NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

LUKA KITA SAMA

PERPUSTAKAAN kota yang terletak di lantai paling atas bangunan bertingkat enam itu cukup ramai di siang hari. Nara pernah kesini sekali waktu itu bersama Tasya, meminjam novel. Lalu tidak pernah lagi. Ia selalu ingin pergi kesini, perpustakaan besar ini terlihat sangat menakjubkan. Apalagi di malam hari, jika kalian duduk dimeja yang berada didepan kaca yang juga berfungsi sebagai tembok, menghadap pada gemerlapnya lampu rimba beton ibu kota sejauh mata memandang.

Rak rak buku tinggi berderet rapi dari ujung ke ujung ruangan. Setiap lorong buku disediakan masing masing satu tangga untuk mengambil buku, juga alat yang menyerupai pencapit panjang jika kalian tidak bisa menyentuh buku paling atas. Kursi kursi dan meja meja ditata sedemikian rupa. Tanaman tanaman hias menambah kesan segar dan nyaman di ruangan besar itu.

Setelah mengambil sebuah novel romance, Nara duduk ditempat yang sudah diincarnya sejak lama. Didepan kaca besar. Pencahayaan disini banyak, tidak membuat sakit mata walaupun lampu perpustakaan tidak dinyalakan. Meja yang berada didepan kaca ini berupa meja panjang yang menempel pada tembok kaca, dengan kursi kursi tinggi seperti di bar yang berderet—yang harus susah payah jika mau duduk di kursi itu.

Baru Nara membalik halaman kelima dari novel yang ia baca, seseorang tiba tiba menepuk pundaknya. Sontak Nara menoleh, lalu terkejut dengan wajah orang itu yang terlalu dekat dengan wajahnya. Gadis itu tersentak, hampir terjengkang dari kursi tinggi jika saja orang itu tidak menahan lengan Nara.

“Yesha! Ngagetin aja!” Nara berseru tertahan, berusaha menyeimbangkan tubuh.

Yesha menatap Nara dari ujung ke ujung, memastikan gadis itu duduk dengan benar. “Duduk yang bener makanya. Anak kecil gak usah sok sokan duduk di bangku kayak gini deh.”

Nara melotot. Tidak terima.

“Dan lo duduk di tempat gue.” Yesha menambahkan.

Kening Nara terlipat, ia menatap sekitarnya. “Mana yang tempat lo? Emangnya lo yang punya perpus apa?”

“Awas.” Yesha menyingkirkan tangan Nara beserta novelnya dari meja, lalu menunjuk sebuah ukiran kecil yang ada disana. Bertuliskan ‘Yeshaka07’, “Nih. Jelas, kan? Ini tempat gue.”

“Alay lo.” Nara menggernyit aneh.

“Emang boleh ya nandain tempat gini?” Ia menyentuh ukiran itu. Bagus sebenarnya, hanya salah tempat saja.

“Orang orang juga nandain semua.”

Yesha menunjuk deretan meja sebelah kiri Nara.

“Yaudah.” Nara hendak turun dari bangku, tapi Yesha mencegahnya.

“Gak usah, it’s okay, hari ini gue kasih izin lo duduk disitu.” Yesha memutari bangku, mengambil duduk disisi kiri Nara.

“Lo udah bawa alat lukisnya?” Nara bertanya.

Yesha menggeleng, hanya mengeluarkan kanvas, sebuah pensil, dan sebuah penghapus dari dalam paperbag—yang baru Nara sadari ada sejak tadi. “Hari ini kita bikin sketsanya aja.”

“Kita?”

“Gue maksudnya.” Ralat Yesha.

Nara mengangguk angguk, tersenyum jahat. “Kanvasnya cuma satu? Punya lo mana?”

Yesha mengangkat bahu enteng. “Yang gue bisa nanti nanti, belum dapet ide mau ngelukis apa.”

