Salwa Nanda Haris, anak sulung dari pasangan Haris dan Raisya. Salwa menolak perjodohannya dengan Tristan, pria yang berstatus duda anak satu.
Awalnya Salwa sangat menolak lamaran tersebut. Ia beralasan tak ingin dibanding-bandingkan dengan mantan istrinya. Padahal saat itu ia belum sama sekali tahu yang namanya Tristan.
Namun pernikahan mereka terpaksa dilakukan secara mendadak lantaran permintaan terakhir dari Papa Tristan yang merupakan sahabat karib dari Haris.
Sebagai seorang anak yang baik, akhirnya Salwa menyetujui pernikahan tersebut.
Hal itu tidak pernah terpikir dalam benak Salwa. Namun ia tidak menyangka, pernikahannya dengan Tristan tidak seburuk yang dia bayangkan. Akhirnya keduanya hidup bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati Salwa
Ayah Haris dan Bunda Raisya ikut makan siang bersama di kediaman Tristan.
Melihat Salwa yang telaten melayani Khumairah, Bunda Raisya merasa sangat senang. Putri sulungnya itu memang memiliki hati yang tulus. Namun ketika sedikit saja dia kecewa, maka dia akan diam.
"Bunda yakin, kamu pasti bisa melewati semua ini, Wa." Batin Bunda Raisya.
"Setelah makan, Shalat Dhuhur di sini dulu, Ya, Bun!" Ujar Tristan.
"Iya, kami akan shalat di sini dulu, setelah dari sini kami akan mampir ke rumah Salman nanti."
Akhirnya mereka pun selesai makan siang. Masing-masing mengambil wudhu' kecuali Salwa.
"Wa, kamu nggak shalat?" Tanya Ayah Haris.
"Lagi halangan, Yah!"
"Sejak kapan?"
"Tiga, eh dua hari yang lalu."
"Oh... haha..."
"Ayah kenapa ketawa?"
"Nggak pa-pa! Ayah hanya kasihan sama orang yang nggak dapat jatah!" Ayah Haris melirik menantunya.
"Ayah, Apaan sih?Gitu amat sama mantu!" Bunda Raisya menimpali.
"Selamat berjuang! Jangan terlalu kaku, usaha dengan maksimal." Bisik Ayah Harus di telinga Tristan.
Mereka pun shalat berjama'ah, Ayah Haris yang menjadi imam shalat.
Tepat jam 14.00 Ayah Haris dan Bunda Raisya berpamitan pulang.
Sore harinya, Salwa menemani Khumairah mengaji.
"Shodaqallahul 'adzim."
"Bunda, dua minggu lagi Ira akan ulang tahun yang ke 6 tahun.
"Oh ya? Berarti Ira sudah besar ya?"
"Iya, kata Miss Fera kalau sudah besar nggak boleh tidur sama orang tua. Jadi mulai hari ini aku nggak akan tidur sama Abi dan Bunda."
"Hah... nggak pa-pa kok, Ra!"
"Nggak mau, Bun! Ira kan, pingin punya adik! Kata Nini kalau Ira pingin punya adik, Ira nggak boleh tidur sama Abi dan Bunda."
"Waduh, bisa gawat kalau Ira nggak tidur sama kami." Batin Salwa.
Malam harinya. Seperti uang dibilang Khumairah tadi sore, ia tidak mau tidur dengan Abi dan Bundanya.
Salwa menemani Khumairah sebentar di kamarnya. Setelah Khumairah tertidur, ia kembali ke kamarnya sendiri.
Sampai di kamarnya, rupanya Tristan sedang menonton televisi. Salwa masuk ke walk in closet untuk berganti baju tidur. Kali ini ia memakai dress panjang warna pink berbahan satin lengan buntung namun dilapisi luaran lengan panjang. Salwa masih memakai cadar rumahan yang tidak terlalu panjang. Ia pun keluar dari ruangan tersebut. Ia bingung hendak naik ke tempat tidur, karena saat ini suaminya sudah duduk sembujur di atas tempat tidur.
"Mana Ira?"
"Emmm... Ira tidur di kamarnya."
"Oh... "
"Aku tidur duluan, Mas!"
"Iya silahkan!"
Salwa berbaring membelakangi suaminya. Sebenarnya ia sangat gugup saat ini. Tapi ia masih bisa mengontrolnya dengan cara seperti itu.
Tristan pun mematikan televisi. Ia pergi ke kamar tidur, dan menyusul untuk tidur.
Di pertengahan malam, Tristan merasa kehausan. Ia bangun dan menghilangkan lampu, saat eminum air dari gelas yang ada di atas nakal, ia tersedak minumnya sendiri. Bagaimana tidak? Dia melihat dress istrinya terangkat sampai lutut. Dan cadar istrinya hampir saja lepas.
Tristan meletakkan gelasnya kembali dan mematikan lampu kamar dan juga lampu tidur. Ia sangat gelisah saat ini. Tiba-tiba saja adik kecilnya terusik dan bangun perlahan.
"Ah, ****! Ayolah, tidur!" Lirihnya kepada adik kecilnya.
Salwa terusik dengan suara lirih suaminya. Ia pun terbangun dan menghidupkan lampu tidur di sampingnya. Ia bangun hendak ke kamar mandi, namun karena dirinya yang masih sempoyongan, kakinya pun terkilir.
