Kesalahan di masa lalu membuat Maudy memiliki seorang anak.
Seiring bertambah usia, Jeri merindukan sosok seorang ayah.
"Apa kamu mau menikah denganku?" tanya Maudy pada pria itu.
"Aku tidak mau!" tolaknya tegas.
"Kamu tahu, Jeri sangat menyukaimu!" jelas Maudy. Semua demi kebaikan dan kebahagiaan putranya, apapun akan dilakukannya.
"Aku tahu itu. Tapi, aku tidak suka mamanya!"
Akankah Maudy berhasil memberikan papa untuk Jeri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hai_Ayyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 - Sempat Dilema
Roni menarik nafas panjang lalu membuangnya pelan. Ia menatap dirinya dalam pantulan cermin. Melihat dirinya yang kini kembali memakai pakaian kantoran.
"Baiklah, mari kita bekerja keras!" Roni menyemangati diri sendiri.
Pria itu mengunci pintu kamar kost, lalu ia naik ke sepeda motornya. Ia akan meluncur menuju tempat kerjanya.
"Hei-hei, itu bukannya Roni. Anak kost kesayangan mamamu!" seorang wanita menunjuk saat sepeda motor pria itu melewati mereka.
"Iya, benar. Sepertinya ia sudah dapat kerjaan!" sambung temannya yang lain. Tidak pernah melihat pria itu berpakaian seperti itu.
"Halah, paling baru juga interview." cibir Cici. Ia kesal selalu diledeki dengan duda pengangguran itu.
Tak lama, Roni telah sampai di ruangannya. Ia berdecak kagum pada ruangan yang sangat rapi dan cukup luas.
Masih tidak menyangka, jika ia benar-benar akan bekerja di kantoran lagi. Ini seperti mimpi baginya.
Seorang staff masuk dan membawa Roni untuk berkeliling perusahaan. Mengenalkan tentang lingkungan tempat kerja mereka.
Lagi dan lagi, Roni kagum. Perusahaan ini berskala besar. Luar biasa Satria bisa masuk di perusahaan ini. Jadi penasaran di bagian apa Satria bekerja.
Setelah berkeliling sejenak. Roni kembali ke ruangannya, ia akan mulai memahami pekerjaan dan tanggung jawabnya. Akan bekerja dengan giat dan semangat. Harus memanfaatkan kesempatan ini untuk melanjutkan hidupnya.
Saat jam makan siang, Roni bersama Satria. Mereka makan siang bersama.
"Sat, kamu bekerja di divisi apa?" tanya Roni ingin tahu. Penasaran dengan pria itu.
"Saya hanya staff biasa, pak." jawab Satria sambil mengunyah. Ia tidak memberitahu, nanti juga Roni tahu sendiri.
Roni tidak percaya hanya staff biasa, pasti Satria punya jabatan yang tinggi di perusahaan ini. Karena ia memperhatikan banyak para karyawan yang menundukkan kepala sejenak saat berpapasan dengannya.
Setelah selesai makan siang, kini Roni berada di ruang rapat. Karena ia orang baru, ia dipersilahkan memperkenalkan diri pada orang-orang yang berada di ruangan itu.
Dan tidak lama kemudian,
'Pantesan!' batin Roni saat Satria yang memimpin rapat. Ia tahu juga jabatan pria yang lebih muda darinya itu.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Pak, kebetulan di perusahaan tempat saya bekerja sedang membutuhkan manajer. Makanya saya merekomendasikan anda!" jelas Satria.
Roni mengatakan jika ia memakai koneksi agar bisa bekerja di sana. Dan merasa tidak enak.
"Tapi-"
"Sudahlah, pak. Perusahaan sedang membutuhkan orang yang berpengalaman dan itu anda!" jelas Satria kembali. Perusahaan butuh orang pengalaman dan ia merekomendasikan atasannya itu. Dan itu tidak salah.
Jika Roni tidak pernah berada di posisi manajer, mungkin ia juga tidak akan berani merekomendasikan untuk berada di posisi itu. Mungkin akan merekomendasikan Roni sesuai jabatan terakhir.
"Anda memang pantas berada di posisi itu, pak! Pak Roni yang dulu saya tahu, sangat bersemangat dan pantang menyerah!"
Roni mendengus lalu ia akhirnya mengangguk. Tidak akan mempertanyakan itu lagi. Ia harus menunjukkan kinerjanya untuk membuktikan bahwa dia memang layak.
"Oh iya, Sat. Wakil direktur tadi kenapa tidak ada?" tanya Roni. Tadi rapat dengan wakil direktur dan dihandle oleh Satria sebagai asistennya.
"Nona Maudy sedang mengambil cuti, pak. Ia membawa anaknya liburan." jawab satria.
