NovelToon NovelToon
Merayakan Kehilangan

Merayakan Kehilangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Raft

Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.

Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mengenang - 30

...Kenapa saat hujan, kita lebih banyak mengenang? ...

...Karena ia adalah jembatan yang menghubungkan hati kita dengan waktu dan kenangan. ...

***

Bandung tengah hujan sekarang. Dan untungnya Rai sudah pulang dari toko oleh-oleh untuk teman-temannya di Jakarta.

Aroma petrikor selalu menjadi candu kala bumi menjatuhkan bebannya. Dan entah kenapa, mengenang kala hujan datang adalah hal yang tidak boleh dilupakan.

Setiap rintiknya merupakan bisikan lembut yang menggema dalam sunyi. Menembus sanubari hati bagi siapa saja yang menikmati.

Petikan gitar yang Guntur gaungkan seakan menjadi pelengkap dari kegiatan mereka sekarang.

Semua sedang berkumpul di ruang tamu dengan cerita yang mereka punya. Saling berbagi lewat kata dan tertawa ketika lelucon sederhana milik Dikta menggema di antara mereka.

"Eh bentar, bentar. Jemuran udah diangkat belum?"

Pertanyaan Adhisty membuat suasana langsung sunyi. Mereka bertatapan satu sama lain untuk menanyakan hal yang sama dalam hati.

Semua menggeleng, membuat Adhisty langsung berlari keluar untuk melihat keadaan.

Dan benar saja, pakaian yang telah ia cuci kini basah semua.

Lantas, gunanya ia mencuci untuk apa? Ah! Adhisty rasanya ingin teriak saja. Mana bajunya banyak lagi, mungkin ada empat kilo kalau di timbang.

"Kok bisa lupa, sih?" Tanyanya pada diri sendiri.

Semua sepupunya menyusul Adhisty keluar, termasuk Rai. Mereka melangkah ke tengah hujan yang masih turun untuk mengangkat jemuran yang kembali basah karena hujan.

"Hujan-hujanan aja lah sekalian." Ucap Ananta membuat semuanya melupakan tentang pakaian dan mulai keluar lebih panjang.

Dikta juga ingin hujan-hujanan, tapi lucunya ia malah memakai payung kecil milik Ananta yang membuatnya seperti orang gila.

Ayolah, badan Dikta ini besar, tapi payung yang ia pakai sebesar topi sekolah Rai.

Gunanya Dikta memakai payung untuk apa, coba? Merepotkan diri sendiri saja.

Rai dan Adhisty hanya duduk sila sembari menikmati hujan yang menyapa. Berbeda dengan Ananta dan Guntur yang tidur terlentang di tengah hujan deras yang turun sekarang.

Melodi indah yang terdengar oleh mereka adalah riuh air yang berjatuhan. Membuka memori tentang luka yang terpendam, juga rindu yang tak pernah tersampaikan.

"Air hujan bisa dimakan 'kan, ya?" Tanya Ananta kepada Guntur dengan berteriak, karena suaranya seakan beradu dengan hujan.

"Diminum kali, bukan dimakan."

Ananta tidak membalas, ia malah membuka mulutnya cukup lebar untuk menampung air hujan dan menegaknya.

"Payungnya ngapung, Nanta!" Teriak Dikta dengan heboh, membuat Ananta tersedak saking kagetnya.

Guntur yang memang ada di sampingnya menepuk pundak Ananta dengan brutal, bermaksud menenangkan agar batuknya cepat hilang.

Tapi nyatanya Ananta malah mengaduh kesakitan. Gerakan spontan milik Guntur sedikit menyakitkan.

Rai dan Adhisty mendekat ke arah mereka berdua. Sedangkan Dikta sibuk mengejar payung milik Kakaknya agar tidak terbawa semesta.

"Keselek apa sih kamu, Ta? Keselek jigong, ya?" Pertanyaan Rai membuat Ananta menunjuk ke atas, bermaksud memberitahu jika hujanlah penyebabnya.

"Apa, sih? Kamu keselek langit?"

Pemikiran Rai sepertinya sudah tercemari.

"Batukin yang keras. Nanti juga ilang sendiri." Saran Adhisty yang langsung diikuti Ananta.

Dan perlahan, Ananta mulai bisa bernafas lega.

Setelah semuanya baik-baik saja, datanglah Dikta dengan napasnya yang tidak baik-baik saja. "Payungnya gak ketemu. Gak tau terbang kemana. Kayaknya sampe ke Jakarta."

"Atau mungkin ke luar angkasa." Lanjut Adhisty yang membuat Ananta kesal mendengarnya.

Pasalnya payung kecil itu pemberian Sang Kakek yang sudah tiada. Masa harus hilang begitu saja?

Ananta berdecak kencang. "Harusnya yang terbang itu kamu aja! Ke luar angkasa juga gak papa, ikhlas aku."

"Diculik alien nanti, gimana?"

Pertanyaan macam apa itu? Padahal Ananta sedang marah padanya.

"Biarin, biar kamu jadi alien juga sekalian. 'Kan mirip."

Oh, Rai mengerti. Mereka sebenarnya sedang bercanda.

Makanya untuk menghargai, Rai tertawa walau tidak terdengar murni. Dan anehnya, semua mengikuti.

Hingga akhirnya tawa itu menjadi melodi baru yang terdengar tanpa kepura-puraan. Mereka tertawa lepas sekarang. Selain bisa menangis lepas di tengah hujan, ternyata tertawa juga bisa, ya?

Kata orang, kenangan ketika hujan turun, suka maupun duka, akan selalu teringat dalam kepala. Selamanya.

