Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.
Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...
Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI BAWAH HUJAN
Setelah hampir setengah jam perjalanan, mobil akhirnya melambat lalu menepi di bahu jalan. Mesin dimatikan, menyisakan keheningan yang kontras dengan hiruk-pikuk kota yang tadi mereka lewati. Sekelilingnya tampak lengang—hanya bentangan jalan dan tanah lapang di sisi kanan-kiri yang ditumbuhi rumput liar.
Langit beringsut turun lebih dulu. Ia melangkah memutari kap mobil, lalu membuka pintu di sisi Arum dengan gerakan yang tenang dan penuh perhatian. Tangannya terulur, menunggu Arum menyambutnya.
Arum turun, matanya langsung menyapu sekitar. Ia mengernyit pelan, menatap jalan sepi dan hamparan tanah yang terlihat jauh dari bayangan taman kota. “Tamannya di mana, Mas?” Tanyanya, nada suaranya mengandung heran.
Langit tersenyum tipis, penuh rahasia. “Kamu akan tahu. Yuk!” Ajaknya sambil menggenggam tangan Arum, lalu mulai melangkah, membawa kekasihnya menuju sesuatu yang akan membuat wanita itu terpana.
Cuaca yang semula cerah perlahan berubah kelabu. Awan perlahan menggantung rendah, meredupkan cahaya senja. Langit menuntun Arum menjauh dari bahu jalan, menyusuri jalan setapak yang nyaris tak terlihat, tertutup rerumputan basah dan tanah yang lembap seperti usai hujan. Ujung sepatu Arum sesekali menyentuh dedaunan basah, meninggalkan jejak samar di atas tanah.
Di sekeliling mereka, suasana begitu sunyi—hanya ada desau angin dan bunyi halus gesekan daun. Setiap langkah terasa seperti menjauh dari dunia ramai, masuk ke ruang yang lebih tenang, lebih intim, seolah jalan kecil itu sengaja diciptakan untuk mereka berdua.
"Mas. Kita sebenarnya mau keman..."
Kalimat Arum terputus di ujung bibirnya. Bola matanya membulat, menyapu ke segala penjuru, mencoba memahami apa yang kini terbentang di hadapannya. Seolah mereka baru saja melewati sebuah gerbang panjang dan kini benar-benar memasuki ruang lain.
Di hadapan mereka, terbentang hamparan ilalang menguning yang luas. Batangnya bergoyang pelan diterpa angin, mengeluarkan desir halus yang menyatu dengan kesunyian. Ini bukan taman dengan bangku dan jalur rapi, melainkan lahan kosong yang dibiarkan tumbuh apa adanya—liar, jujur, dan tenang. Tanahnya terbuka di beberapa bagian, menyisakan jejak alam yang belum disentuh banyak tangan manusia.
Sementara, langitnya menjulang tinggi di atas kepala mereka, luas dan lapang, meski kini dibalut warna kelabu. Awannya pun bergulung perlahan, memberi kesan seolah dunia berhenti sejenak di tempat itu.
"Mas, ini..." Gumam Arum berdiri terpaku, dadanya terasa lapang sekaligus bergetar, seakan ruang kosong ini menyimpan sesuatu yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.
Langit hanya tersenyum melihat reaksi Arum.
"Indah." Kata Arum, satu kata yang terucap dari bibirnya tanpa sengaja, tanpa di buat-buat. Kepalanya kemudian mendongak ke atas, menatap langit yang luas sebagai selimut di antara kedamaian yang dirasakannya.
"Kamu suka?" Tanya Langit kemudian.
Arum kembali menatap Langit, matanya menatap lurus pria itu. Di saat yang sama, ia mengangguk tanpa suara.
Angin kembali berembus, membuat hamparan itu bergerak serempak, seperti gelombang kecil yang tenang. Di saat itu juga, gerimis mulai turun, tipis dan ringan.
"Hujan, Mas." Ucap Arum mulai panik. Matanya berpaling menatap langit, saat bulirnya semakin deras. "Mas... sepertinya kita harus cari tempat berteduh atau kembali ke mobil."
Langit tertawa kecil.
"Mas, kok ketawa?! Aku serius, Mas!" Protes Arum saat guyuran hujan itu semakin lebat. "Ini bukan lagi gerimis, Mas!"
"Biarin aja!"
"Bi-Biarin... maksud Mas?"
Langit menatap Arum dan meraih dagu kekasihnya itu. "Mas ingin kamu merasakan hal yang lebih menenangkan dari ini!"
Arum mengerutkan dahinya heran. Tanpa menunggu jawaban, Langit menarik lengan Arum melangkah lebih dalam lagi, bergerak menelusuri ilalang hingga akhirnya mereka berpijak pada bentang lahan yang luas.
Hujan yang semula di katakan hanya gerimis, kini membulirkan kawanannya dalam partikel yang lebat hingga tubuh mereka basah kuyup.
Di bawah guyuran hujan itu, rambut dan wajah mereka perlahan basah. Untaian rambut Arum menempel di pelipis dan lehernya, sementara tetes-tetes air hujan meluncur di pipinya, dingin namun menyegarkan. Ia mengangkat wajah sedikit, membiarkan hujan menyentuh kulitnya tanpa menahan.
Langit pun tak menghindar. Rambutnya yang semula rapi kini jatuh berantakan, basah dan gelap. Air hujan menelusuri garis wajahnya, menyusup di sudut mata dan rahang, namun senyum tipis tetap bertahan di bibirnya. Di bawah langit kelabu dan ilalang yang bergoyang, mereka berdiri saling berhadapan—basah, diam, dan sepenuhnya hadir dalam momen itu.
****