Sebuah bakti kepada orang tua, mengharuskan perempuan berumur 27 tahun menikah dengan laki-laki pilihan kedua orang tuanya yang selama ini ia anggap sebagai adik. Qila yanh terbiasa hidup mandiri, harus menjalani pernikahan dengan Zayyan yang masih duduk di bangku SMA. “Aku akan membuktikan, kalau aku mampu menjadi imam!” Zayyan Arshad Qila meragukannya karena merasa ia lebih dewasa dibandingkan dengan Zayyan yang masih kekanakan. Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja? Bagaimana keduanya menghadapi perbedaan satu sama lain? Haloo semuanya.. jumpa lagi dengan author. Semoga kalian suka dengan karya baru ini.. Selamat membaca..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menunda Tanpa Menahan
“Dengarkan aku! Aku dan perempuan itu tidak ada hubungan apa-apa. Sifa hanya mengucapkan selamat tinggal karena dirinya akan pindah sekolah.” Kata Zayyan yang sudah membalik tubuh Qila agar mereka berhadapan.
“Jadi, Namanya Sifa?”
“Itu tidak penting! Yang penting aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya ataupun dengan perempuan lain. Kamu satu-satunya untukku. Kamu yang pertama aku suka, kamu yang pertama aku cinta, kamu yang pertama aku peluk, kamu yang pertama aku cium dan kamu juga yang pertama akan mengambil keperjakaanku!”
“Dasar tidak tahu malu!” kesal Qila yang mendorong tubuh Zayyan.
Zayyan yang tidak siap, terdorong. Dengan cepat ia menarik pinggang Qila dan akhirnya mereka terhempas di tempat tidur. Qila yang ingin berdiri, tidak bisa lepas dari kuncian Zayyan.
“Kalau kamu bergerak terus, bisa-bisa aku kehilangan akal! Aku laki-laki normal.” kata-kata Zayyan seketika membuat Qila mematung.
Ia tahu apa yang Zayyan maksud karena dirinya merasakan sesuatu mengganjal di bawah sana. Sepolos-polosnya Qila, ia tahu kalau sesuatu yang mengganjal di bawah sana adalah milik Zayyan yang terbangun.
Ia beruntung selama ini Zayyan tidak ada menuntut haknya. Jika saja Zayyan menginginkannya, ia sebagai istri harus memberikannya karena dosa baginya menolak keinginan suami.
Hanya saja secara mental, Qila belum siap. Ia tidak bisa membayangkan jika dirinya hamil dan Zayyan masih sekolah. Apa sebaiknya ia bicarakan ini dengan Zayyan?
“Apa hadiah peringkat satu untukku?” tanya Zayyan yang tidak tahan dengan kediaman Qila.
“Ka-kamu mau apa?” tanya Qila dengan kikuk.
Ia berdoa dalam hati, semoga Zayyan tidak meminta dirinya saat ini.
“Bagaimana kalau liburan ini kita ke Daerah Selatan? Aku belum pernah kesana.”
“Cutiku baru mulai 5 hari lagi. Apa tidak apa-apa kita hanya satu minggu disana?”
“Tidak masalah.” Qila mengangguk.
Sebenarnya Qila sudah mengajukan cuti berbarengan dengan libur Zayyan. Hanya saja ia terlambat mengajukan sehingga tanggal yang akan ia ambil sudah diisi. Ia hanya bisa mengambil cuti mundur 5 hari, menunggu admin lain kembali dari cuti.
Keduanya tetap pada posisi. Qila yang tidak berani bergerak dan Zayyan yang sedang mencoba menenangkan diri. Tetapi nafas Qila yang mengenai dadanya, membuat dirinya tidak bisa berkonsentrasi.
Zayyan yang tidak tahan, berguling hingga Qila ada di bawahnya sekarang. Tanpa aba-aba, Zayyan menyatukan bibir mereka dan mempermainkannya. Qila yang awalnya terkejut menjadi mengikuti permainan suaminya.
Hanya saja, permainan Zayyan semakin liar hingga kedua tangannya telah melepaskan kaitan pelindung atas Qila. Jelas pemilik pelindung tersentak kala kedua tangan Zayyan sudah meraba kulitnya.
Setiap usapan tangan Zayyan, meninggalkan rasa hangat di kulitnya. Qila tanpa sadar mengeluarkan suara dibuatnya. Seolah mendapatkan lampu hijau, Zayyan menggerakkan tangannya menyusuri setiap jengkal tubuh Qila di bawah pakaian dan berhenti di benda kenyal yang membuat Qila kembali mengeluarkan suara.
Zayyan melepaskan pagutannya dan melihat ke arah Qila yang memalingkan wajah karena merasa malu dengan suara yang keluar dari mulutnya.
“Apa aku menyakitimu?” tanya Zayyan.
“Ti-tidak.” jawab Qila gugup.
“Kenapa tidak melihatku?”
Qila menarik nafas dan menatap Zayyan. Semburat kemerahan di wajah Qila, membuat Zayyan tersenyum dan menarik kemeja yang Qila kenakan ke atas.
“Kita harus bicara!” Qila menghentikan tangan Zayyan.
Zayyan mengangguk dan melepaskan tangannya. Ia mengajak Qila duduk agar mereka nyaman berbicara.
