Di Kota Pontianak yang multikultur, Bima Wijaya dan Wibi Wijaya jatuh hati pada Aisyah. Bima, sang kakak yang serius, kagum pada kecerdasan Aisyah. Wibi, sang adik yang santai, terpesona oleh kecantikan Aisyah. Cinta segitiga ini menguji persaudaraan mereka di tengah kota yang kaya akan tradisi dan modernitas. Siapakah yang akan dipilih Aisyah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan yang Salah Kirim
Seminggu setelah kejadian di warteg, Andini sudah mulai menghadiri kelas desain grafis di gedung kecil yang terletak di pinggiran kota. Setiap hari pagi, dia bangun lebih awal dari biasanya, bukan karena terbangun oleh mimpi buruk atau kesedihan, tapi karena kegembiraan yang terpendam setiap kali memikirkan karakter-karakter yang akan dia gambar di buku catatan baru yang dia beli. Beberapa hari yang lalu, dia sudah berusaha selama dua jam untuk mengatur warna untuk desain karakter kucing yang dia namai "Kiki". Warnanya selalu terasa kurang hidup, seolah ada bagian penting yang hilang, seperti cahaya di malam yang terlalu gelap.
Tanpa sadar, jari-jarinya meluncur di layar ponsel, mencari nomor yang sudah dia hapus dari daftar kontak tapi masih tertanam erat di ingatannya selama lima tahun: nomor Abi. Dia menulis pesan dengan jari yang sedikit gemetar: "Bi, aku kesulitan pilih warna buat desain Kiki nih. Bisa tolong lihat nanti gak? Dia kayaknya terlalu polos, kayak nggak ada jiwa." Sebelum dia bisa menekan tombol "batal", teleponnya bunyi tiba-tiba karena panggilan dari Salma. Dia terkejut, jari nya menabrak tombol "kirim" secara sembarangan. Pesan itu terkirim.
Dan bukan ke Abi.
"Pesan terkirim ke Pramudya" membuat Andini panik. Dia langsung mengetik pesan lagi dengan cepat "Maaf banget Pram, pesan itu salah kirim ke kamu! Boleh diabaikan aja ya, minta maaf banyak banget, ganggu kamu!"
Dia menutup ponselnya dengan cepat, muka jadi merah karena malu. Dia duduk diam selama beberapa menit, menggaruk kepala yang bingung mengapa dia malah mencari bantuan dari Abi, padahal dia sudah janji sama diri sendiri untuk fokus ke dirinya? Tapi baru beberapa menit, notifikasi masuk dengan bunyi.
"Hei Din, gak papa kok! Jangan malu-malu. Kesulitan pilih warna ya? Kalau mau, aku bisa bantuin lihat. Aku lagi ada di kafe 'Warung Ayu' deket tempat kursusmu loh, cuma sepuluh menit jalanan. Kalau kamu mau dateng, aku tunggu. Kalau nggak, gak masalah juga."
Andini ragu. Dia tahu Pramudya adalah adik laki-laki Abi. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia memutuskan untuk datang. Siapa tahu, dia dapat inspirasi.
Ketika dia sampai di kafe, mata nya langsung menemukan Pramudya yang sudah menunggu di meja pojok yang teduh, dekat jendela. Dia memakai kemeja biru muda yang rapi, lengan nya dilipat sampai siku, dan rambutnya teratur rapi. Pramudya tersenyum ketika melihat Andini datang, mata nya yang hitam pekat terlihat tenang seperti danau yang tidak bergelombang, bahkan ada kilauan yang menyala ketika melihat kegembiraan di wajah Andini.
"Ternyata kamu mau datang ya Din? Duduk dong, Din. Mau pesan apa? Aku pesankan..."
Andini duduk dengan hati yang masih berdebar, karena malu sebab telah salah kirim. "Aku cuma minum es teh aja, Pram. Maaf ya, bikin kamu menunggu dan terganggu aktivitas kamu."
"Gak ganggu sama sekali. Aku sudah selesai kerja duluan hari ini, jadi iseng-iseng kesini. Coba tunjuk desain Kiki nya dong? Penasaran aku gimana warnanya."
Andini membuka laptopnya dengan hati-hati, menunjuk ke layar yang menampilkan karakter kucing berwarna coklat muda dan putih, dengan mata yang bulat tapi terasa kosong. "Aku pengen warnanya terasa ceria tapi nggak terlalu mencolok kayak warna baju kuning muda yang aku pakai hari itu di warteg, tapi buat kucing. Tapi ini kayaknya terlalu polos aja, kayak boneka yang tidak hidup."
Pramudya melihat desainnya dengan cermat, alisnya sedikit terangkat. Dia tidak langsung berkata apa-apa, tapi memegang dagu nya dan memikirkan sebentar. Kemudian dia menunjuk ke layar: "Kalau gitu, coba tambah sedikit warna biru muda di bagian telinganya dan pinggiran matanya dong. Biru itu kan warna yang bikin kesan segar dan penuh semangat, tapi kalo pake yang muda, nggak ngilangin kesan lucu dan lembutnya Kiki. Coba coba, pake kuas kecil biar rapi."
Andini mengikuti saran nya dengan hati-hati. Begitu selesai, dia menatap desain Kiki yang baru dan mata nya langsung menyala. Kucing itu terlihat benar-benar hidup, seolah mau melompat dari layar dan berlari ke taman. Dia tersenyum lebar, air mata sedikit mau menetes karena kegembiraan. "Wah, keren banget Pram! Terima kasih banyak ya! Dia bener-bener ada jiwanya sekarang!"
