NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Pikiran yang selalu diulang-ulang, tidak pernah habis dihilangkan.

Begitulah kebiasaan Gita, jika perempuan itu memikirkan kejadian yang berhubungan dengan orang tua, termasuk ibu dan bayi tadi.

Gita tidak berbicara selama dirinya selalu melangkah menuju lorong panjang setelah selesai bersalaman dengan guru-guru yang berbaris di pagi hari.

Sebagai anak sekolahan, peraturan itu selalu dilakukan agar mereka menghormati yang lebih tua. Merendah diri untuk menjaga perlakuan. Attitude adalah ilmu dalam hal adab, dengan peringkat lebih tinggi dibandingkan pelajaran.

Sejauh itu yang dia dapatkan selama bersekolah.

Lapangan sekolah lebar menjadi titik utama dalam tujuan Gita menuju kelas miliknya. Sekolah ini memiliki sedikit sentuhan perbedaan. Hanya lapangan inilah yang memiliki penutup untuk menjaga dari sengatan panasnya matahari di tengah hari.

Tidak bisa dijumpai di sekolah-sekolah lain.

Anak-anak remaja memulai permainan basket untuk mengasah keahlian, dan tentu sebagai bahan perlaihan sebelum fokus memikirkan materi nanti.

Sisanya adalah penonton tidak berbayar, menikmati pertunjukan sederhana. Memberi tepukan, sorakan semangat, dan sedikit dari mereka memakan cemilan sembari menonton.

Gita diam menyaksikan pertandingan, ikut menekuk tangan. Dilewati begitu saja anak-anak yang baru sampai di belakangnya menuju lokasi lain.

"Keren juga ya, mereka," pikirnya sembari membuat senyuman tipis yang tak kelihatan bila dipantau dari jarak jauh.

Penonton mulai menepuk tangan ketika bola itu berhasil memasuki ring. Rasa lega tercipta untuk sementara.

"Baguslah," ucap Gita meninggalkan tempat dimana ia berdiri. Berjalan menuju lorong yang menghubungkan langsung ke kelas-kelas.

Gita tidak mau berlama-lama diam menunggu bel berbunyi.

Tidak ada lagi hal bahagia setelah bermain dengan bayi yang ditemui pada pandangan pertama. Kepala ditundukkan, merasa murung dan tidak semangat.

Mata menatap bawah, lantai-lantai berkilau sedikir licin. Berkeramik dengan retakan kecil.

Melewati murid-murid berbeda kelas, duduk menikmati udara segar di bagian luar, membuat Gita tidak nyaman berjalan di depan mereka. Namun tidak ada jalan baru, terkecuali dia berlari ketika para pemain basket bermain di tengah lapangan.

"Gita!" Seruan namanya mengharuskan anak pemurung akhirnya bergerak mencari suara itu.

Melihat tiga laki-laki di matanya, Gita menjadi sedikit tersenyum. Lambaian tangan ketiga murid berdasi, menjadikan sedikit berwarna dalam menghilangkan murungnya.

Ketiga anak yang selalu bersama itu sering dipanggil sebagai "trio nakal" karena mereka selalu bersama, terkadang membuat kejahilan.

Tentu kejahilan yang dihasilkan tidak mengakibatkan suatu mata bahaya.

Mereka hanya memergok ketika ada murid dikelasnya yang tertidur, lalu mereka akan bercerita kepada murid itu ketika masa istirahat. Begitu saja. Sederhana dan tidak menimbulkan korban.

Ketiga trio melewati permainan tadi, mengamati Gita yang juga menatap mereka.

Anggota paling tinggi itu bernama Bian, sampingnya dengan rambut bergelombang bernama Azka, dan satunya dengan lengan baju dilipatkan keatas, bernama Kael.

"Git, jangan tidur lagi," Bian membuat gerakan tangan ditempelkan, lalu kepala disandarkan keatas tangan itu.

Dia anggotanya tertawa kepadanya.

Gita mengalihkan perhatian ke arah lain. Tidak suka bila seseorang mengerti tentangnya, karena hobby yang dilakukan. Tidur di dalam kelas.

Sampai akhirnya, Gita berhasil menuju pintu berwarna hijau, perempuan itu memasuki ruangan bercahaya lampu.

Setengah manusia memadati kursi mereka. Bergerak leluasa sebelum sekolah memberi peringatan untuk memulai kegiatan pagi itu.

"Kelas lagi, dan lagi. Tetapi selamat datang lagi, Gita. Kau harus kuat menjalani sekarang."

Begitulah kata-kata yang diucapkan kepada dirinya. Melihat pemandangan wakah-wajah murid yang selalu sama setiap hari, membuat ngantuknya semakin liar menyebar.

Membosankan. Namun harus selalu diikuti.

...***...

"Hei, Git, ada apa dengan kelolak matamu? Hitam semua." Salma yang datang menduduki kursi, memperhatikan kantung mata gelap milik Gita.

