Tiga sejoli menghabiskan usia bersama, berguru mencari kekebalan tubuh, menjelajahi kuburan kala petang demi tercapainya angan. Sial datang pada malam ketujuh, malam puncak pencarian kesakitan. Diperdengarkan segala bentuk suara makhluk tak kasat mata, mereka tak gentar. Seonggok bayi merah berlumuran darah membuat lutut gemetar nyaris pingsan. Bayi yang merubah alur hidup ketiganya.
Mari ikuti kisah mereka 👻👻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon diahps94, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Kicauan Djiwa
"Eh tunggu dulu, jadi waktu itu kesurupan beneran apa gimana itu Botu?" Memotong cerita orangutannya.
"Ya mana ada kesurupan, yang ada kesemutan, lagian orang sidang bukannya cepet apa gimana ini malah adu telepati, yaudah mending tipu-tipu aja ya kan." Bangga Dayat mengingat bisa melakukan penipuan besar kala itu.
"Hahahah, tapi mantep kan kena sembur Mbah Kum, hih nggk ke batang gimana tuh aroma." Yanto ingat semburannya tepat di muka.
"Bacin, beuh rasanya udah mandi air tujuh sumur juga gak ilang tuh aroma." Dayat, kejang-kejang saking penasarannya malah mencium bekas semburan Mbah Kum, setelahnya dia tak doyan makan.
"Lagian segala kesurupan, tapi kalau di pikir-pikir pas mungut Djiwa kita keren ya." Cerocos Ujang.
"Emang Djiwa sampah apa, bahasanya di pungut." Sewot Djiwa mengomentari Ujang.
Djiwa terdiam sejenak, lantas ingat cerita orangtuanya kala itu. "Eh, katanya pas di kuburan cari ilmu, jadi dapet nggk ilmunya?"
"Rawarontek, pancasona, panasonic, Pancasila, semua bablas, yang ada dapat harta karun, kita dapat kau, amalan ajian ngawur semua, udah puasa 40 hari, taunya juga nggk berhasil, setan alas emang Mbah Kum tipu-tipu kita anak muda." Dayat, sudah pede kala itu, dia bahkan mengajak musuh bebuyutan kelahi, yang ada babak belur.
"Ya lagian hari gini masih mau nuntut ilmu, yang paling bener nuntut ilmu mah di sekolah atuh." Djiwa puas sekali dengan jawaban Dayat.
"Udah belum ini nanyanya, mau lanjut cerita nih." Yanto yang mengabarkan semua mulai tak sabar dengan segala pertanyaan putranya.
Djiwa menguap. "Hoamm, maaf para orangtua ku yang sedikit terhormat, aku harus tidur siang dulu, kalian kalau mau kerja, kerja dulu, nanti dua jam lagi kemungkinan aku bangun, mandi lalu mengaji, ceritanya habis pulang ngaji aja."
"Kau menunda Botu menguras kolam nila hanya untuk ini?" Dayat tak percaya, sampai dia berlarian karena takut Djiwa pundung tahunya di kerjai, Dayat geram tingkah usil Djiwa menurun dari Yanto.
"Maaf Botu, Djiwa ingin dengar lebih banyak, tapi Djiwa kalau tak tidur siang di marah nenek." Penyelamatan diri, nenek adalah malaikat yang tak bisa di lawan ayahnya.
"Ya udahlah pulang dulu." Dayat pamit meski masih dongkol.
"E...e...kok Djiwa di tinggal?" Dayat yang sampai di daun pintu kamar Ujang menghentikan langkah.
"Apalagi sekarang?" Dayat, sedang sibuk dengan urusan kolam, kenapa anaknya malah sibuk cari perhatiannya.
"Ya ini kan giliran tidur siang di rumah Botu, ayo gendong aku, aku sudah ngantuk." Merentangkan tangan minta gendong belakang.
