NovelToon NovelToon
Istri Kedua Suamiku

Istri Kedua Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Spiritual / Kehidupan di Kantor / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Suami ideal
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: ARSLAMET

Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.

Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.

“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”

Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.

Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?

Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.

Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jamuan hangat .

Akhir pekan pun tiba.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, rumah Rendi kembali menjadi tempat berkumpul para staf kantor. Ini bukan acara formal—tak ada jas, tak ada berkas. Hanya gelak tawa, makanan hangat, dan obrolan ringan yang menyenangkan.

Sejak pagi, Alisya sudah sibuk di dapur. Ia mengatur semuanya dengan cekatan, dibantu pesanan dari luar seperti tukang bakso keliling yang ia kenal sejak lama. Ia tidak pernah membiarkan tamu datang tanpa disambut dengan baik.

Pukul sepuluh, satu per satu tamu datang. Bunga dan beberapa staf lainnya melangkah masuk ke halaman yang penuh hiasan kerajinan tangan. Udara pagi masih segar, dan aroma masakan menguar dari dalam rumah, memeluk siapa pun yang datang dengan rasa nyaman.

“Wah, rumahnya cantik banget, Pak Rendi,” ucap salah satu staf, mengagumi suasana hangat yang tercipta.

Rendi tersenyum, matanya mengarah ke Alisya yang sedang menata gelas di meja panjang.

“Semua karena dia,” katanya pelan. “Dia selalu tahu caranya bikin rumah terasa hidup.”

Alisya hanya menoleh sekilas dan tersenyum. “Kalian santai aja ya. Aku ke belakang dulu sebentar, mau cek makanan.”

Bunga memperhatikan interaksi itu dalam diam. Ada senyum di wajahnya, tapi juga sesuatu yang lain—halus dan sulit dijelaskan. Ia tahu, ini bukan tempat untuk perasaan, tapi kadang, rasa tidak bisa selalu tunduk pada waktu dan tempat.

Tak lama, Rasya datang menyapa. Anak kecil itu berdiri di ambang pintu, menyapa semua orang dengan sopan dan ceria, lalu berlari lagi ke kamarnya setelah merasa tugas sosialnya selesai.

Setelah makan siang disajikan dan semua mulai mencicipi hidangan, Rendi mengajak beberapa staf masuk ke ruang kerja kecil di sisi rumah.

Semua duduk melingkar. Di antara mereka, Bunga membuka catatannya.

“Aku ada beberapa ide,” katanya pelan. “Mungkin bisa ditambahkan zona interaktif—semacam ruang terbuka untuk komunitas perempuan, atau area di mana remaja bisa mengembangkan kreativitas mereka.”

Rendi mendengarkan dengan serius. Matanya sempat bertemu mata Bunga sejenak, lalu beralih ke layar presentasi.

“Bagus,” ucapnya. “Aku suka pendekatan yang nggak cuma fokus pada transaksi, tapi juga pengalaman.”

Staf lain mengangguk setuju. Tapi di tengah semua itu, ada momen-momen singkat yang tak diucapkan—ketika Bunga menyampaikan pendapat dan Rendi menatapnya sedikit lebih lama daripada yang seharusnya. Bukan karena perasaan, mungkin, tapi karena kehadiran yang terasa akrab… dan berbeda.

Sementara itu, di luar ruangan, Alisya masih di dapur, tertawa kecil bersama tukang bakso dan sesekali melirik jam dinding. Ia tahu mereka sedang berdiskusi, tapi memilih untuk tetap tinggal di tempat yang ia kuasai: menjamu, menyambut, menjaga rumah tetap hangat.

...****************...

Sudah lebih dari satu jam berlalu sejak diskusi proyek berlangsung di ruang kerja kecil rumah itu. Rendi, yang sedari awal ingin menjadikan pertemuan ini sebagai waktu bersantai bersama rekan-rekan kerjanya, mulai merasa bersalah. Ia melirik ke arah jam dinding—hari sudah mulai condong ke sore.

Mereka semua seharusnya hanya tertawa, makan, dan saling berbagi cerita ringan. Bukan membahas anggaran, konsep arsitektur, dan target waktu pelaksanaan proyek seperti yang barusan terjadi.

Dengan suara ringan namun tegas, Rendi pun mengakhiri perbincangan.

“Kayaknya cukup ya untuk hari ini. Kita simpan sisanya untuk Senin,” ujarnya sambil berdiri. “Sekarang waktunya kalian cobain cemilan yang udah disiapin Alisya. Aku yakin kalian belum nyentuh yang manis-manis.”

Suasana pun mencair kembali. Para staf tertawa kecil, bangkit dari duduk mereka, lalu mulai bergerak ke ruang makan. Beberapa langsung mengambil kue kering dan teh yang sudah disiapkan dengan rapi di atas meja bundar berlapis taplak renda krem.

Rendi menyusul mereka, namun sebelum mengambil cangkir atau kue apa pun, langkahnya mengarah pada satu sosok yang sejak tadi sibuk memantau dari balik pintu dapur.

Alisya.

Dengan senyum kecil yang nyaris seperti anak kecil yang baru selesai menuntaskan tugasnya, Rendi memeluk istrinya dari samping. Tubuhnya bersandar ringan, dan lengannya melingkar pelan di pinggang Alisya, seolah dunia di sekeliling tak ada.