Nara ber-oh pendek. Memperhatikan Yesha yang mulai menggoreskan pensil diatas kanvas, membuat sketsa. Bentuknya sih belum kelihatan, tapi gerakan tangan lelaki itu terlihat meyakinkan, jadi Nara tidak banyak bertanya.

“Ra,”

“Hm.”

“Nggak ada yang mau lo tanyain ke gue?” Tanya Yesha. Tangannya terus menggambar sketsa.

“Tentang apa?”

“Rahasia gue.”

Nara diam sesaat. Matanya memang menatap pada kanvas tempat Yesha menggambar, tapi pikirannya kembali pada hari hari yang lalu. Kata kata Sabitha melintas di benaknya. “Emang kalau gue tahu bakal ngubah faktanya?”

Yesha menghela napas. “Lo benci sama gue ya?”

Lagi lagi Nara diam. Kali ini ia menatap Yesha. Entahlah, sejujurnya Nara tidak yakin. Ia belum mendengar penjelasan Yesha, Nara juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi diantara Yesha dan Sabitha. Tapi saat ucapan Sabitha melintas dikepalanya, Nara merasa telah dibodohi oleh semua citra Yesha yang selama ini ia tahu.

“Bisa lo bayangin nggak? Satu sekolah, sembilan puluh delapan persen bangga banggain gue, muji gue ini itu. Tapi lo ada di dua persen yang benci sama gue. Yang tahu hal buruk tentang gue. Cuma lo. Satu. Seumur umur gak ada yang pernah ngutarain kebencian didepan gue langsung. Kecuali lo, yang berani bilang ‘Yesha, gue benci sama lo’”

Nara menghela napas, “Gue nggak benci sama lo, ya dikit sih. Cuma ngerasa dibohongin aja. Lo tahu sendiri citra lo sebagus apa disekolah.”

Yesha mengangguk mengerti.

Nara teringat sesuatu yang melintas dibenaknya, “Lo sama Sabitha pacaran dari kapan?”

Gerakan Yesha terhenti, ia menoleh pada Nara. “Siapa yang bilang?”

Eh? Nara jadi kaku sendiri. “S-Sabitha.” Jawab Nara tidak yakin. “Kalian pacaran, kan?”

Yesha mendengus, menggeleng cepat. “Nggak ya! Mana ada. Dari awal emang Sabitha suka ngarang cerita.”

“Kalian emang gak pacaran atau lo nya yang gak mau ngaku?”

“Nggak, Ra. Gue sama Sabitha gak pacaran,” Yesha menyergah. “Sabitha itu…gue kenal dia dari kecil, emang anaknya gak jelas. Dari dulu suka gue.”

“Sahabat kecil lo?”

“Gak sahabat, kenal aja. Bener bener cuma sebatas tahu aja, gak akrab juga.”

“Lah terus?” Nara tertegun. Jadi Sabitha membohonginya?

“Kenapa? Sabitha bilang gitu sama lo?” Tanya Yesha. Ia kembali melanjutkan menggambar sketsa setelah melihat Nara mengangguk. “Sama kayak lo tahu rahasia gue, Sabitha juga tahu satu rahasia gue yang lain, yang lo juga hampir tahu.”

Kening Nara terlipat, “Gue hampir tahu?”

Yesha mengangguk, “Udah nggak usah dibahas. Lo juga gak mau tahu, kan?”

Nara diam sesaat, lalu mengangguk. Yasudah, dia bisa tahu itu nanti nanti. Kalau ia sudah ingin tahu. Nara bisa bertanya pada Yesha lain waktu.

Dua jam berlalu cepat.

Pukul tiga sore saat Yesha melihat pada jam dipergelangan tangannya. Sketsa yang ia gambar hampir selesai, tapi Yesha harus pergi ke suatu tempat sekarang. Lelaki itu menoleh ke kanan, mendengus. Yesha pikir Nara sibuk membaca novelnya sampai tidak bersuara. Tapi lihatlah, gadis itu justru tertidur diantara lipatan tangannya diatas meja.