Qila mengutarakan apa yang membuatnya tidak siap dan segala kemungkinan yang mungkin terjadi jika mereka melakukan hubungan. Zayyan mendengarkannya dengan seksama dan menganggukkan kepalanya.
Selain perekonomian masa depan, ia juga harus memikirkan masalah anak. Walaupun anak adalah rezeki yang tidak bisa ditebak kapan akan diberikan, setidaknya mereka harus memiliki persiapan sebelum memutuskan untuk melakukannya.
Bukan karena tidak menginginkan anak, posisi mereka saat ini yang belum memungkinkan jika ada anak diantara mereka.
“Apa kamu mau menundanya sampai aku lulus sekolah?” tanya Zayyan.
“Apa kamu sanggup menahannya?” Qila balik bertanya.
“Menunda bukan berarti aku harus menahannya!” seru Zayyan dengan seringai di bibirnya karena sudah pasti istrinya tidak akan mengerti maksudnya.
Benar saja. Qila justru bertanya apa maksud Zayyan, hingga membuatnya tertawa.
“Kenapa istriku polos sekali?” tanya Zayyan sambil mencubit kedua pipi Qila.
“Sakit!” protes Qila.
Zayyan mengusap kedua pipi Qila sambil meniupnya. Lalu ia menjelaskan apa maksudnya dengan menunda tetapi tidak dengan menahan.
Qila terkejut dengan penjelasan suaminya. Ia saja tidak terpikirkan hal itu, bagaimana bisa Zayyan terpikirkan?
Memang ada banyak cara untuk menundanya, tetapi Zayyan menyarankan agar dirinya saja yang menggunakan pelindung agar Rahim Qila tidak terpengaruh dengan alat penunda kehamilan yang bersifat hormonal.
Jika Qila masih ragu, Zayyan mengajaknya untuk berkonsultasi dengan dokter bagaimana baiknya. Qila setuju dan mereka sepakat sore ini akan mengunjungi dokter kandungan untuk berkonsultasi.
“Kalian ke mana?” tanya Bagus yang saat ini menunggu di depan kontrakan Qila dan Zayyan.
“Kami di klinik, Yah.”
“Siapa yang sakit? Kenapa tidak mengabari Ayah?”
“Tidak ada yang sakit, Yah. Kami hanya konsultasi ke dokter kandungan.”
“Apa Ayah…”
“Belum.”
“Baiklah! Ayah tinggalkan kiriman ibumu di dekat pintu. Kabari Ayah kalau ada apa-apa.”
“Baik, Yah.”
“Ayah mengantarkan kiriman Ibu di kontrakan.” Kata Zayyan seraya menyimpan ponselnya kembali.
Qila mengangguk. Keduanya menunggu antrean yang sangat Panjang. Mereka yang tidak tahu kalau harus membuat janji lebih dulu, mendapatkan urutan ke 20.
“Mau makan dulu, tidak?” tanya Zayyan.
“Bagaimana kalau dipanggil?”
“Yang masuk tadi baru urutan kedua. Kalau durasi periksa satu pasien sekitar 5 menit, kita masih punya waktu sekitar 90 menit sebelum giliran kita. Kita masih bisa sholat maghrib dulu.”
“Ya sudah, ayo pulang dulu.” Keduanya pulang ke rumah.
Seperti biasa, Rumi akan mengirimi mereka bahan masakan dan makanan untuk makan malam. Zayyan membawa masuk kiriman sang ibu dan menatanya di kulkas, sementara Qila menata makanan di piring.
Kiriman kali ini adalah rendang dan sambal teri Lombok ijo. Selesai makan, keduanya melaksanakan sholat maghrib berjamaah dan satu jam kemudian kembali ke klinik.
Beruntung saat mereka datang, antrean nomor 19 dipanggil sehingga beberapa menit kemudian giliran mereka yang dipanggil.
Zayyan mengutarakan apa yang menjadi kendala mereka tanpa mengatakan jika dirinya masih sekolah. Dokter mendengarkan dan memberikan saran agar mereka menggunakan pelindung seperti yang Zayyan ungkapkan.
“Penggunaan pelindung yang benar dapat mencegah kehamilan sampai 98%. Selain sebagai penghalang fisik, pelindung juga mencegah cairan sperma memasuki vagina dan mencapai sel telur. Yang pasti cara ini lebih aman dibandingkan dengan alat kontrasepsi hormonal untuk awal pernikahan kalian.” Jelas dokter.
“Apakah aman untuk penggunaan jangka Panjang, Dok? Sekitar 1 atau 2 tahun mungkin.”
“Umumnya aman dan tidak menyebabkan masalah pada Rahim. Yang penting gunakan pelindung baru setiap kali berhubungan dan pastikan pelindung tidak rusak atau kadaluarsa. Jangan lupa untuk menjaga kebersihan area intim, baik itu suami maupun istri! Dan pastikan tidak ada alergi lateks. Kalau itu terjadi, kalian bisa menggantinya dengan pelindung berbahan lain.”
“Terima kasih, Dok.”
Keduanya keluar dari ruangan dokter dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Di samping kelegaan karena sudah mendapatkan solusi atas apa yang mereka resahkan, kepala mereka juga dipenuhi dengan kemungkinan hubungan mereka akan berkembang seperti apa ke depannya.
.
.
.
.
.
Maaf kemarin tidak sempat up, hee hari ini up 2 bab
Besok author usahakan up 2 bab lagi