Seperti artinya, Nur adalah cahaya. Dia adalah pelita untuk keluarganya. Pelita untuk suami dan anaknya.
Seharusnya ...
Namun, Nur di anggap terlalu menyilaukan hingga membuat mereka buta dan tak melihat kebaikannya.
Nur tetaplah Nur, di mana pun dia berada dia akan selalu bersinar, meski di buang oleh orang-orang yang telah di sinarinya.
Ikuti kisah Nur, wanita paruh baya yang di sia-siakan oleh suami dan anak-anaknya.
Di selingkuhi suami dan sahabatnya sudahlah berat, di tambah anak-anaknya yang justru membela mereka, membuat cahaya Nur hampir meredup.
Tapi kemudian dia sadar, akan arti namanya dan perlahan mulai bangkit dan mengembalikan sinarnya.
Apa yang akan Nur lakukan hingga membuat orang-orang yang dulu menyia-nyiakannya akhirnya menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Nur terkejut bukan main mendengar ucapan sang suami yang terkesan mengancam.
Dia tak mengira, demi seorang wanita yang baru sekitar tiga tahun Pamungkas kenal, sang suami memilih melepaskannya yang telah menemaninya selama hampir dua puluh satu pernikahan mereka.
Tak kalah terkejut, Amanda yang masih berada di rumah pun tak menduga sang ayah akan mengambil keputusan seperti itu.
Ingin ia menyela obrolan orang tuanya, tapi tubuhnya membeku.
Dia tak berani, sebab sang ayah sepertinya tak main-main dengan ancamannya.
Meski sakit, dia yakin ini adalah salah satu cara sang ayah untuk menekan sang ibu.
Maafkan Manda Mah, tolong jangan berpisah. Manda ngga mau kalian berpisah.
Air mata Amanda menetes. Tak kuat lagi mendengar obrolan keduanya, dia memilih kembali masuk ke dalam kamar.
"Ka-kamu mau menceraikanku mas?" tanya Nur tak percaya.
"Maafkan aku Nur, aku enggak punya pilihan. Aku enggak bisa mundur. Aku ngga mau di sebut pecundang," jelas Pamungkas pelan.
Nur menunduk, air matanya kembali menetes. Matanya bahkan terasa perih karena terlalu banyak menangis.
"Tega kamu mas," jawab Nur lirih.
Pamungkas bangkit dan duduk di sebelah sang istri. Dia menggenggam tangan Nur erat, tak lupa dirinya juga memeluk sang istri yang masih menangis tergugu.
"Maafkan aku Nur, aku tahu aku kejam, aku mohon, tolong terima permohonanku."
Nur merasa dadanya sangat sesak, dalam hati dirinya berharap jika ini semua hanyalah mimpi.
Dia ingin sedikit melupakan apa yang baru saja sang suami katakan hanyalah mimpi buruknya.
Namun, Nur sadar ini semua nyata. Ucapan suaminya itu nyata.
Pamungkas bahkan sudah siap melepaskannya. Lalu apa lagi yang dia harapkan.
"Baiklah mas," jawab Nur pelan.
Meski seperti bisikan, Pamungkas bisa mendengar ucapan istrinya itu.
Dia bernapas dengan lega karena dia berhasil membujuk sang istri.
Bibirnya tersungging, dia mengecup kepala sang istri berulang-ulang sembari mengucapkan terima kasih.
"Makasih sayang, mas janji—"
"Baiklah mas, aku menyerah, kita pisah saja," potong Nur yang membuat Pamungkas terkejut bukan main.
Dia bahkan sampai menatap sang istri dalam. Dia ingin memastikan jika tadi dia salah dengar.
Dengan tersenyum kaku, Pamungkas lantas meminta Nur mengulangi lagi ucapannya.
"Apa Nur?"
Dengan pasrah, Nur lantas menatap sang suami lekat.
"Iya mas aku menyerah. Kita berpisah saja. Aku melepaskanmu," ucapnya dengan suara bergetar.
Tak ada air mata, mungkin air matanya telah mengering hingga sulit untuk keluar.
"Kamu jangan bercanda Nur!" bentak Pamungkas tak terima.
"Aku tak bercanda Mas. Aku tahu bahagiamu kini bukanlah denganku. Maka lepaskanlah aku. Aku tak ingin menghalangi kebahagiaanmu," jelas Nur yang sudah sedikit tegar.
"Kamu gila? Cukup! Lupakan ucapanku tadi. Kita enggak akan pisah. Aku tetap akan bersamamu dan juga bersama Sisil. Aku bisa bersikap adil dengan kalian berdua!"
Pamungkas benar-benar tak mengira jika sang istri akan menerima tantangannya.
Sungguh meski saat ini dirinya sedang tergila-gila dengan Sisil tapi dalam hati dia tak pernah berpikir untuk melepaskan Nur dalam hidupnya.
Pamungkas merasa Nur terlaku keras kepala. Dia menganggap sang istri tak berpikir kalau menjadi Janda di umurnya itu akan sangat sulit.
"Lebih baik kamu istirahat saja.kita akan bicara lagi kalau nanti perasaanmu sudah membaik," putus Pamungkas lantas berlalu dari sana.
Pamungkas benar-benar mengabaikan perasaan Nur. Saat ini dirinya juga sedikit kalut, bohong jika dia tak panik dengan jawaban sang istri yang bahkan lebih memilih berpisah dengannya.
Tidak!
Pamungkas tak akan sanggup dan tak mau melepas Nur, sebab dia tahu Nur adalah wanita baik yang mampu merawat dirinya dan juga anaknya.
Kalau Sisil wanita itu enak di pandang dan bisa dia bawa-bawa untuk ke acara pertemuan-pertemuan penting, pikirnya serakah.
.
.
Selepas kepergian Pamungkas, Amanda yang tadi mengurungkan niatnya masuk kedalam kamar, juga terkejut mendengar jawaban sang ibu.
Apa yang dia takutkan ternyata sungguh terjadi. Ibunya memilih menyerah.
Kini dia bimbang harus bagaimana. Dengan langkah ragu Amanda lantas turun mendekati ibunya yang sedang terdiam dengan pandangan kosong.
"Mah," panggil Amanda tak mendapat jawaban.
"Mamah?" ulangnya lagi dan duduk di samping sang ibu.
Wajah Nur sangat pucat membuat Amanda merasa cemas.
Dia sadar jika mungkin saja sang ibu belum makan sejak semalam.
"Mamah makan yuk!" bujuk Amanda.
"Kakak belum berangkat?"
Amanda menggeleng, "Manda ada kelas jam sembilanan Mah."
"Kamu belum makan?"
Amanda menggeleng. Nur yang khawatir pada sang putri lantas bangkit. Sayangnya dia limbung karena merasakan kepalanya berdenyut hebat, hingga akhirnya Nur jatuh tak sadarkan diri.
Amanda terkejut bukan main. Dia lantas berteriak dan menangkap tubuh sang ibu.
Air matanya pecah, dia tak mau terjadi sesuatu pada ibunya.
"Mah, bangun mah!"
.
.
.
lanjut