Yesha menatap Nara. Gadis yang baru Yesha kenal baru baru ini itu terkadang terlihat berbeda. Apa yang membuatnya berbeda Yesha tidak tahu persis. Selain mungkin hanya Nara yang tidak menyukai Yesha seperti gadis gadis lain. Dan Nara yang tidak ingin tahu tentang hidup Yesha seperti mereka. Jean benar, Nara cantik. Bahkan dalam tidurnya saja dia terlihat cantik. Tidak, jangan salah paham. Yesha hanya bilang dia cantik, bukan berarti Yesha menyukainya.

Sejenak Yesha merebahkan kepala seperti yang Nara lakukan. Tangan kanannya mengambil sebuah pecahan cermin kecil yang teronggok bisu diujung meja. Yesha menatap Nara yang tidur diatas ukiran namanya, lantas lelaki itu mengangkat kepala, sebuah ide melintas dikepalanya. Tangan Yesha bergerak mengukirkan nama Nara diatas meja, hati hati dan teliti. Dengan ukiran yang sama seperti ukiran namanya.

Sambil sesekali menoleh pada Nara yang tertidur, tanpa sadar Yesha tersenyum. Hingga ukiran itu selesai, hampir bersamaan dengan si pemilik nama yang perlahan matanya mengerjap, lalu terbuka sayu. Segera Yesha menutup hasil ukirannya dengan kanvas, pura pura tidak melakukan apapun.

“Kok lo gak ngebangunin gue sih, Sha?” Masih dengan kepala berada diantara lipatan tangan, Nara berucap lesu, suara khas orang bangun tidur.

“Udah kali. Lo nya aja kebo.” Yesha berbohong. Sebenarnya ia tidak tega membangunkan Nara.

Nara mengangkat kepalanya, menggeliat kecil, mengembalikan kesadarannya. “Udah selesai?”

Yesha menggeleng. “Belum. Besok lagi, gue harus ke tempat lain sekarang.”

“Eh, sekarang jam berapa anjir?” Nara mengangkat tangan kirinya, melihat jam di pergelangan tangan. “Ih udah jam tiga aja, gue juga harus pergi.” Bergegas Nara membenahi novel pinjamannya, menyampirkan slingbag.

“Mau kemana lo?” Tanya Yesha.

“Lah, lo juga mau kemana?”

“Ke tempat nyokap gue.” Yesha mengedik ringan.

Nara ber-oh pendek. Lalu turun dari kursi tinggi. “Yaudah, gue duluan ya—eh sini kanvasnya, biar gue yang simpen.”

Yesha menyodorkan kanvas dengan sketsa yang mulai kelihatan diatasnya. “Lo belum jawab mau kemana.”

“Kepo lo.” Nara memasukkan kanvas kedalam paperbag yang juga disodorkan Yesha.

“Dih curang,”

“Bye, thanks ya.”

“Heh.”

Nara sudah ngacir, berlari kecil diantara lorong buku, melewati rak tinggi.

Yesha mendengus, menatap punggung mungil Nara yang akhirnya menghilang di kelokan rak. Dasar cewek aneh.

...***...

Langit yang mulai mendung diatas sana tidak menggoyahkan tekad Yesha untuk pergi kesebuah tempat yang sering ia kunjungi rutin dua minggu sekali. Apalagi hari ini adalah hari spesial. Dengan segenggam buket bunga mawar putih kesukaan bundanya, Yesha dengan senyum cerah melangkah memasuki komplek pemakaman, tempat dimana ia akan menemui sang bunda.