"Au...!"
Tanpa ia sadari cadarnya terlepas.
"A-ada apa?"
"Kakiku, sakit!"
Tristan menghampiri istrinya yang sedang kesakitan di lantai.Tristan tertegun di tempatnya. Wajah ayu Salwa terpampang nyata. Matanya yang lentik, hidung mancung, serta pipi yang kemerahan. Dan jangan lupakan lesung pipinya yang menambah kecantikan wajahnya.
"Masyaallah, benar kata Ira! Dia seperti bidadari." Batin Tristan
Tristan mencoba menyentuh kakinya.
"Ja-jangan dipegang, Mas! Sakit!"
"Kamu mau kemana?"
"Ke kamar mandi!"
"Bisa berdiri?"
"Akan aku coba!"
Salwa berpegangan ke tempat tidur. Tristan hanya memperhatikannya.
"Aduh duh...!"
"Duduklah dulu!"
"Cadarku?" Ia baru sadar kalau cadarnya terlepas dan jatuh di lantai
"Duduk saja dulu! Cadarmu nggak akan hilang!"
Salwa menuruti kata suaminya. Ia menundukkan wajahnya karena sangat malu.
"Tahan sedikit, aku akan mengurutnya dengan pelan!"
"Hem..."
Saat tangan Tristan mulai menyentuh kakinya, ada desiran hebat dalam darah Salwa. Dia memang sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan lawan jenisnya.
"Au au...sakit!"
"Nah sudah!"
"Coba berdiri!"
"Masih sedikit sakit!"
"Kalau belum bisa jalan, aku akan bantu!"
"Ti-tidak usah! Aku bisa berjalan pelan-pelan!"
Dengan sedikit menyeret kakinya, Salwa pergi ke kamar mandi. Lima menit kemudian ia keluar. Ternyata Tristan masih duduk di tempat tidurnya.
Salwa mencari-cari cadarnya.
"Apa ini yang kamu cari?"
Ternyata cadar Salwa ada di tangan Tristan.
"Untuk apa kamu tidur menggunakan ini?"
"E e.."
"Apa kamu tidak merasa pengap?"
Tristan berjalan mendekati Salwa.
"Aku sudah terbiasa." Jawab Salwa santai.
"Mulai saat ini biasakan tidur tanpa cadarmu! Aku ini suamimu bukan orang lain!"
"Hem, baiklah."
"Tidurlah! Sudah malam."
"Kamu baru sadar kalau aku ini istrimu, Mas?"
"Maksudmu?"
Tristan berbalik ke arah Salwa lagi.
"Tidak, tidak ada maksud apa-apa! Aku akan tidur!"
Salwa pun naik ke tempat tidurnya.
Tristan keluar ke balkon rumah, dia memikirkan maksud dari perkataan istrinya.
"Apa maksudnya? Apa selama menikah denganku dia tidak merasa diperlakukan seperti seorang istri? Apa sikapku kepadanya terlalu dingin? Apa dia tidak nyaman? Mungkin aku harus tanya kepada Salman. Apa yang harus aku lakukan kepada saudara kembarnya itu." Batin Tristan.
Setelah lelah memikirkan semuanya, Tristan pun masuk ke dalam kamar dan tidur menyusul Salwa.
Salwa terisak, ia tidak dapat menahan isakan tangisnya. Ternyata dari tadi ia tidak bisa tidur lagi. Tristan yang baru saja memejamkan matanya terusik. Ia bangun dan reflek menyentuh bahu Salwa.
"Sa-Salwa... kamu kenapa?"
Dia hanya menggelengkan kepala.
Tristan berusaha untuk membalikkan tubuh Salwa.
"Katakan kepadaku, apa yang membuatmu menangis? Apa aku sudah menyakitimu?"
"Mas, kalau kamu tidak menginginkan aku sebagai istrimu! Tidak apa-apa! Aku akan tetap menjadi Ibunya Ira!"
"Ke-kenapa kamu berkata seperti itu?"
"Karena aku merasa begitu! Hiks..."
"Tidak, tidak! Itu tidak benar! Justru aku sangat berharap kamu mau menerimaku! Bahkan dari beberapa bulan yang lalu, kamu sudah menolak lamaranku! Padahal banyak sekali wanita yang melamarku."
"Itu karena aku tidak mau dibandingkan dengan istri pertamamu! Ketakutanku hanya itu! Aku tidak siap dibanding-bandingkan!"
"Tapi dia sudah meninggal!"
"Meski sudah meninggal, tapi kenangan itu masih hidup di hati kamu, Mas! Bahkan kamu masih menyimpan fotonya di kamar kita."
Deg
Tristan terhenyak. Ia menoleh ke dinding, dimana di situ terpampang fotonya dan Nabila. Ia meraup mukanya dengan satu tangannya. Ia baru sadar, kalau hal tersebut sangat mempengaruhi perasaan istrinya. Kini ia baru sadar kegundahan hati Salwa.
Bersambung....
...----------------...
Next ya kak
Tapi Si Ira Anak Siapa..Anak Satria Atau Tristan....
Bahasanya Sangat Sempura..
Ceritanya Suka Bgt...👍🏻😍😘
Bagus Baca Ceritanya Si Salwa...😘🤗