“Terima kasih, ya,” bisik Rendi. “Kamu selalu tahu caranya bikin semua terasa hangat.”

Alisya terkesiap kecil, lalu mencubit lengan suaminya pelan.

“Rendi... banyak orang,” bisiknya dengan pipi memerah.

Tapi momen itu sudah telanjur tertangkap.

Beberapa staf yang melihat adegan tersebut langsung menggoda sambil tertawa.

“Ih, sosweet banget, Pak Rendi sama istrinya.”

“Kayak dunia milik berdua, kita cuma numpang bakso.”

Rendi hanya tertawa. Alisya menunduk malu, menyembunyikan senyumnya di balik tangan. Tapi justru itu yang membuat suasana semakin hangat—tak ada jarak antara atasan dan bawahan, hanya keluarga besar yang sedang menikmati akhir pekan bersama.

Di sisi lain ruangan, Bunga hanya melirik sekilas adegan itu. Ia tersenyum kecil, lalu kembali memandang ke arah cangkir tehnya. Ada sesuatu yang terasa halus menyentuh dadanya—bukan iri, bukan sedih, hanya semacam pengingat bahwa ada bentuk cinta yang sederhana... dan nyata.

Tak lama, Alisya mendekatinya.

“Hai,” sapa Alisya sambil menarik kursi di sebelah Bunga. “Dari tadi belum sempat ngobrol, ya? Kamu pasti Bunga, sekertaris suami saya”

Bunga mengangguk, sedikit terkejut tapi juga tersentuh oleh keramahan itu. “Iya, saya Bunga. Maaf, tadi terlalu serius ikut diskusi.”

“Justru aku yang harusnya minta maaf. Harusnya hari ini kalian nggak diganggu kerjaan kantor. Tapi ya... suamiku itu kadang suka kebablasan,” ucap Alisya sambil tertawa kecil.

Bunga ikut tertawa. “Nggak apa-apa kok. Malah senang bisa ngobrol langsung soal proyek itu. Aku suka idenya.”

Sejenak, keduanya saling menatap. Percakapan terasa mengalir meski baru dimulai.

“Kamu cantik sekali, Bunga,” ucap Alisya tiba-tiba, tulus. “Rambutmu... indah banget. Lurus dan terurai kayak air.”

Bunga sempat terdiam. Kalimat itu terdengar bukan seperti pujian biasa. Ada ketulusan di dalamnya, yang membuatnya sedikit bingung harus merespons seperti apa.

“Ibu juga,” ucap Bunga akhirnya. “Aku suka cara Ibu menyambut semua orang. Rumah ini... terasa hidup karena Ibu".

Senyum Alisya melembut. “Mungkin karena aku suka melihat orang senang. Rasanya kayak... bahagiaku ikut tumbuh dari senyum mereka.”

Bunga mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia mengakui—ada kehangatan yang jarang ia temui pada perempuan lain. Alisya bukan hanya baik, tapi juga lembut dan membumi. Tidak ada rasa curiga, tidak ada sikap menjaga jarak meski dia satu-satunya perempuan dalam lingkaran rekan kerja Rendi.

Dalam hatinya, Bunga berkata: “Begini rasanya berada dekat dengan perempuan yang dicintai dengan jujur... dan mencintai dengan tenang.”

Alisya menatapnya lama. Dalam diamnya sendiri, ia juga membatin: “Ada sesuatu dalam sorot mata gadis ini. Dia lembut. Tapi kuat. Mungkin... aku senang dia di sekeliling Rendi.”

Hari pun berlanjut, dengan secangkir teh dan dua perempuan yang mulai membuka ruang untuk saling mengenal—dalam kebersahajaan yang manis dan tenang.

1
Iis Dawina
mendingan mundur alisya...ga blk bner klo ortu dah ikut campur mah
Yati Syahira
sdh panjang bab tdk terungkap perselingkuhan suaminya aneeh bikin males baca
ARSLAMET: biar makin penasaran kak , hehehe staytune trus ya
total 1 replies
D͜͡ ๓KURNI CACAH
wanita sebaik dan secantik sabar alisha kok bisa si di sakiti Sama laku laku kampret Kya si Rendi
D͜͡ ๓KURNI CACAH
ngk rela bgt alisha di Madu
D͜͡ ๓KURNI CACAH
kampret Rendi sama bunga kok bisa nikah ...dasar laki laki apa pun ala San nya tetap tak di benarkan
Rubyna
kok gak ada kejelasan tiba tiba menikah karna apa, dan bunga seharus nya menolak tau kan kalau Rendi susah beristri
ARSLAMET: dukungan nya kaka , selalu berharap yang terbaik untuk tulisan ku dan semua hal hehe
Rubyna: semangat ya, noveltoon gak kayak dulu, asal kontrak sudah dapat cuan sekarang susah
total 4 replies
❤ Nadia Sari ❤
ketikannya kok center semua?
ARSLAMET: @ terimakasih sebelumnya atas sarannya ..
❤ Nadia Sari ❤: bagus yg awal aku tadi bacanya kayak lagu
total 3 replies
pembaca
lanjut kan tuk menuju sukses
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!