NovelToon NovelToon
Sunday 22.22

Sunday 22.22

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Balas Dendam / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: sun. flower. fav

Di tengah keindahan Jogja, proyek seni yang seharusnya menggembirakan berubah menjadi teka-teki penuh bahaya. Bersama teman-temanku, aku terjebak dalam misteri yang melibatkan Roats, sosok misterius, dan gadis bergaun indah yang tiba- tiba muncul meminta tolong.
Setiap sudut kota ini menyimpan rahasia, menguji keberanian dan persahabatan kami. Saat ketegangan memuncak dan pesan-pesan tak terjawab, kami harus menemukan jalan keluar dari labirin emosi dan ketegangan yang mengancam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sun. flower. fav, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ulah Roats

Aku mencari Anindya di sekitar teater, menyusuri kampung-kampung terdekat dan beberapa toko sekitar, tapi tetap saja tidak ada jejak Anindya sedikitpun. Setiap sudut jalan yang kulewati, setiap gang yang kutelusuri, semua kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Anindya. Aku bahkan berteriak memanggil namanya, "Anindya! Anindya, di mana kamu?" Namun, tidak ada satu pun suara yang menjawab di sela kampung-kampung itu.

Semua terasa aneh dan sunyi, sama seperti rumah makan tadi yang tiba-tiba saja semua pelayannya menghilang, sama seperti Anindya yang lenyap begitu saja. Aku semakin cemas, perasaan panik mulai merayap di dadaku.

Aku kembali ke tempat di mana kami berpisah, berharap menemukan petunjuk yang terlewat. Namun, yang kudapati hanya keheningan yang mencekam. Lampu-lampu kota berkedip-kedip, menambah kesan seram di malam yang sepi ini.

Keringat dingin mulai mengucur di pelipisku. "Anindya!" teriakku sekali lagi, suaraku mulai serak. Tidak ada jawaban, tidak ada orang yang tampak di sekitar. Semua seperti membeku dalam keheningan.

Kepalaku berputar-putar, mencoba mengingat setiap detail dari kejadian tadi. Aku memutuskan untuk kembali ke teater dan berbicara dengan penjaga atau siapa pun yang mungkin melihat sesuatu. Tapi, seperti yang sudah kuduga, tempat itu juga kosong.

Pikiranku mulai dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Aku mencoba tetap tenang dan berpikir jernih. Aku tidak boleh menyerah, tidak boleh panik. Anindya membutuhkan aku.

Dengan langkah cepat, aku memutuskan untuk kembali ke tempat makan tadi dan melihat sekali lagi, berharap ada petunjuk yang terlewat.

Tubuhku terasa lemas, sedikit keluh keluar dari bibirku, frustrasi memikirkan harus ke mana lagi mencari Anindya. Perasaan putus asa mulai merayap di benakku. Tanganku menggulir cepat layar handphone, mencari pesan atau panggilan masuk, menanti kabar dari Baskara yang tak kunjung datang.

Sambil menunggu kabar, aku memutuskan untuk duduk sejenak di bangku taman dekat teater, mencoba menenangkan diri. Nafasku berat dan pikiranku kusut. Aku mencoba mengingat percakapan terakhir kami, mencari petunjuk yang mungkin tersembunyi di balik kata-katanya.

Teleponku berdering tiba-tiba, membuatku tersentak. Nama Baskara muncul di layar. Dengan cepat, aku mengangkat panggilan itu.

“Kamu di mana sekarang?” Baskara terdengar terpenggal-penggal, dia pasti kini mencariku dengan berlari.

Tiba-tiba mataku terfokus pada pemandangan yang membuat

darahku membeku, salah satu awak Roats datang membawa Anindya. Tangan Anindya terikat, dan rambutnya berantakan. Wajahnya pucat, menandakan ketakutan yang luar biasa.

Aku langsung berdiri, tubuhku gemetar antara marah dan cemas. "Anindya!" seruku, suaraku pecah oleh emosi yang meluap-luap.

Salah satu awak Roats, pria berbadan kekar dengan tatapan dingin, mendorong Anindya maju.