Sebelas tahun lalu, saat Yesha masih berusia enam tahun. Ia harus menerima kenyataan pahit bahwa bunda kesayangannya telah berpulang karena sakit keras. Kehilangan besar itu menyelimuti diri Yesha bahkan hingga bertahun tahun kemudian. Dibanding ayah, Yesha lebih dekat dengan bundanya. Lebih mirip dengan bundanya. Wajah, sifat, kesukaan, serta darah seni yang mengalir didalam dirinya adalah warisan dari sang bunda. Dulu, bunda Yesha adalah seorang musisi, karena itulah saat ini Yesha memiliki cita cita sama seperti itu, ingin jadi musisi. Yesha ingin seperti bundanya. Sejak kecil bundanya selalu mengajari Yesha semua hal yang berhubungan dengan kesenian ditengah kesibukan menjadi seorang musisi. Karena itulah, Yesha yang saat ini begitu mencintai seni.

Yesha berjongkok disisi salah satu pusara dengan nisan bertuliskan nama bundanya yang diukir indah. Lelaki itu menaruh buket bunga yang dibawanya didepan nisan.

“Selamat hari kelahiran bunda.” Yesha tersenyum tulus. Tangannya terulur membersihkan daun daun kering yang mengotori makam bundanya.

“Bunda, Yesha kesini lagi. Kan, Yesha udah janji bakal kesini hari ini, walaupun agak telat. Maaf ya bunda, tadi Yesha bantu dulu temen Yesha ngerjain tugas. Ngerepotin tahu, bun, dia susah diajak ngomong, udah gitu dia gak suka lagi sama Yesha, cerewet juga. Tapi kata bunda, kan, Yesha harus jadi orang baik, harus bermanfaat buat orang lain. Jadi Yesha seneng kok bisa bantu dia ngerjain tugas.”

Yesha diam sesaat, mengumpulkan daun daun kering di sudut makam. “Bunda bisa liat Yesha nggak sih dari atas sana? Yesha kangen bunda. Kangen Zara. Padahal kata bunda kita harus terus sama sama, kan, ya? Tapi Zara masih di Australia, udah empat tahun Yesha nggak ketemu dia. Jahat, kan, Zara? Masa Yesha ditinggalin gitu aja? Ayah juga maksa Yesha buat belajar bisnis lagi, Yesha nggak mau bunda. Yesha mau jadi musisi kayak bunda.”

Helaan napas berat terdengar, Yesha menunduk. “Seharusnya bunda ada disini buat belain Yesha. Biar ayah nggak maksa Yesha terus buat jadi pengusaha.” Katanya pelan. “Tapi Yesha nolaknya baik baik kok, Yesha nggak marah marah ke ayah, Yesha nggak mau jadi anak durhaka. Yesha udah bilang biar Zara aja yang jadi pengusaha, lanjutin bisnis ayah, Yesha nggak tertarik. Semoga nanti ayah mau ngertiin Yesha. Semoga juga Yesha nolaknya nggak bikin hati ayah sakit. Semoga Yesha bisa jadi anak baik buat ayah dan bunda. Semoga Yesha gak buat ayah sama bunda kecewa. Yesha janji bunda, sepanjang hidup Yesha, Yesha cuma bakal ngelakuin hal hal baik, kayak yang pernah bunda bilang.”

Rintik hujan mulai turun satu persatu membasahi bumi. Yesha tahu jika terus diam disini ia akan basah kuyup. Tapi Yesha tidak peduli, ia masih ingin disini lebih lama.

Gerimis.

Yesha mendongak. Bukan. Bukan karena hujan, melainkan karena diatas kepalanya tiba tiba ada sebuah payung.

Lelaki itu menoleh ke belakang, menatap seorang gadis yang berdiri memegangi payung, melindungi Yesha dari hujan.

“S-sorry, gue gak bermaksud ganggu waktu lo sama bunda lo, tapi ini…hujan.” Nara tersenyum canggung, menunjuk langit.

Yesha berdiri, menatap Nara, bingung kenapa gadis itu ada disini. “Lo ngikutin gue?”

Cepat cepat Nara menggeleng, “Gue habis dari makam papa. Hari ini empat puluh harinya. Sebenernya gue juga kaget liat lo ada disini.” Jelasnya, menoleh ke arah makam papanya yang hanya terpisah lima makam lain dari makam bunda Yesha. Terlihat masih seperti makam baru.

