Follow IG=> Fafacho88
Gibran Montana Sinaga harus mengalami penyesalan yang teramat sangat menyiksa dirinya. Penyesalan yang membuat hidupnya tak berarti lagi setelah kepergian perempuan yang telah ia jadikan budak dalam hidupnya, perempuan itu pergi membawa anaknya membuat dirinya cukup menderita..
Lima tahun kemudian ia melihat seorang perempuan yang begitu mirip dengan istrinya membuatnya begitu penasaran apakah itu istrinya atau bukan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafacho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep 3
“Naina, Naina..” panggil tari yang tiba-tiba saja muncul dari belakang Naina yang akan mengambil barang-barangnya di lemari tempat dimana para OB dan OG biasa ganti baju dan menaruh barang-barang mereka.
Naina langsung melihat kearah Tari,
“Iya ada apa Tar?” tanya Naina pada rekannya itu.
“Kamu darimana saja, sampai siang begini bahkan sudah mau pulang kantor kamu baru nongol. Kamu di hukum apaan sama pak Gibran?” tanya Tari merasa cemas dengan temannya itu. karena sedari tadi Naina tak terlihat batang hidungnya.
“Aku tadi istirahat sebentar, di kostan ibu kantin. Badanku nggak enak Tar, sekarang aku juga mau pulang.” Naina terpaksa berbohong tak mungkin dia bilang kalau disiksa dengan melayani Gibran di ranjang.
“Kamu mau pulang? Sudah ijin dengan pak Gibran Nai. Kalau belum nanti kamu kena hukuman loh” ucap Tari khawatir.
“Sudah kok” lagi Naina berbohong, padahal dia belum ijin dengan Gibran. Tapi mau bagaimana lagi badannya terasa remuk dan lelah. Dia ingin istirahat di rumah, dan tak ingin melihat wajah Gibran saat ini.
“Syukurlah kalau kamu sudah ijin Nai, oh iya tadi kamu belum jawab kamu dikasih hukuman apa sama pak Gibran?”
“Cuman suruh bersihin ruangannya aja kok” jawab Naina tak terus terang.
“Oh, ya sudah kalau kamu mau pulang hati-hati ya. Misalnya kalau badan kamu nggak enak cepat minum obat” pungkas Tari begitu perduli dengan Naina.
“Iya makasih ya Tar” naina memeluk temannya itu, ia tiba-tiba saja menangis dengan pelukan Tari yang hangat. Hal itu mengingatkannya pada sang ibu yang ada di kampung.
“Aku pulang dulu ya tar” ucap Naina langsung pamit pergi.
“Iya hati-hati ya,.” Ucap Tari sambil melambaikan tangannya pada Naina yang berjalan pergi sambil tersenyum tipis.
Naina berjalan keluar dari kantor sambil melihat isi tasnya memeriksa barang-barangnya siapa tahu ada yang masih tertinggal.. setelah dirasa tak ada yang tertinggal Naina berjalan semakin mantap untuk pergi dari kantor, ia saat ini butuh waktu untuk menyendiri meratapi nasibnya.
Di tempat lain Gibran saat ini tengah menelpon kekasihnya, ia mengajak bertemu pacarnya itu yang sudah beberapa hari sibuk dengan pekerjaannya. Alisha kekasihnya seorang model dan juga balerina yang mengejar karir keluar negeri.
“Ya terus kapan sayang kita ketemunya, kau selalu saja bilang tidak bisa. Tapi saat aku tidak bisa kau marah” kesal Gibran sambil berjalan ke arah kursi kerjanya saat ini.
“Ya aku minta maaf sayang, aku masih ada janji dengan manajerku. Terus bagaimana dong, masa kamu beneran nggak ada kerjaan?” jawab Alisha di seberang sana, suara lembut perempuan itu terdengar merasa bersalah.
“Kerjaanku sudah selesai, dan kau yang menyuruhku untuk menyelesaikannya. Tapi apa, kau memang perempuan pendusta.” Gibran mulai emosi dan langsung mematikan panggilannya serta tak tanggung ia langsung melempar ponsel miliknya ke sembarang arah tak perduli ponsel itu akan rusak atau tidak nantinya.
“Seharusnya aku tetap menghangatkan diriku dengan Naina, kalau tahu kau akan mengikari janji kita Alisha. Kemana Naina sekarang,” tukas Gibran dan berjalan kearah kamar yang ada di ruangan kerjanya tersebut. Ia akan mencari Naina dan menghabiskan waktu siang dan sorenya di atas ranjang bersama perempuan itu.
Gibran langsung membuka kamar dimana tadi dia meninggalkan Naina, dan saat pintu terbuka ia tak mendapati siapun disana. Kmar itu sudah kosong dan sudah tertata rapi seperti semula.
“Perempuan itu sudah pergi,” gumam Gibran sambil berjalan masuk. “Bodoh, bukannya tadi aku sendiri yang menyuruhnya untuk pergi” lanjut Gibran merutuki dirinya sendiri.