Aku melangkah cepat mendekati pria itu, mataku penuh dengan amarah, “kamu bawa dia kemana tadi, pasti ulah bosmu, kan?”

Pria itu tersenyum, “Lakukan saja tugasmu nona, atau kalau tidak, Roats akan menjadikannmu target selanjutnya, seperti gadis murahan itu.” Pria itu menunjuk ke arah Anindya.

Spontan tanganku menampar kencang pipi kanan pria itu. Suara tamparan itu menggema di udara, dan aku melihat jelas pipinya memerah seketika. Tatapannya berubah dari terkejut menjadi marah, dan tangannya mulai mengepal. Sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, dia membalas dengan dua tinjuan tak kalah keras, dua cincin tajam di jari tulunjuk dan tengahnya mencakar keras pipi dan selaput hidungku.

Rasa sakit yang luar biasa menjalar dari pipiku ke seluruh wajah. Dunia seakan berputar, pandanganku kabur sejenak. Aku terhuyung mundur, menahan rasa nyeri yang semakin mendera. Pipiku terasa panas, seolah terbakar, dan ada rasa perih yang menusuk-nusuk. Telingaku berdenging, bahkan teriakan Anindya menangis memanggil namaku terdengar samar-samar, denyutan sakit di kepalaku seakan-akan memukul-mukul dari dalam.

Air mata tanpa sadar mengalir di pipiku yang bengkak. Kepedihan bukan hanya karena pukulan fisik, tetapi juga karena penghinaan dan rasa tak berdaya yang menjalar di dalam dada. Aku merasakan gelombang emosi yang bercampur aduk: marah, terluka, dan kecewa.

Aku berusaha keras untuk tetap berdiri, menahan air mata yang mengalir semakin deras. Napasku tersengal-sengal, berusaha mengatur ritme di tengah rasa sakit yang tak tertahankan. Aku merasa sendirian, terjebak dalam kepedihan yang seakan tak berujung. Tapi aku tidak terlahir sebagai gadis yang lemah, ayah menyuruhku menjadi jiwa yang tidak mudah pasrah, itu yang ada di prinsipku sejak dulu. Dulu kecil, tanganku sangat gesit, aku memukul orang-orang yang berani menyentuhku bahkan temanku.

Dalam kepedihan itu, aku bertekad untuk tidak menunjukkan kelemahan. Aku menarik napas dalam, menguatkan diri, dan perlahan-lahan mengangkat kepala, menatap pria itu dengan mata yang penuh tekad, meskipun rasa sakit masih mendera.

Dengan penglihatan kabur akibat air mata dan rasa sakit, aku meraba-raba tanah di sekitarku, mencari sesuatu untuk membela diri. Tanganku menyentuh sesuatu yang keras dan berat-sebuah batu besar. Tanpa berpikir panjang, aku mengangkat batu itu dengan kedua tangan yang gemetar dan langsung melayangkannya ke arah pria itu bertubi-tubi.

Setiap ayunan batu yang kulancarkan dipenuhi oleh amarah dan rasa sakit yang meluap-luap di dadaku. Pikiranku hampa, terfokus hanya pada satu hal: rasa sakit di pipiku yang berdenyut-denyut. Setiap kali batu itu mengenai pria tersebut, aku merasakan sedikit kelegaan dari kepedihan yang mendera. Namun, kelegaan itu cepat hilang, digantikan oleh dorongan untuk terus menyerang, terus melawan.

Pria itu terkejut dan berusaha menghindar, tetapi aku tidak memberi kesempatan. Aku menyerang dengan segala kekuatan yang tersisa, meskipun tubuhku terasa semakin lemah. Terasa seperti ada api yang membakar di dalam dadaku, memacu adrenalin yang memberiku tenaga yang tak kukira ada.

Dalam kekacauan itu, aku tidak bisa lagi membedakan apakah pria itu masih berdiri atau sudah jatuh. Yang kutahu hanyalah aku harus terus melawan, terus berusaha melepaskan diri dari rasa sakit yang membelenggu. Napasku semakin cepat dan berat, mataku masih berkaca-kaca.