***

Baru juga kemarin ia merasa bahagia, harus kembali merana karena waktu menyuruhnya pergi dengan paksa.

Bahkan kalau diperbolehkan, Rai ingin tinggal lagi di Bandung tanpa harus ke Jakarta. Tapi bagaimana dengan sekolahnya? Memang bisa untuk pindah lagi, tapi kesannya seperti memainkan.

Dikta sudah memanaskan mobilnya di depan rumah. Jadi setelah mereka selesai berpamitan, mereka bisa langsung berangkat.

"Mamah janji ya dateng pas kelulusan Rai nanti?" Ucapnya sebelum pamit.

Dan Ibu hanya tersenyum tanpa memberi jawaban pasti. "Sekolah yang rajin. Jaga diri disana, ya!"

"Iya."

"Ayok! Mau berangkat sekarang?" Dikta sudah bersiap di kursi kemudi dengan Ananta di sampingnya. Membuat Rai merasa harus ke dalam mobil sekarang juga.

"Kamu gak akan nunggu Bumi? Katanya dia mau kesini kalau kamu mau pergi." Ucap Guntur yang dari tadi diam.

Rai dari tadi memang menunggu Bumi. Bahkan ia sudah mengirim pesan agar Bumi segera menemuinya sebelum ia pergi. Tapi pesan itu seakan tidak tersampaikan kepada Bumi.

"Pengennya nunggu, tapi Dikta kayaknya gak sabar, tuh!"

Ketika namanya disebut, Dikta langsung bersuara. "Bukan gak sabar, takutnya kemaleman sampenya."

"Iya, iya! Ya udah ayok atuh, maju!"

"Kapan-kapan kita main ke sana, ya!" Ucap Adhisty yang tidak bisa ikut hari ini, dengan alasan kerjaannya yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.

"Harus, dong!" Kalau bisa, malah Rai yang ingin tinggal disini lagi.

"Pergi dulu, ya! Assalamu'alaikum."

Lambaiin tangan menjadi ikon perpisahan. Juga kata 'hati-hati' yang selalu tersampaikan.

Mobil hitam milik Dikta mulai menjauh dari rumah bergaya kuno itu, meninggalkan tatapan tak terbaca dari seorang Ibu yang harus jauh dari Anaknya. Juga perasaan rindu yang datang dari awal.

Entah waktu yang sedang mempermainkannya, atau memang ini takdir yang harus ia terima. Ia sampai ketika Rai sudah pergi.

Ya, Bumi baru sampai ketika Rai meninggalkan.

"Mau ditelpon? Suruh mereka puter balik dulu sebentar." Ibu Rai tentu saja merasa kasihan. Apalagi ketika melihat tote bag yang Bumi bawa, yang ia sangka untuk diberikan kepada Rai.

Tapi Bumi malah menggeleng. "Gak usah, Tan."

Karena ia tau jika dirinya yang telat. Walau penyebab telatnya karena mengantri untuk membeli mochi, makanan kesukaan Rai.

"Ini ada mochi, Tan." Daripada mubazir dan sia-sia, akhirnya Bumi memberikan itu kepada Ibu Rai saja.

"Makasih, ya! Kamu mau main dulu disini?"

Bumi menggeleng pelan. "Bumi mau langsung aja."

"Makasih sekali lagi, ya! Kamu hati-hati di jalan."

Sembari memakai helmnya, Bumi mengangguk. "Iya."

Walau hatinya sedikit tidak terima karena tidak berhasil bertemu Rai, setidaknya ia sudah membuat kenangan dengannya kemarin. Ya, setidaknya ia sudah melihat raga itu baik-baik saja.

***

Tangannya terangkat ragu untuk membuka pintu yang ada dihadapannya. Bahkan pikirannya berkata agar ia tidak usah masuk saja. Tapi hatinya menolak untuk itu.

"Jangan egois, pulang!"

Perkataan Rindu yang menggaung di ingatan membuat ia memiliki keteguhan untuk masuk ke dalam.

Aroma lavender yang sudah menjadi ciri khas dari rumahnya membuat ia cukup tenang.

Aroma ini mengingatkannya pada Sang Ibu. Terlebih sekarang matanya bisa melihat bayangan Ibu yang sedang duduk di sofa tunggal dan tersenyum ke arahnya.

"Angkasa?"

Bayangan Ibu hilang ketika suara perempuan yang ia anggap asing di rumahnya itu datang.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang juga!"

Angkasa masih belum mau memberi senyuman kepada Ibu tirinya. Ia hanya berdehem pelan sebagai jawaban.

"Kamu udah makan, Nak? Kalau belum, biar Ibu siapin."

Nada bicaranya memang lembut, tapi entah kenapa Angkasa tidak suka.

"Saya bisa sendiri. Ayah dimana?"

Bibirnya melengkung sempurna, membuat wajahnya yang terlihat awet muda jadi sangat sempurna. "Ada di ruang kerjanya. Kamu samperin, sana!"

Angkasa mengangguk ringan, dan mulai melangkah meninggalkan Ibu tirinya dengan perasaan cukup senang? Karena Angkasa sudah mau pulang, dan menanyakan keberadaan Ayahnya.

Itu perubahan yang luar biasa bagi mereka. Semoga Angkasa bisa mengerti dan menerimanya juga Rindu disini.

Ya, semoga saja hatinya terbuka hari ini.

***

^^^29-Mei-2025^^^

1
Zαskzz D’Claret
mampir juga thor😁
Sky blue
Bikin kesemsem berat sama tokoh utamanya.
Febrianto Ajun
karyamu keren banget thor, aku merasa jadi bagian dari ceritanya. Lanjutkan ya!
Tít láo
Gemesinnya minta ampun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!