Pramudya tersenyum balik, mata hitam nya terlihat senang dan penuh perhatian melihat kegembiraan Andini. "Sama-sama. Kamu pintar banget menggambarnya, Din. Cuma butuh sentuhan kecil doang. Orang tua kamu dulu bilang apa sih, desain tidak menjanjikan? Itu salah banget loh. Kamu punya bakat yang besar."
Saat itu, Andini merasa sesuatu yang dia tidak rasakan sejak lama: rasa dipahami dan dihargai secara tulus, tanpa harus membuktikan apapun. Pramudya mendengarkan dia ngobrol dengan antusias tentang kesulitan di kelas ketika dia harus belajar software baru yang sulit, tentang mimpi buka toko barang handmade yang dia impikan sama Salma tempat jual boneka dan stiker yang dia buat sendiri bahkan tentang perasaan bingungnya terhadap Abi bagaimana hati dia masih ada rasa sayang, tapi tekadnya juga kuat untuk fokus ke dirinya.
Pramudya tidak pernah menyela dengan omong kosong kayak "semangat ya" atau "jangan sedih". Dia hanya mendengarkan dengan tenang, kemudian memberikan nasihat yang dewasa dan penuh perhatian: "Kamu berhak mencari kebahagiaan yang bener-bener cocok buat kamu, Din. Tidak perlu dipaksakan untuk menunggu apa yang sudah jelas tidak mau datang, atau apa yang hanya membuatmu terjebak di masa lalu. Kebahagiaan itu harusnya bikin kamu merasa bebas, bukan terbebani."
Setelah hari itu, Pramudya sering menghubunginya. Kadang dia ajak makan siang di warteg kecil deket kantornya – tempat yang punya nasi goreng spesial yang bau nya sama kayak warteg favorit Andini. Kadang dia nanya kabar kursusnya via telepon, tanya apakah ada kesulitan lagi. Kadang dia cuma ngirim meme lucu tentang kucing atau desain buat bikin dia tertawa di tengah hari yang sibuk. Andini pun mulai merasa nyaman – sangat nyaman – setiap kali bersama dia. Ada kalanya dia lupa sejenak tentang Abi, tentang rasa sakit yang masih terasa, dan tentang harapan yang bercampur aduk.
Beberapa minggu kemudian, hari Sabtu sore. Andini dan Pramudya ajak Salma ke pasar malam yang baru buka di jalan raya dekat kota. Tempat itu ramai banget: ada pedagang makanan, barang second, dan stiker kucing yang lucu. Mereka jalan-jalan sambil makan bakso dan ngobrol tentang rencana liburan ke Bali yang akan mereka lakukan bulan depan. Salma pergi sebentar ke toilet, tinggalkan Andini dan Pramudya berdiri di depan toko stiker.
Tiba-tiba, Pramudya membuka tasnya yang terpasang di bahunya, dan mengeluarkan bungkus kecil yang dibungkus dengan kertas kado berwarna biru muda. "Ini buat kamu, Din. Hadiah kecil karena desain Kiki mu udah diterima buat kontes di media sosial loh! Aku lihat banyak orang suka."
Andini kaget. "Serius? Gak nyangka! Dan ini, gak usah dong Pram, kamu udah banyak bantuin aku."
"Gak papa. Coba buka aja."
Dalam bungkus itu ada stylus baru yang bagus, dengan ujung yang halus dan warna biru muda yang sama seperti yang dia tambahin di telinganya Kiki. Di bagian tangannya, ada tulisan kecil: "Untuk Kiki dan mimpimu yang penuh jiwa – Pram." Andini melihatnya, hati nya berdebar sedikit lebih cepat, dan ada rasa hangat yang menyebar di dada nya. Dia menatap Pramudya, mata hitam nya penuh rasa terima kasih yang tulus.
Pramudya menatapnya dengan mata hitam yang tenang tapi penuh makna, jari-jarinya sedikit bergoyang di samping tubuhnya. "Aku senang bisa bantu kamu mewujudkan mimpimu, Din. Kamu pantas dapetin semua hal yang bagus di dunia ini."
Pada saat itu, Salma belum pulang dari toilet. Dan di kejauhan, di antara kerumunan orang yang ramai, ada seseorang yang berdiri diam: Abi. Dia baru saja selesai bertemu teman-teman dan mau pulang, tapi mata nya langsung tertuju ke Andini dan Pramudya. Dia tidak mendekat, hanya berdiri di sana, wajahnya pucat seperti kertas. Dia memakai kaos hitam dan celana jeans, rambutnya sedikit berantakan, dan mata hitam nya yang dulu selalu ceria sekarang terlihat bingung – tapi belum sempat ngerti apa yang terjadi. Dia melihat Andini yang tersenyum lebar, melihat stylus di tangannya, melihat Pramudya yang menatap Andini dengan pandangan yang lembut tapi dia masih bingung, tidak tahu apa artinya semua itu.
Dia berdiri sebentar lagi, lalu memutar badan dan berjalan pergi tanpa disadari oleh Andini dan Pramudya. Hatinya terasa sesak, tapi dia masih ingat janji nya: tidak mencari Andini, tidak menghubunginya, biarkan dia memikirkan. Tapi di dalam hatinya, ada pertanyaan yang mulai muncul: "Apa yang aku lewatkan?"
Sementara itu, Andini masih senang melihat stylus baru nya. Salma pulang dari toilet, dan mereka lanjut jalan-jalan sambil bercanda. Langit mulai memerah, dan lampu pasar malam mulai menyala, membuat tempat itu terlihat lebih ceria dan penuh harapan. Andini merasakan bahwa kehidupannya mulai berubah ke arah yang baik, tapi dia belum tahu bahwa di kejauhan, Abi baru saja melihat momen itu, dan perjalanan untuk menemukan jawaban baru sedang mulai untuk keduanya.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*