Pria lain berbaju hitam datang lagi, dan dengan cepat menarik tanganku, melempar batu yang tadi kugenggam. Aku menatapnya seksama dengan pandangan buram, berusaha mengenali sosoknya.

Saat mataku akhirnya fokus, aku terkejut. Pria yang kukira juga awak Roats, ternyata Eja. Anak kecil yang dulu sangat pengecut itu kini berdiri di hadapanku, menatapku dengan mata yang penuh determinasi.

"Eja?" suaraku bergetar, setengah tidak percaya.

Eja tidak berkata apa-apa sambil menggenggam lenganku kuat-kuat. Dia hanya menatapku, matanya tajam dan penuh dengan keyakinan yang baru. Eja yang kukenal dulu selalu lari dari masalah, selalu bersembunyi di balik bayang-bayang. Tapi pria yang berdiri di depanku sekarang bukan lagi anak kecil yang pengecut.

“Jangan diteruskan, nanti bertambah bahaya,” ujarnya padaku. Jantungku berdetak tidak ternetralisir. Entah kenapa rasa perih di pipi tiba-tiba menghilang begitu saja.

“Reza?” Anindya bingung dengan keberadaaan Eja, suaranya serak memanggil nama Eja. Mungkin dia belum tahu selama ini Eja terus membuntutinya.

Eja melepas genggamannya pada lenganku. Pandangannya teralih. Dengan pasrah Eja melepaskan tali yang terikat di tangan Anindya sembari sekali-kali kembali menatapku sebentar.

“Eliza!” dari kejauhan aku melihat Baskara berlari menghampiriku. Pipiku mulai kembali merasakan perih, tapi kali ini bukan hanya pipiku yang perih, sekujur tubuhku merasakan nyeri mendalam karena kedatangan Eja. Lalu di detik selanjutnya, duniaku gelap, Anindya, Eja maupun Baskara tak lagi terlihat di mataku.

***

Aku terbangun dengan kepala yang masih sedikit pusing, dan pasti dua pipi yang perih dan terasa berat. Mataku tertuju pada jam dinding yang sudah menunjukkan waktu mulai petang. Aku terkejut, menyadari bahwa aku telah tertidur selama kurang lebih tujuh jam.

"Sudah bangun?" Baskara datang membawa sepiring bubur dan segelas air putih.

Aku mencoba duduk dengan tubuh yang terasa lemas. "Aku tidur lama banget?" tanyaku, masih bingung.

"Bukan tidur, tapi pingsan," sahut Evan dari ambang pintu kamarku. Wajahnya tampak khawatir, matanya mengawasi setiap gerakanku.

Keningku berkerut, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum aku pingsan. Kilasan kejadian terakhir melintas di pikiranku—Anindya yang terikat, pertemuan dengan awak Roats, dan ketegangan yang mencekam. "Anindya, di mana dia?" tanyaku cemas, suaraku juga bergetar.

“Dia aman, seharusnya pikirin keadaanmu dulu,” Ujar Ebra datang membawa kotak P3K.

Baskara lantas menggosok kepalaku sedikit lalu pergi disusul dengan Ebra. Setelah mereka pergi, aku segera membuka Handphone dan memeriksa pesa. Ada dua pesan yang masuk dari instagram Eja.

@raden.reza : Obati lukanya!

@raden.reza : semoga lukanya gak membekas

“Ah, sialan, dia tahu aku luka-luka, tapi malah sibuk bukain tali di tangan Anindya yang jelas sama sekali gak luka,” gumamku kesal. Entah kenapa aku sedikit geram melihat Eja tiba-tiba mengabaikanku begitu saja demi membuka tali yang semua orang bisa lakukan.

Aku akhirnya bangkit berjalan kearah kaca, memperhatikan dari dekat lukaku. “Roats, gila,” gumamku kesal lagi melihat pipiku yang merah keunguan, bekas cakaran cincin awak roats melebam memangjang sampai ke ujung hidung. Kulitku terasa kaku sampai rasanya ingin kuhilangkan saja.