Hancur rasanya tulang belulang Dayat, sudah berlarian menuju rumah Yanto, lantas di ajak ke rumah Yanto sejenak. Sedikit bercerita, kini diminta menggendong putranya sampai ke rumah. Dari semua ayah, Dayat favoritnya Djiwa. Dayat tipikal perjaka yang minim emosional. Dia piawai mengendalikan amarah, dia tak sekalipun berkata kasar pada Djiwa. Djiwa selalu manja dengannya, Dayat kadang kerepotan, namun Dayat tak tahu saja kedekatan keduanya membuat iri Yanto dan Ujang.
Dayat menepuk tangan Djiwa yang merangkul lehernya. Tak ada sahutan, di dapati Djiwa tertidur dalam gendongan. Perlahan menurunkan ke ranjang, agar dia tak terbangun. Membenahi posisi Djiwa agar lebih nyaman, memberi kecupan di dahi, Dayat mengucapkan Doa. Hal yang terus dilakukan Dayat jika dapat tugas menjaga Djiwa. Mengingat banyak hal gaib yang bersangkutan dengan putranya, Dayat lebih hati-hati, minimal membaca doa tidur dan ayat kursi agar Djiwa di jaga malaikat saat lelap.
Djiwa sempat hilang saat umur belum genap setahun, menggemparkan semua orang. Djiwa di ambil kuntilanak yang melahirkannya. Warga mengira di curi Wewe gombel, sejatinya Djiwa di asuh ibunya sendiri. Hubungan darah beda alam ini begitu rumit, bersyukur sekarang bisa ditangani dengan apik. Dayat mendoakan untuk kehidupan akhirat ibu dari putranya setiap saat.
Djiwa membuka matanya lebar-lebar usai Dayat meninggalkannya seorang diri di kamar. "Pergilah, kau tak takut dengan doa ayahku."
"Aku tak butuh kau, bisakah kau tak mengganggu manusia, aku tak suka keberadaan mu, kau bukan orangtuaku, aku tahu kau hanya penipu, dasar makhluk rendahan." Djiwa berkata lirih, mengusir sosok yang menyerupai ibunya yang telah tiada.
Sosok itu menangis pilu, berusaha mendekati Djiwa yang berbaring di ranjang, naas tubuhnya melebur saat menyentuh area ranjang. Doa yang di panjatkan Dayat ampuh. Djiwa menghela nafas berat. "Hah, samapi kapan ini semua berakhir, aku sungguh lelah."
Waktu berangsur mengikuti pergerakan matahari, sore pun datang dengan segala kehangatan. Djiwa dengan tas kecil, Al-Qur'an di tangan kanan, bersepeda ke TPA terdekat. Meski nyaris masuk SMA, di desa masih banyak yang gemar mengaji. Meski tak semuanya bertujuan untuk lebih dekat dengan ilahi, mereka beragam usia namun bersukacita bersama. Imam masjid dan ustadz begitu dekat dengan anak-anak, menjadi kebahagiaan tersendiri saat mengaji di bawah naungan mereka.
"Djiwa melamun lagi, tidak ikut teman-teman bermain di pelataran TPA?" Ustadz Imran mendapati satu muridnya di pojokan TPA hanya memandang keluar tanpa berkedip.
Djiwa menoleh, dia kaget menarik perhatian sang ustad. "Tidak ustadz, aku sedang menunggu giliran mengaji."
"Kalau begitu kenapa tak menyahut saat di panggil, sekarang giliran Djiwa loh." Ujar ustadz.
Djiwa gelagapan, dia terlalu hanyut dalam lamunan. "Astaghfirullah, maaf ustadz Djiwa kurang ion."
"Yaudah mengaji disini saja tak usah ke depan, kau paling terakhir, lekas buka Alquran mu, sebentar lagi magrib datang." Ustadz tak repot memintanya pindah tempat.