"Nona Maudy?" ucap Roni. Panggilan nona terasa aneh. Biasa dalam lingkungan bekerja memanggil wanita dengan Bu.
"Nona Maudy tidak mau di panggil Bu Maudy, pak. Ia tidak suka dan akan marah jika ada yang memanggilnya begitu." ucap Satria memberitahu. Atasannya paling anti dipanggil begitu di perusahaan ini.
"Bu ibu ibu, kapan saya menikah dengan bapakmu?" ucap Satria menirukan gaya bicara Maudy yang meninggi. Lengkap dengan gaya sombong dan angkuhnya.
Roni terkekeh, ada-ada saja yang Satria bilang.
"Benar loh, pak. Nanti jika nona Maudy sudah masuk kembali, anda harus memanggilnya nona. Jika tidak, ia akan bicara seperti itu pada anda!" Satria mengingatkan. Roni masih baru dan juga harus tahu aturan seperti itu.
"Baiklah."
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Maudy menikmati liburan bersama anaknya. Ia mengunjungi berbagai tempat. Dan Jeri tampak senang sekali mendatangi berbagai tempat baru. Senyum di wajah polos itu terus merekah.
Maudy juga membawa Jeri liburan ke pantai. Putranya nampak sibuk membangun istana pasir, menumpuk-numpuk pasir tersebut.
Dan ia hanya menemani. Memandangi wajah Jeri yang terus menerus tersenyum.
"Ma, ini istana Jeri!" ucapnya menunjukkan hasil karyanya pada mamanya.
"Wah, bagus. Jeri hebat!" puji Maudy. Istana pasir yang dibuat Jeri lebih mirip gundukan tanah, tapi Maudy memuji untuk menghargai usaha sang anak.
"Ma, nanti kalau sudah besar. Jeri mau buat istana, nanti kita tinggal di sana ya."
Maudy mengangguk cepat. Setuju saja apa yang dikatakan anaknya. Yang penting Jeri senang.
"Nanti Jeri akan menjaga mama, karena Jeri sayang sama mama." sambungnya kemudian.
Maudy meneteskan air mata. Ucapan putranya membuat hatinya bergetar.
"Mama jangan menangis." Jeri mengusap air mata di wajah Maudy dengan tangan mungilnya.
"Terima kasih, sayang. Mama juga sangat menyayangi Jeri." ucap Maudy. Ia membawa sang anak dalam pelukan. Memeluk anugerah terindah dengan begitu erat.
"Ayo, kita foto di istana pasirnya Jeri. Nanti kita tunjukkan pada opa dan oma!" ajak Maudy. Ia akan mengabadikan moment terindahnya ini.
Dan jepret, jepret, jepret.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Maudy membenarkan selimut Jeri dan mengecup keningnya dengan sayang. Memandangi sejenak wajah polos yang begitu menggemaskan. Wajah polos itu juga semangat dalam hidupnya.
Masih ingat dengan jelas betapa ia frustasi setelah melahirkan Jeri. Sengaja membawa bayinya kepada Denis agar pria itu luluh dan mengakui anak mereka. Tapi, memang dasar Denis itu pria kurang ajar dan tidak bertanggung jawab. Sudah tidak mau mengakui malah mengatakan anak haram segala.
Maudy sempat dilema dengan bayinya. Sempat berpikir untuk meninggalkannya saja di luar negeri dan pulang ke negaranya sendirian.
Ya, niat Maudy pernah begitu. Karena yang orang tuanya tahu ia kabur dari pernikahan dan terbang keluar negeri. Orang tuanya tidak pernah tahu alasan sebenarnya membatalkan pernikahan karena ia telah hamil anak dari pria lain. Dan kepergiannya keluar negeri itu untuk meminta pertanggung jawaban Denis.
Jadi jika ia kembali ke negeranya dengan membawa anak, apa yang akan dikatakan kedua orang tuanya. Belum lagi julid-an orang-orang tentang anaknya yang tanpa ayah.
Makanya saat itu, Maudy meletakkan Jeri di jalanan yang sepi. Berharap nanti ada orang baik yang akan merawat anaknya.
Maudy melangkah meninggalkan bayinya di pinggir jalan. Tapi, ia berlari kembali menghampiri dan meraihnya.
"Jeri, maafkan mama. Maafkan mama ya!" Maudy menangis memeluki dan menciumi anaknya. Ia tidak bisa setega itu pada putranya. Putranya tidak bersalah.
Wanita itu pun akhirnya bertekad akan membesarkan Jeri seorang diri. Tidak akan meninggalkannya lagi.
Maudy mengusap air matanya, ia sangat menyesal pernah berpikiran untuk meninggalkan Jeri sendirian di luar negeri.
"Maafkan mama ya, Jeri. Maafkan mama." Maudy menangis pelan di sebelah putranya yang sudah tertidur lelap.
.
.
.