Empat puluh hari? Yesha termangu. Mata Nara terlihat basah, sembab. Dia habis menangis. Lelaki itu menoleh sejenak mengikuti arah pandang Nara. “Oh. Sorry, gue turut berduka cita.” Kata Yesha hati hati. Takut semakin membuat Nara sedih.

Nara tersenyum getir, mengangguk. “Makasih. Gue juga turut berduka cita ya, semoga…lo ng-nggak terlalu sedih.”

Yesha tersenyum tulus, menggeleng. “Gue nggak sedih."

“Nggak sedih?”

“Nggak. Liat. Udah sebelas tahun lalu, gue udah nggak sedih,” Kata kata Yesha yang membuat Nara termangu. “But, thanks ya.”

Nara mengangguk kaku, tersenyum—yang terkesan dipaksakan. “Mau nyari tempat neduh nggak?” Tanyanya.

“Boleh. Sini payungnya, lo pendek.” Yesha mengambil alih payung dari tangan Nara.

Nara cemberut. Yesha akan tertawa jika saja keadaannya berbeda.

Keduanya berjalan beriringan melewati area pemakaman. Dibawah payung yang sama, dibawah hujan yang semakin menderas. Halte bus yang ada didekat perempatan jalan sana sepertinya akan menjadi tempat mereka berteduh sementara. Sepanjang trotoar sesekali Yesha melirik Nara. Gadis itu terlihat murung. Berbeda dengan saat mereka di perpustakaan. Wajar saja, dia baru kehilangan papanya belum lama ini. Tapi suasana diantara mereka jadi aneh sekarang.

Tiba di halte. Yesha melipat payung, lalu ikut duduk disamping Nara yang sudah meluruskan kaki lebih dulu.

Hening. Hanya terdengar suara hujan.

Dan helaan napas Nara.

Yesha berdeham, “Tahu nggak, Ra…”

Nara menoleh sekilas, “Apa?”

“Lo boleh nangis kalau lo mau nangis. Ketawa kalau lo mau ketawa. Mungkin sekarang lo ngerasa nggak adil, kehilangan itu nggak pernah mudah. Gue tahu rasanya kehilangan orang yang paling berharga dalam hidup. Gue juga ngelewatin masa masa yang lo rasain sekarang.” Kata Yesha lembut, matanya menerawang melewati rinai hujan.

Ia melanjutkan, “Lo nggak perlu pura pura kuat, lo boleh nangis, boleh ngerengek kayak anak kecil, selalu ada orang yang tepat buat menerima semua keluhan lo. Lo punya mama lo, kakak atau adik kalau lo punya, sahabat sahabat lo, atau bahkan gue, sebagai orang yang pernah ngerasain hal yang sama. Lo nggak sendiri, Ra.”

Nara menunduk. Air matanya berjatuhan setelah susah payah ia tahan. Yesha benar. Nara tidak pernah tahan untuk pura pura kuat. Isakannya terdengar diantara sela hujan. Yesha menatapnya iba, tapi tetap membiarkannya menangis. Membiarkannya mengeluarkan semua emosi yang tertahan.

“Sekarang mungkin sakit. Tapi justru rasa sakit itu yang bakal bikin lo semakin kuat. Lo bakal jauh lebih tahan banting saat nanti menghadapi situasi yang lebih sulit. Karena di ujian yang ini lo berhasil ngelaluinnya dengan nilai sempurna. Gak usah maksa diri lo buat sembuh, Ra. Biarin semuanya mengalir, pelan pelan aja. Obat buat semua luka lo itu adalah waktu. Biarin waktu yang nyembuhin semua luka lo.”

Tangis Nara semakin terdengar sedih. Yesha menghela napas berat, teringat dirinya dulu yang bahkan baru berumur enam tahun. Gadis ini juga terlihat sangat rapuh. Dia pasti sangat menyayangi papanya hingga lukanya sebesar ini.