Djiwa mengaji dengan lancar, dia sudah khatam berkali-kali, namun tetap di minta mengaji. Djiwa tahu meski tak di beri tahu, Djiwa yang dekat dengan sang pencipta guna tolak bala. Tak sedikit jin yang menggodanya, Djiwa sukar menempatkan diri kala itu, namun semua hantu pun tak ugal-ugalan seperti sekarang mendekatinya. Jika dulu hanya sebatas menampakkan diri, sekarang mereka berani bersandiwara dan menyesatkan. Djiwa berharap imannya tak akan goyah meski dihantam hal gaib setiap harinya. Dia menutup itu rapat seorang diri, ketiga ayahnya tak ada yang tahu.
"Waalaikumsalam, kau sudah pulang rupanya, ayo masuk nak." Tanto senang kini giliran Djiwa menginap di rumahnya.
"Kek, Botu mana?" Tetap saja Dayat yang dicari sehabis dari manapun.
"Loh kan tadi sebelum kau berangkat sudah bilang mau antar bibit ikan dulu, sebentar lagi juga pulang." Jelas Tanto.
"Kek, telpon kalau pulang beli martabak di pengkolan haji Icah ya, terus sekalian bawa bowan dan boti kita mau bahas yang belum selesai tadi siang." Djiwa menatap penuh harap.
"Martabak saja? Sekalian dengan bebek bakar tidak? Tawar Tanto, tak suka Djiwa kehilangan beberapa kilogram berat badannya karena ujian sekolah.
"Hemm, boleh deh kalau kakek memaksa, sambelnya terasi pakai rampai mentah aja kek." Request sekalian kalau begitu, jangan tanggung-tanggung kalau kata Djiwa mah.
Adzan bersahutan, isya telah datang tapi Dayat tak kunjung datang. Djiwa sudah mondar-mandir di depan rumah, sampai membuat mata tetangga pusing di buatnya. Djiwa baru sepakat masuk rumah saat, Yanto datang atas perintah Tanto. Disusul Ujang yang sekalian berpakaian lengkap hendak ke masjid. Mereka mengajak Djiwa jama'ah di Masjidil Aqsha. Pemuda yang dekat dengan Tuhan karena punya anak gaib yang menyadarkan jika akhirat itu nyata. Djiwa membawa keberkahan hidup bagi ketiganya.
"Huh, Botu sedih sekali tak di ajak sholat bareng." Dayat mendumal baru saja anak dan kedua sahabatnya pulang dari masjid.
"Salah sendiri lama." Sewot Djiwa.
"Gimana nggk lama, kan Botu kesayangan mu lagi pdkt sama janda sebelah loh Djiwa." Sindiran Yanto mengena di hati Dayat.
"Syutt, ngawur aja, jangan ngomong begitu di depan Djiwa." Tegur Dayat.
"Gak masalah loh Botu, Djiwa udah tahu loh jandanya. Kemaren Djiwa sama teman-teman malah minta jambu di depan rumahnya, cantik sih, baik juga, tapi kok ya JANDA." Cerocos Djiwa membuat mulut para ayah menganga.
"Djiwa sotoy, nggak ada janda-jandaan ya, hayuk makan martabak, sama bebek bakar pesanan mu." Dayat mengalihkan persoalan janda.
"Asik makan bebek, hayok Djiwa." Antusias Ujang tinggi.
"Ck, buat Djiwa aja orang cuma satu, kalian nyemil martabak aja." Dipatahkan oleh Dayat.
"Udah jadi juragan empang loh Yat, astaghfirullah masih aja koret kamu mah." Ujang tak jadi makan bebek.
"Korat-koret, heuh seenaknya aja kalau ngucap, dah nggak usah makan martabak kalau gitu." Larang Dayat.
Buru-buru Ujang menyahut. "Eh, enggak-enggak. Ayok masuk keburu malam."
Malam itu ketiganya makan martabak di depan Djiwa yang makan bebek dengan lahap. Lantas melanjutkan cerita yang ditanyakan selalu oleh Djiwa. Bercerita sampai sang putra terlelap.
Bersambung