Kusuma Pawening, gadis remaja yang masih duduk di bangku SMA itu tiba-tiba harus menjadi seorang istri pria dewasa yang dingin dan arogan. Seno Ardiguna.
Semua itu terjadi lantaran harus menggantikan kakanya yang gagal menikah akibat sudah berbadan dua.
"Om, yakin tidak tertarik padaku?"
"Jangan coba-coba menggodaku, dasar bocah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Seno menautkan kedua alisnya. Gadis di bawah kungkungannya ternyata selain barbar tidak punya rasa takut. Ia jadi penasaran, apakah mengerjainya tidak juga membuat ia takut.
"Mau ... nggak tahu, otakku terlalu lelah memikirkan apa yang akan terjadi. Mungkin kita bisa membahas ini nanti setelah sampai rumah."
"Kamu sedang membuat penawaran? Kalau aku maunya di sini gimana? Aku tidak suka menunda waktu yang sedang aku inginkan."
"Hehehe ...." Wening nyengir mencari alasan untuk menghindari tatapannya yang tajam. Sesungguhnya ia takut setengah mati, tapi tidak boleh kelihatan cengeng. Bisa-bisa terintimidasi dan misinya menemukan dalang dibalik kehamilan Kak Rara gagal total.
"Begini Om, menurut artikel yang Wening baca, sebaiknya kita melakukan itu di saat sama-sama mau dan dalam keadaan rileks, tanpa unsur paksaan apalagi penindasan. Jadi, posisi sekarang yang om lakukan bisa membuat Om menderita karena sekarang bahkan lahannya belum siap."
"Kamu ngomong apa sih? Siapa yang mau paksa kamu. Kecil-kecil mesum!" tuduh Seno serasa ingin tertawa ngakak. Ternyata otak istrinya connect juga tak sepolos dipikiran Seno.
"Eh, ngatain mesum. Kalau nggak mau, ngapain nempel-nempel, itu bisa membuat orang gagal paham dan PHP namanya. Menyingkir dari atas tubuhku!" tekan gadis itu berubah jadi galak.
"Kenapa kamu mau nikah sama aku, kamu kan masih kecil?"
"Hais ... pertanyaan Om konyol sekali, seharusnya aku yang tanya, kenapa Om mau menikahi gadis kecil, seharusnya Om tetap menikahi Mbak Rara, kasihan dia jadi sedih lantaran gagal menikah."
"Heh bocah! Kakakmu sedang hamil, mana mungkin aku nikahi, ayah dari bayi itu yang berhak menikahi. Paham!"
"Belum Om, tubuhmu berat, tolong jangan menindihku!"
Seno menarik diri hingga terduduk, begitupun Wening langsung bangkit dan menjaga jarak. Dikungkung Om Seno membuat seluruh tubuhnya merespon dengan baik. Otak pintarnya terlalu nakal mencerna sampai-sampai gagal paham.
"Baiklah, kita bahas ini di rumah. Aku punya beberapa aturan yang harus kamu patuhi dalam menjalani rumah tangga nanti."
"Aku juga punya aturan yang harus Om setujui, jadi ... apakah kita sepakat untuk berdamai?"
"Tentu saja tidak, aku tidak bisa menerima semua ini begitu saja. Kamu mana tahu sakitnya kecewa dan dikhianati. Kamu harus membayar mahal atas perlakuan kakakmu!" tekannya sembari menyorotnya tajam, lalu keluar dengan membanting pintu.
Wening sampai terjingkat resah mendengar dentuman pintu mobil yang tertutup.
"Waduh ... gawat, sepertinya Om Seno ngamuk beneran. Hanya ada dua cara, membuatnya jatuh cinta lalu menghempaskan, atau menendang tanpa sisa dari hatinya yang sama sekali belum bertahta." Wening bergumam dalam hati.
"Yu, jalan, masuk!" titahnya terdengar cukup nyaring.
Wahyu langsung masuk ke mobil begitu mendengar mandat dari bosnya. Ia pikir baru saja terjadi pergulatan panas yang membuat mobil bergoyang, tapi—kenapa muka atasannya tetap datar. Mungkinkah mereka gagal, pria yang merangkap jadi supir itu senyum-senyum kurang kerjaan.
"Kenapa Yu?" tanya Seno mendapati asisten pribadinya bergelagat aneh.
"Tidak ada, Tuan. Apa kita langsung pulang ke rumah Nyonya Besar?"
"Iya, ibuku sudah menunggu," jawab Seno jelas.
Wening yang di jok belakang tidak peduli dengan apa yang mereka obrolkan. Gadis itu lebih tertarik mendengarkan musik lewat earphones yang dipasang ke telinganya. Nampak menikmati hidup yang mungkin saja di depan nanti banyak huru-hara yang menanti.
Beberapa menit berlalu, tibalah di sebuah rumah yang cukup besar dan megah. Wening turun dengan membaca bismillah. Semoga saja tapakan kaki pertama di Jakarta membawanya kebahagiaan dan keberkahan.
Seno langsung turun, bahkan mengabaikan istri kecilnya yang nampak bingung.
"Dek, sini masuk, biar kopernya nanti aku bawain," interupsi Wahyu yang membuatnya tersadar dalam lamunan sesaat.
"Om, ini rumah tante Yasmin?"
"Iya, silahkan masuk, Dek, Nyonya Yasmin dan Pak Adi sudah menunggu di dalam."
"Si arogan ke mana?" tanya Wening mencari-cari suaminya.
"Maksudnya Tuan Seno? Beliau sudah masuk tadi, ayo mari saya antar."
"Ck, dia memang suami yang tidak pengertian. Malangnya nasibku, gagal sudah harapanku dipinang pangeran yang baik hati dan rupawan," gumam Wening yang membuat Wahyu tersenyum lucu.
"Sudah pulang Nak, Wening mana?" tanya Bu Yasmin mendapati Seno berjalan seorang diri.
"Jalan sendiri lah Ma, masa aku gendong."
"Hish ... kamu jangan ketus gitu, kasihan dia sudah berkorban banyak untuk keluarga kita."
"Seno juga, Mama kenapa malah prihatin sama dia, nggak ngerti banget hatiku sekarang kaya apa," keluh pria itu melenggang begitu saja menuju kamarnya.
Bu Yasmin cukup paham, keluarga juga merasa kecewa. Tetapi mungkin memang yang terbaik begini, beruntung pernikahan mereka digantikan Wening, jadi keluarga tidak begitu malu dengan berita yang santer terdengar.
Suara salam menggema di ruangan yang megah itu. Bu Yasmin dan Pak Adi menyambutnya dengan begitu terbuka.
"Selamat datang di rumah kami, Nak, kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini."
"Terima kasih Ma, Pa, sudah menerima Wening," jawabnya santun.
"Eh ya, pasti capek, bisa istirahat dulu, biar Bik Sumi yang mengantar ke kamar Seno."
"Mari Non, Bibik antar," ujar asisten rumah tangga yang siap membantu.
"Ini kamarnya, selamat beristirahat sudah kami siapkan!" ujar Sumi sambil tersenyum mempersilahkan.
"Terima kasih, Mbak," jawabnya sopan.
Wening memasuki kamar yang terlihat begitu longgar. Sepi, ke mana pria itu?