Tangan Yesha terulur kesamping, mengusap bahu Nara untuk menguatkannya. “Berat ya, Ra? Nangis aja. Tapi jangan lama lama, nanti hujannya gak berhenti berhenti liat lo sedih.”

Tangis Nara diselingi tawa kecil. Gadis itu menyeka pipi, menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Air m-matanya…ng-nggak mau berhenti Yesha…”

Yesha tersenyum, terus mengusap bahu Nara. “Iya. Nangis aja nggak apa apa.”

“Ng-nggak mau, gue malu…”

“Malu sama siapa? Gak ada siapa siapa.”

“Sama l-lo…”

Yesha terkekeh, “Ngapain malu sama gue?”

Nara akhirnya berhasil menghentikan tangisnya. Susah payah. Gadis itu tertawa malu, menyeka pipinya yang basah.

“Sini, sini, gue bantuin.” Yesha tersenyum, membantu menyeka air mata Nara dengan kedua ibu jarinya. Jika saja situasinya berbeda, Yesha sungguhan akan tertawa, wajah Nara terlihat lucu sekali.

“Jangan ketawain gue!” Nara cemberut.

Yesha menggeleng, menahan tawa. “Nggak. Siapa yang ketawa?”

“Ish Yesha!”

“Itu kali tuh, abang abang cincau tuh yang ngetawain lo.” Yesha menunjuk asal seorang pedagang yang sedang berteduh di warung seberang jalan. “Woy bang! Jangan ngetawain Nara dong! Temen gue lagi sedih malah diketawain!” Yesha berseru pada hujan—pada abang abang cincau yang tidak mendengar, suara Yesha terkalahkan oleh suara hujan.

Nara tertawa, memukul lengan Yesha pelan. “Heh! Apaan sih?”

Kali Yesha bisa ikut tertawa, “Gitu dong. Sebentar lagi juga hujannya reda. Soalnya lo nya udah nggak sedih.”

Senyum Nara terbit. Ia menatap Yesha penuh penghargaan, “Makasih Yesha.”

Yesha mengangguk, “It’s okay. Kalau kata bunda, selalu ada pelangi setelah hujan.”

Nara ikut mengangguk membenarkan.

...***...

Tapi sayangnya, satu jam kemudian hujan tak kunjung reda.

Yesha dan Nara sudah bosan menunggu di halte. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Seharusnya Nara sudah pulang sekarang. Tapi apa boleh buat, hujan masih sama sejak tadi.

Nara menoleh kekiri, sebuah ide melintas. Ia menatap Yesha. “Sha.”

“Apa?”

“Makan yuk. Gue laper, sambil nunggu hujannya reda.”

Mata Yesha menatap sekitar, mencari tempat makan. “Dimana?”

“Tuh.” Nara menunjuk sebuah rumah masakan padang yang terletak tak jauh dari halte. “Yuk, hujan gini enak tahu makan.” Ajaknya, membujuk.

“Lo mau?” Tanya Yesha.

“Emang lo nggak lapar?”

“Lapar sih. Tapi—”

“Ah yaudah gue sendiri aja kalau lo nggak mau—"

“E-eh, eh, iya ayo. Ngambekan banget lo.”

Nara tersenyum manis, berdiri, mengembangkan payung. Diikuti Yesha setelahnya, mengambil alih payung ditangan Nara. “Gue aja. Udah gue bilang lo pendek, kepala gue mentok nanti.”

“Lo nyebelin deh.” Gerutu Nara.

Yesha terkekeh, “Bercanda.”

“Nggak lucu.”

“Sini deketan, nanti lo basah.” Yesha menarik lengan Nara, membuat tubuh mungil gadis itu menabrak tubuh Yesha.