Mengingat eja yang tiba-tiba datang tadi membuat pikiranku melaju kemana-mana. Apa benar dia sesayang itu pada Anindya? Hingga mengabaikan sahabat kecilnya yang lama tidak bertemu terluka.

Aku mengacak rambutku frustasi. Memang seharusnya dari awal aku turuti kata ayah. Kalau aku kembali dalam keadaan luka seperti ini, ayah pasti khawatir. Sia-sia aku datang ke Jogja demi uang tapi hasilnya malah jadi kacau. Perasaanku jadi gerah kalau terus menerus mengingat kelakuan Eja tadi siang.

Tiba-tiba suara ketukan pintu dari luar membuatku terkejut. Itu pasti bukan Ebra, Evan, ataupun Baskara. Pasalnya mereka tidak pernah mengetuk pintu kalau hendak masuk. Dengan hati-hati, aku berjalan menuju pintu dan membukanya.

“Hai,” sapanya lembut, sambil tersenyum tipis, Anindya berdiri didepanku menatapku iba.

“Maafkan akau, ini semua salahku,” ujarnya menarikku pelan menuju kasur. “Aku obati,” katanya mendorongku lembut duduk ke kasur.

Dia membuka paperbagnya, mengeluarkan beberapa kapas dan plaster kesehatan dan juga obat merah lalu mengoleskannya dengan lembut ke pipiku menggunakan ujung-ujung jarinya. Aku merasakan sensasi perih sampai ke dalam tulang pipi, sempat membuatku meringis menahan perih, tapi pelan-pelan juga Anindya meniupnya agar rasa perihnya mereda.

“Aku tidak bermaksud membuatmu seperti ini,” ujar Anindya sambil meluncurkan jarinya di sepanjang garis lebam di pipiku. Dia mengolesi salep putih dengan ekstra berhati-hati.

“Kamu gimana? Tadi diapakan?” aku bertanya sembari meringis menahan perih.

Anindya tersenyum simpul menghentikan proses pengobatan. “Jangan begitu, pikirkan lukamu, aku hanya ingin kamu membantuku, tapi bukan malah membiarkan orang-orang Roats melukaimu.” Matanyamengeluarkan deras air mata.

“Itu sebabnya, kamu harus berhati-hati saat mengucapkan kata minta tolong dihadapanku,” balasku dingin.

Anindya beranjak setelah meletakkan beberapa obat. Dia baerjalan mengambil kameraku yang terpajam di atas meja, lalu memberikanya padaku. Dia berjalan mendorong kursi ke ujung dinding kemudian duduk anggun di atasnya.

“Jangan lama-lama menginjak kota Jogja selagi masih ada Roats sebagai penghuninya,” katanya dengan suara serak.

Aku terdiam menatapnya bingung. Berikutnya, aku terkejut. Anindya membuka bajunya dengan santai sambil tersenyum. “Maka dari itu, selesaikan pekerjaanmu.”

Aku terpaku, tidak sanggup mengeluarkan sekatapun. Itu berarti Anindya datang dengan keputusan yang sangat besar. Betapa frustasinya aku mala mini sampai didatangkan perih bertubi-tubi.

Setelah seluruh kain yang ada di tubuhnya terlepas, dia memintaku segera memotretnya. Dan yang ku lakukan masih bisu dengan pikirannya yang berkecamuk.

“Cepat, di sini dingin.” Anindya mencoba meyakinkanku.

***

1
pausberkuda
semangattt🫶👏👏
Azzah Nabilah: weeehhhhh🥲
total 1 replies
ׅ꯱ƙׁׅᨮׁׅ֮ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅꭈׁׅɑׁׅ ηα
kerja bagus ija
Azzah Nabilah
jangan lupa ikuti kisan Eliza dan eja ya
Ohara Shinosuke
Semangat terus thor, aku yakin ceritamu akan menjadi luar biasa!
boing fortificado
Yang bikin author sebisanya aja ya, pengen lanjutin ceritanya.
Min meow
Tidak ada yang kurang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!