“Kuberi kau uang satu miliar dalam sebulan. Tapi, kau harus tinggal jauh dariku!” ucap Blue Rivero pada Red Forstrom—gadis desa nan polos yang dijodohkan oleh ayah mereka.
*
*
Blue Rivero, seorang pewaris dari pengusaha terkemuka, terpaksa menjalani perjodohan yang diatur oleh sang ibu demi memenuhi ayahnya.
Dia dijodohkan dengan Red Forstrom, gadis desa sederhana yang begitu polos namun cerdas.
Kedua ayah mereka, yang bersahabat sejak kecil dan berasal dari panti asuhan yang sama, telah membuat kesepakatan agar anak-anak mereka menikah suatu hari nanti.
Meski jarak usia mereka terpaut jauh—Blue berusia 30 tahun dan Red 23 tahun—itu dianggap usia ideal untuk menikah.
Namun, Blue menolak perjodohan ini karena dia sudah memiliki kekasih. Blue menganggap Red pasti kolot dan tak menarik karena berasal dari desa meskipun dia tak pernah berjumpa dengan gadis itu sebelumnya.
Terpojok oleh ancaman ayahnya yang menolak menandatangani hak warisnya, Blue akhirnya menikahi Red.
Dalam keputusasaan, dia membuat kesepakatan dengan Red yaitu wanita itu harus pindah ke luar negeri dengan imbalan uang bulanan SATU MILIAR.
Namun, apakah rencana ini akan berjalan mulus?
Atau justru membuka babak baru dalam kehidupan mereka yang penuh kejutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zarin.violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Bisa Tidur
Jam dinding di kamar menunjukkan pukul 00:47 ketika Red akhirnya menyerah pada insomnia yang tiba-tiba menggerogotinya.
Kasur empuk berukuran king size itu terasa seperti hamparan batu—dingin dan tak bersahabat.
Angin malam berdesir melalui celah jendela yang tak tertutup sempurna, membuat korden sutra itu bergerak melambai-lambai.
“Kenapa aku tak bisa tidur,” gumam Red sambil menatap langit-langit tinggi yang dihiasi lukisan fresco.
“Aku lebih nyenyak tidur di apartemenku yang hangat daripada di istana megah ini.”
Dia meraih ponselnya untuk kesekian kalinya. Layar birunya menyala—tidak ada notifikasi, tidak ada pesan dari Blue sejak dia datang tadi.
Hanya foto lockscreen-nya yang masih menunjukkan pemandangan danau di dekat peternakan milik ayahnya.
Hingga akhirnya sudah pukul 01:13.
Dengan gerakan kesal, Red melemparkan selimut sutra yang mahal itu dan menginjakkan kakinya di karpet Persia yang tebal.
Udara sejuk langsung menyergap kulitnya yang hanya tertutup gaun tidur sutra pendek.
*
*
Pintu kamar berderit pelan ketika Red membukanya. Lorong utama mansion sangat sunyi dan sedikit gelap.
Hanya lampu-lampu kecil di sepanjang pinggiran lantai yang menyala, memberikan penerangan minim seperti cahaya kunang-kunang.
Kakinya yang polos tak mengenakan apa pun, menapak pelan di lantai marmer yang dingin.
‘Apakah mansion sebesar ini benar-benar kosong di malam hari?’ batinnya.
Dia melewati ruang lukisan—ruangan yang tadi sempat dilihatnya sekilas saat home tour singkat dengan pelayan.
Red kemudian melihat lukisan itu lebih jelas. Dia fokus menatapnya, mempelajari filosofi apa yang terkandung di dalamnya.
*
*
Lorong mansion yang biasanya dingin terasa semakin membeku ketika Blue berdiri tak bergerak di ujungnya.
Ya, Blue baru saja masuk ke lorong dan kini berhenti di sana ketika melihat Red beberapa meter darinya.
Matanya menancap pada sosok Red yang tak menyadari kehadirannya—wanita yang tiga hari lalu mengguncang dunianya dengan sentuhan liarnya. kini berdiri di depannya dengan hanya mengenakan gaun tidur sutra merah marun.
Kain tipis itu menggantung longgar di satu bahu Red, mengungkap lekuk tulang selangka yang sempurna.
Gaun yang bahkan tak mencapai pertengahan pahanya membuat siluet kakinya yang jenjang terpantul jelas di matanya.
‘Persis seperti saat dia mengaitkan kakinya di pinggangku,’ ingat Blue, tenggorokannya terasa kering.
*
Kilasan memori itu datang tanpa diundang—tubuh Red yang melengkung di bawahnya, kuku-kuku merahnya mencengkeram punggungnya, suara erangannya yang teredam di bantal.
Malam di kamar hangat Red, ketika mereka akhirnya menyerah pada ketegangan yang sudah berbulan-bulan terbangun.
Dan sekarang Red ada di sini. Di depan matanya. Tadinya, Blue ingin menghindari Red sebisa mungkin sampai besok orang tuanya datang.
Namun, tampaknya takdir ingin mereka bertemu. Red masih belum menyadari kehadirannya.
Tangannya yang ramping terangkat perlahan, seolah ingin menyentuh lukisan minyak bergaya realis itu.
"Kau ..." suara Blue akhirnya pecah, serak oleh memori dan keinginan. "Kau seharusnya tidak di sini.”
Red berbalik begitu cepat sampai rambut yang tergerai berputar seperti tirai emas.
Matanya membesar, bibirnya yang merah terbuka, membuat Blue semakin panas melihatnya.
Blue melangkah mendekat. Otaknya menyuruhnya jangan mendekat, namun tidak dengan tubuhnya yang ingin dekat dengan Red.
Pria itu kini ada tepat di hadapan Red. Bayangannya yang tinggi menutupi tubuh Red di bawah lukisan.
Wangi parfum Red—vanila dan sesuatu yang lebih tajam—memenuhi rongga hidungnya, mengalahkan aroma kayu tua dan kertas yang biasa ada di sini.
“Maaf, aku … tak bisa tidur,” kata Red. “Aku pikir kau …” Red tak melanjutkan ucapannya karena dadanya berdebar kencang.
Karena Blue hanya diam saja tak menanggapi, Red akhirnya berbalik pergi.
Namun, Blue menangkap pergelangan tangan Red dengan gerakan cepat. Kulitnya hangat, denyut nadinya cepat dan mereka saling menatap intens satu sama lain.