Nara terkejut. Tanpa sadar menahan napas. Yesha hanya tersenyum tanpa dosa padanya, tanpa tahu bahwa jantung Nara baru saja loncat. Ia segera memalingkan tatapan, menepis tangan Yesha dari lengannya. “U-udah gue bilang jangan pegang pegang gue ish.”

Yesha mengangkat tangannya ke udara, “Sorry.”

Keduanya mulai berjalan bersisian menuju rumah makan padang yang hanya beberapa meter dari halte.

Sesampainya disana, Yesha melipat payung, sementara Nara sudah masuk duluan dan duduk disalah satu meja.

Rumah makan padang itu cukup ramai. Beberapa orang terlihat betulan makan, beberapa yang lain terlihat hanya ikut berteduh sambil menghabiskan segelas kopi atau teh hangat, tidak enak jika hanya numpang.

Yesha mengambil duduk disamping Nara, menatap sekitar. “Ini emang biasanya rame gini ya kalau rumah makan?”

Nara menatap Yesha setengah tidak percaya, “Emang lo nggak pernah makan ditempat kayak gini?”

“Nggak pernah.” Yesha menggeleng polos.

Seorang ibu ibu menghampiri meja yang ditempati Nara dan Yesha, bertanya pesanan mereka.

“Lo mau makan apa?” Tanya Nara.

Yesha bergumam pendek, lalu menggeleng, tidak terpikir apapun dikepalanya. “Nggak tahu. Lo mau apa? Kayaknya gue ngikutin lo aja deh.”

“Beneran nih?”

Yesha mengangguk.

“Yaudah. Bu, rendang dua ya, makan disini, sambelnya yang banyak.”

Eh? Yesha menoleh cepat pada Nara, “Yang gue nggak usah pake sambel.”

Nara menggernyit, “Kenapa? Lo nggak suka pedes?”

“Iya.”

Nara ber-oh pendek, lalu memperbaiki pesanannya pada ibu ibu tadi. Pesanan mereka segera dibuatkan. Sembari menunggu, Nara memikirkan topik apa yang harus diobrolkan. Melihat rumah makan ini ramai, mungkin menyiapkan pesanan mereka akan butuh waktu.

“Orang orang makannya emang pake tangan ya, Ra?” Yesha sudah memilih topik obrolan lebih dulu.

Nara mengangguk, menatap Yesha yang sedang memperhatikan sekitar. Astaga, lelaki itu seperti anak kecil yang pertama kali diajak ke tempat baru yang aneh. Sibuk melihat kesana kemari, membuat Nara ingin tertawa. “Iya, justru makan nasi padang itu lebih enak pake tangan. Lo pernah makan nasi padang nggak sih?” Tanya Nara penasaran.

“Pernah.” Angguk Yesha. “Tapi dirumah, gak pernah ditempatnya gini.”

“Pake sendok garpu?”

Yesha mengangguk lagi. Wajahnya polos sekali.

Nara menyeringai, “Salah. Nasi padang itu lebih enak berkali kali lipat kalau makannya pake tangan, Yesha. Lo harus nyobain.”

“Kan, gue juga makan pake tangan?”

Nara menepuk dahi. Bukan begitu maksudnya. “Pake lima jari! Gue juga tahu lo makan pake tangan!” Nara tertawa.

Yesha nyengir. Ia hanya bercanda.

“Lo pernah makan pake tangan kosong?” Tanya Nara lagi.

“Pernah.” Angguk Yesha.

“Makan apa?”

“Pizza, snack.”

Nara tertawa, menggeleng cepat. “Aduh, terserah lo deh. Dasar orang kaya.”

“Bener, kan?” Wajah Yesha memprotes.

Nara mengangguk saja, membenarkan asal. “Iya, iya, lo nggak salah.”

Aduh, Nara tidak habis pikir. Memang harus sampai seperti ini ya orang yang punya banyak uang seperti Yesha? Ada ada saja. Bisa bisanya lelaki itu belum pernah merasakan nikmatnya makan nasi padang dengan tangan. Kali ini Nara sepertinya harus mengajari Yesha, memberitahunya betapa hal itu merupakan kenikmatan yang nyaris tak tertandingi. Apalagi hujan seperti ini, membayangkannya saja Nara semakin lapar.

