, dan kebanyakan menjauh dari lingkungan keluarga. Jangankan diribetin oleh keadaan Mama yang menderita gangguan mental, mencuci baju sendiri saja tidak mau. Terlebih anak orang kaya.

 

🍁🍁

 

“Mas Raga itu anaknya baik banget, Bu,” ucapku mengawali sesi curhat di atas becak. Kami dalam perjalanan pulang dari tempat kerja Ibu. Rutinitas favoritku.

“Kalau Ibu lihat memang dia baik,” sahut Ibu tanpa antusias sama sekali.

“Dia tuh tanggung jawab banget sama Mamanya.”

“Ya iyalah! Kan Mamanya,” tukas Ibu mulai kumat menyebalkan. “Memangnya tanggung jawab kenapa?”

“Mama dia sakit. Kasihan anak itu.”

“Sakit apa?” Ibu mulai melunak.

“Depresi.”

“Apa itu?”

“Stres yang parah. Kadang sampai pengen bunuh diri, gitu.”

“Itu namanya gila.” Bapak menyela kata-kataku dengan komentar yang kurang sopan. Spontan aku menengok ke belakang dan melotot tajam pada orang tua lelakiku tersebut.

“Kamu itu loh, Pak!” Ibu membelaku. “Biar stres-stres juga, istrinya pejabat itu.”

Aku ngakak. “Iya, bener, bener! Ibu memang top!”

“Mamanya stres kenapa?”

“Mas Raga kan punya kakak perempuan. Dua tahun lalu kakaknya itu meninggal dalam kecelakaan.”

“Astagfirullah!”

“Pokoknya kasihan deh, Bu.”

“Kamu pacaran ya sama dia?” Ibu senyum-senyum usil. “Kata Bapak, tadi seharian dia di rumah kita.”

“Ha ha ha.” Tawaku sumbang. “Mana ada pacaran! Teman aja, Bu. Dia tuh nganggep Nada udah kayak adeknya, gitu.”

“Adek ketemu gede!” Lagi-lagi Bapak nimbrung.

“Ih, Bapak!” pekikku lirih. “Apaan, sih? Su’uzon!”

Bapak tertawa lirih.

“Kenal juga baru seminggu. Pacaran dari mana?” gumamku.

“Terus? Ngapain aja seharian?” Ibu melontarkan pertanyaan konyol yang menyebalkan.

“Nggak seharian juga kali, Bu. Bapak tuh lebai. Mas Raga juga bentar-bentar pulang, kok. Kan harus nengokin Mamanya.”

“Emang stresnya parah?"

“Nada juga nggak tahu.”

“Kok sebentar-sebentar ditengok, ngapain?”

“Mamanya tuh nggak bisa berada dalam kondisi cemas. Sementara kalau Mas Raga pergi agak lama sedikit, dia khawatir berlebihan. Mungkin trauma dengan kejadian anak perempuannya dulu.”

“Oooh,” pungkas Ibu kemudian.

Aku melirik orang yang melahirkanku tersebut. Sepertinya ada perubahan pada Ibuku. Biasanya paling tidak suka kalau aku bercerita tentang kawan lelaki secara berlebihan. Anehnya, saat itu dia terlihat santai.

Ah, mungkin karena pernah bertemu Raga dan melihat Raga memang tipikal good boy.

Eh, tapi Rio kurang sopan apa waktu di depan Ibu? Nyatanya tetap tak disukai. Setahun lebih kami dekat, setiap kali aku bercerita tentang Rio, Ibu akan langsung melengos dengan wajah enggan, lalu menghindar. Entah aku ditinggal pergikah, atau dia pura-pura sibuk dengan pekerjaan. Aku dapat membaca ada rasa tak nyaman dalam sikapnya.

Hal itulah yang menjadi salah satu alasan kenapa aku tidak sabar ingin mengakhiri saja LDR antara kami. Sepertinya hubungan kami hanya akan sia-sia.

Bagi aku, restu Ibu sangat penting. Aku ingin dia bisa menerima seseorang yang aku sukai. Jika itu terjadi, aku berjanji tidak akan mempermainkan hubungan lagi, tidak akan mendua di belakang, tidak akan menyakiti dan mencurangi mereka.

 

🍁🍁

 

 

1
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka aja ceritanya
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!