Gibran langsung berjalan keluar dari kamar itu, sebelum itu ia melihat jam tangannya lebih dulu. sudah jam lima sore waktunya dia pulang. Kemungkinan juga Naina sudah menyiapkan perlengkapan mandinya dirumah.
.......................................
Naina duduk diam di halte seorang diri, ia menunggu angkot yang biasa membawanya pulang kerumah. Ia melihat kanan kiri masih sepi tak ada angkot atau kendaraan umum yang lewat didepannya. Hal itu membuatnya gelisah, ia takut kalau sampai rumah tidak tepat waktu maka Gibran akan marah-marah padanya karena belum membuatkan makanan untuk pria itu.
“apa aku telpon bi Uma untuk membuat makan malam?” pikir Naina. “benar aku telpon Bi Uma saja agar dia membuatkan makan malam untuk Gibran” putus Naina. Dia akhinya memutuskan untuk menghubungi asisten rumah tangga yang hanya bekerja sementara dirumahnya. Bi uma tidak menetap dirumah nya dan Gibran perempuan itu hanya bekerja siang hari saja dan itupun hanya mencuci baju Gibran dan menyetrikanya.
“Halo Bi Uma,” ucap Naina saat panggilan di seberang sana sudah diangkat.
“Iya non, ada apa?”
“begini bi, aku minta tolong buatin makan malam untuk pak Gibran ya. Soalnya aku belum dapat angkot takutnya nanti kalau pak Gibran pulang belum ada makanan. Bibi masih ada dirumah kan?”
“Baik non, nanti bibi masakkan buat pak Gibran. Ada lagi non..”
“Nggak bi, cuman itu saja. Terimakasih ya bi sudah mau aku mintain tolong”
“Iya non sama-sama, kayak apa aja” pungkas Bi Uma.
“Ya sudah kalau begitu bi” Naina langsung mematikan panggilannya setelah mengatakan apa yang ingin dia katakan. Saat ini ia hanya perlu menunggu kendaraan umum yang lewat.
Tak lama kemudian sebuah angkot berhenti didepan Naina, membuat perempuan itu langsung berdiri dan berjalan masuk kedalam angkot tersebut.
“Apa pak Gibran sudah dirumah ya, dia marah nggak ya kalau bukan aku yang masak” pungkas Naina terlihat cemas memikirkan reaksi Gibran nanti kalau bukan dirinya lah yang memasak.
Naina duduk melamun sampai tak sadar kalau ada orang yang membuka tasnya saat ini, di angkot hanya ada empat orran saja dan mereka sibuk dengan ponselnya sehingga tak melihat apa yang terjadi pada Naina.
Orang yang mengambil dompet Naina langsung turun setelah mendapat apa yang ia inginkan. Naina masih belum sadar, dia terus melamunkan akan nasib rumah tangganya kedepan. Jujur dia sudah tak tahan hidup dengan Gibran yang terus menyiksanya..tapi ia kalau menyerah bagaimana nasib keluarganya di kampung dan nasib sekolah adiknya.
“Mbaknya tadi turun di jalan F kan?” tanya sang supir angkot pada Naina yang duduk tepat dibelakangnya.
“Iya bagaimana pak?” Naina baru tersadar dari lamunanya saat sang supir menoleh pada dirinya saat ini.
“Mbak Turun di Jalan F kan?” ulang sang supir angkot.
“Oh iya pak,” Naina langsung turun dari dalam angkot sambil membuka tasnya untuk mencari dompet miliknya. Tapi ia marasa aneh karena tak mendapati dompetnya di dalam tas. Perempuan itu langsung kebingungan...
“Mbak buruan, saya mau jalan lagi” seru sang supir angkot dari dalam kendaraanya.
“Iya sebentar pak, saya cari dompet saya dulu” jawab Naina.
“Maaf mas, mas disitu ada dompet saya nggak ya” ucap Naina bertanya pada pria yang sedikit muda yang berada di dalam angkot.
Pria itu mencari dompet Naina, bahkan ia menunduk ke bawah tempat yang ia duduki siapa tahu dompet tersebut ada disitu.
“nggak ada mbak” ucap pria tersebut.
“Aduh..” Naina langsung kebingungan.
“Mbak buruan, mau bayar apa nggak sih”
“Pak, maaf dompet saya hilang gimana kalau saya bayar besok”
“Nggak bisa mbak, saya ini cari rezeki dan harus setoran masa mau diutang”
“Ya sudah pak biar saya saja nanti yang bayar ongkos mbak itu” ucap pria yang mencari dompet Naina tadi.
“Aduh mas nggak usah” Naina merasa tak enak.
“Nggak pa-pa mbak, udah pak sopir ayo buruan jalan” ucap pria muda tersebut pada supir angkot.
“makasih banyak mas, makasih” ucap naina.
“Iya sama-sama mbak” angkot itu langsung berjalan pergi meninggalkan Naina di tepi jalan. sedangkan pria yang ada di dalam angkot itu terus melihat pada perempuan polos itu.
°°°