Nara memutar duduk menghadap pada Yesha sepenuhnya. “Coba liat tangan lo. Dua duanya.”

Tanpa banyak protes Yesha mengangkat kedua tangannya didepan tubuh, menunjukkan telapak tangannya pada Nara.

Nara menempelkan telapak tangannya pada telapak tangan Yesha. Dan terkejut saat merasakan betapa lembut telapak tangan lelaki itu untuk disebut sebagai tangan laki laki. Nara menatap Yesha dengan mata membelalak, “Lo nggak pernah kerja keras? Tangan lo lembut banget buat ukuran tangan anak cowok, Yesha!” Nara berseru tertahan.

“Gue main piano. Itu juga kerja keras.” Yesha tidak terima, ekspresinya lagi lagi memprotes ucapan Nara.

“Bukan kerja keras yang itu ya ampun!” Nara gemas sendiri.

“Tangan lo juga lembut.” Yesha menautkan jemarinya diantara jari tangan Nara yang lentik, menatap gadis itu hangat, tersenyum. “Tangan selembut ini emang gak cocok kerja keras sih.”

Dan Nara justru termangu. Jemari Yesha pada tangannya terasa lembut, dan nyaman. Tatapan hangat lelaki itu menyalurkan sebuah sengatan kecil yang membuat jantung Nara menabrak tulang rusuknya sedikit lebih keras. Senyuman itu. Bohong jika Nara bilang tidak terpesona oleh senyuman itu. Wajahnya memanas, tersipu. Kenapa Yesha tampan sekali sih? Eh? Maksudnya—

Pesanan mereka datang.

Sepersekian detik Nara menarik kembali tangannya. Pura pura tidak terjadi apa apa. Yesha terkekeh melihat itu. Lucu, pikirnya.

Dua piring nasi padang tersaji. Terlihat menggiurkan. Ekspresi wajah Nara segera berubah senang, lupa bahwa beberapa detik lalu ia sempat dibuat salah tingkah oleh Yesha. Gadis itu terlihat bersemangat, selera makannya naik cepat.

Sementara Yesha terlihat ragu disampingnya. Sejak barusan ia memikirkan apakah cara makan menggunakan lima jari untuk makanan berbumbu ini benar? Nara tidak sedang menipunya bukan? Tapi melihat semua orang juga makan dengan tangan, Yesha rasa Nara tidak berbohong.

“Makan, Sha.”

“Lo yakin?”

Nara mengangguk mantap, “Yakinlah! Liatin gue ya, terus ikutin.”

Yesha mengangguk.

Nara mencuci tangannya di air didalam mangkuk, Yesha mengikutinya. Lalu mulai menyobek daging rendang, menunjukkan cara mendapatkan kenikmatan memakannya pada Yesha. Sedikit ragu, tapi Yesha mengikuti apa yang Nara lakukan. Setelah melihat Nara menyuapkan nasi, lalu mengangguk meyakinkan Yesha, lelaki itu ikut melakukan hal yang sama.

Ekspresi wajah Yesha berubah.

Nara tersenyum dengan mulut penuh, “Enak, kan?”

Yesha mengangguk antusias, mulai mengunyah makanannya.

Nara tertawa kecil. Benar, kan, apa katanya. Yesha, si anak orang kaya ini juga pasti akan suka.

“Agak pedes ya.” Komentar Yesha.

Nara segera menyodorkan minum, “Kalau nggak kuat jangan dipaksain.”

Yesha menggeleng, “Gak seberapa dibanding enaknya.”

Sisa hari itu Yesha lalui dengan menikmati makan sorenya yang lebih enak dari biasanya. Entah karena cara makan baru yang Nara ajarkan. Atau karena kehadiran gadis itu sendiri.

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!