"Begadang, Sal." Kelopak mata memberat melihat kepada murid-murid yang berjauhan.

"Kalau jawaban itu, kamu biasanya selalu seperti itu, Git. Jarang tidur di rumah." Salma meletakkan tas di belakang punggung kursi.

"Jangan salah, ini berbeda situasi, Sal." Gita melepaskan pangkuan tangan, membuka resleting ransel, mengeluarkan barang-barang yang dibuat kemarin malam.

Salma selalu menatap gerakan temannya. Entah apa yang akan dikejutkan untuknya.

"Lihatlah," kata Gita menunjukkan gelang-gelang berwarna. Berjejer rapi untuk ditunjukkan.

Salma memajukan kursi. Terlalu semangat bagi Salma, karena barang itulah merupakan barang disukainya.

"Bagus, tidak?" Alis mata Gita digerakkan naik melengkung.

"Kamu membuat semuanya sendirian, Git?" Salma mengambil satu per satu gelang yang ditutupi oleh kemasan plastik zip long.

"Iya." Gita mengangguk. "Mau beli? Harga teman murah saja. Satu gelang aku beri harga tiga ribu. Karena target disini anak sekolahan, jadi murah, kan? Kalau di luar, lebih mahal. Bagaimana?"

Penawaran tentang harga yang diberikan oleh anak yang menjual gelang rumahan, harus dipikirkan oleh Salma.

Mengelus dagu sembari mencari kecocokan diantara beragam warna itu, memang tidak mudah diputuskan begitu saja.

Gita selalu menunggu hasil jawaban temannya yang tak kunjung selesai memilih.

"Semua warna, semuanya tiga ribu?"

"Iya, Sal. Jadi beli, tidak?"

"Kalau dari warnanya bagus. Biru langit." Salma meraba kembali bungkusan itu. "Ya, ambil yang ini saja, Git."

"Pilihan warna yang bagus, Sal." Gita melihat temannya yang berbahagia dengan gelang buatannya.

Salma memberikan uang pas kepadanya.

"Kamu membeli semua barang itu dimana, Git? Bagus-bagus semua warnanya."

"Barang ini? Ini semua buatan rumah."

"Buatan rumah?" Salma teryawa kecil, tidak salah mendengar temannya mengatakan bahwa gelang itu adalah hasil pekerjaan miliknya.

"Apa yang lucu?"

"Kamu yakin membuat sendiri?"

"Iya," Gita menatap heran temannya. "Ada masalah?"

"Tidak, hanya saja kamu selalu tertidur di kelas. Tidak bisa fokus ke pelajaran. Suka dihukum karena tidak pernah menyelesaikan pe-er, mu."

"Hei, jangan salah, Sal. Semua anak punya kelebihan. Tidak harus pintar di akademik. Kamu menjelaskan kekuranganku saja...kamu seperti sudah hebat saja."

"Tidak, aku hanya kaget saja, kamu bisa membuat gelang cantik ini. Maka dari itu, kelopak matamu itu menjadi gelap hanya karena sibuk membuat gelang?"

Gita membuat tatapan datar dan mengangguk.

"Kamu buat yang banyak, Git. Keliling sekolah untuk dijual. Mungkin akan banyak peminat nantinya."

"Hei, bagaimana dengan tugasku, kau selalu membuat gelang setiap malam. Belum lagi dengan Kakakku. Pasti dia akan selalu mengomel."

Salma diam ikut memikirkan nasib temannya, kedepannya.

"Wah, wah, sekolah itu untuk belajar, bukan untuk berjualan gelang." Wulan datang melihat kegiatan mereka berdua.

Gita berhenti membereskan benda-benda jualannya. Memangku wajah selama memperhatikan sang bendahara kelas akhirnya datang menuju kepadanya. Juga kepada Salma.

"Wul, jangan ganggu disini. Lebih bagus, kamu ke tempat lain saja. Tagih orang-orang yang belum membayar uang kas."

"Kalau masalah itu, tenang saja. Aku sudah menagih mereka."

Gita melanjutkan membereskan.

Satu tangkapan barang berhasil didapatkan oleh Wulan.

"Tidak menarik, gelang ini. Warnanya saja sudah lusuh." Wulan mengamati bungkusan salah satu gelang yang dirampas. "Berapa harga gelang aneh ini?"

Salma yang mendengarkan, tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Selain itu, Gita yang mendengar bahwa warna gelang itu disebut sebagai "warna lusuh" tidak bisa diterima dengan baik.

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan gelang, seluruhnya adalah benda kerajinan yang dimiliki ibu.

Gita meremas tangan, disembunyikan di dalam belakang tubuhnya.

Siswi itu tetap menahan amarahnya, selama menghadapi segala ucapan yang dikeluarkan dari bendahara tadi.

"Berapa ya? Kalau masalah harga, kamu tidak perlu tahu, karena kamu tidak akan pernah sanggup membelinya. Kamu kan suka menagih uang orang lain. Jadi, kamu juga tidak punya uang. Itu benar, kan?"

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!