Rama dan Ayana dulunya adalah sahabat sejak kecil. Namun karena insiden kecelakaan yang menewaskan Kakaknya-Arsayd, membuat Rama pada saat itu memutuskan untuk membenci keluarga Ayana, karena kesalahpahaman.
Dalih membenci, rupanya Rama malah di jodohkan sang Ayah dengan Ayana sendiri.
Sering mendapat perlakuan buruk, bahkan tidak di akui, membuat Ayana harus menerima getirnya hidup, ketika sang buah hati lahir kedunia.
"Ibu... Dimana Ayah Zeva? Kenapa Zeva tidak pelnah beltemu Ayah?"
Zeva Arfana-bocah kecil berusia 3 tahun itu tidak pernah tahu siapa Ayah kandungnya sendiri. Bahkan, Rama selalu menunjukan sikap dinginya pada sang buah hati.
Ayana yang sudah lelah karena tahu suaminya secara terbuka menjalin hubungan dengan Mawar, justru memutuskan menerima tawaran Devan-untuk menjadi pacar sewaan Dokter tampan itu.
"Kamu berkhianat-aku juga bisa berkhianat, Mas! Jadi kita impas!"
Mampukah Ayana melewati prahara rumah tangganya? Atau dia dihadapkan pada pilihan sulit nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 7
"Sudah tahu seperti itu, masih aja bertahan! Kalau aku sih... Ogah aja ya!" cerca Bik Siti sambil menatap dessert diatas nampan.
Pelayan satunya juga ikut menyahut. Ia berdiri dekat wastafel sambil mencuci tangan, "Demi mendapat sokongan dari Tuan Ibrahim! Kalau aku sih, malu ya Bik. Apalagi Den Rama nggak pernah nganggep!"
"Hu'um... Benar, Nar!" sahut Bik Siti tersenyum sinis.
Mendengar itu membuat darah Ayana mendidih. Ia meletakan panci puding tadi dengan hentakan yang sangat nyaring.
Tak!
Lalu Aya menoleh kearah dua pelayan tadi. Wajah Aya sudah memerah menahan geram di gunjing setiap harinya. "Kalian berdua kenapa, sih? Iri ya melihat hidup saya? Lagian ya... Bukan kalian berdua yang kasih makan keluarga saya. Dan saya di jadikan mantu Tuan Ibrahim juga SAH secara hukum dan agama! Sehari saja tidak menggunjing saya, apa lidah kalian akan bengkok? Ya, saya doakan lidah kalian akan bengkok beneran, biar nggak julidin orang mulu!"
"Benar, Non! Kamu itu ya, Siti, Narsih... Perasaan selalu saja menjahili hidup Non Ayana. Padahal, Lo... Non Aya tidak pernah sekalipun kepo dengan urusan kehidupan rumah tangga kalian." Sahut Bik Sumi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ayana berlalu sambil membawa nampan berisikan puding tadi, "Sudah, Bik... Jangan dengarkan mereka! Anggap saja anjing menggonggong!" Ayana tak peduli meskipun usia kedua pelayan itu jauh di atasnya. Tak ada kata sopan santun bagi orang yang menginjak-injak kehidupannya.
"Aya ke Paviliun dulu ya, Bik! Nanti kalau mereka menggonggong lagi, lemparkan tulang saja biar diam."
Bim Sumi sampai menyembunyikan senyumnya. "Iya Non, ya udah cepat taruh kulkas pudingnya."
Bik Siti dan Narsih sejak tadi sudah menggeram dengan balasan menyakitkan dari Nona mudanya itu. Sebagai orang yang lebih tua, mereka merasa tidak terima.
"Awas saja kamu Ayana! Akan ku balas nanti," pekik Narsih menggeram. Sorot matanya menajam lurus, seolah tengah mengikuti langkah Aya sampai Paviliun.
"Bocah kencur itu sekarang sudah berani menjawab, Nar! Mentang-mentang di belain terus sama Tuan Ibrahim, besar kepalanya si Ayana," sahut Bik Siti tak kalah kesal.
Bik Sumi menyahuti lagi, "Makanya, kalian kalau punya mulut itu dijaga! Jika nggak ingin di balas, maka jangan pernah membuat pekara lagi dengan Non Aya. Jika dia sudah kehabisan kesabaran, awas saja jika sikap kalian akan di adukan oleh Tuan Ibrahim. Di pecat baru tahu rasa!"
Deg!
Narsih berdiri kaku. Wajahnya menahan tegang, sebab tidak pernah berpikir keras sampai ke situ.
Namun berbeda dengan Bik Siti. Wanita berusia 45 tahun itu hanya berdecak, "Ck! Mana berani Tuan Ibrahim memecatku. Aku disini sejak Non Milya bayi, dan Bu Anita cukup percaya sama aku."
Dan rupanya, sejak tadi sebelum sampai ke tempat duduknya, Rama mendengar bagaimana kedua pelayannya tadi mengolok-olok istrinya dengan kejam. Namun, ada perasaan tenang dari dalam hati Rama, sebab Ayana mampu mengatasinya tak kalah bar-bar.
Meskipun begitu, timbulah rasa tidak terima istrinya di pojokan seperti itu.
Dan tak lama itu, dua pelayan angkuh tadi sudah datang sambil membawa dua nampan besar dessert sebagai makanan penutup.
"Ini... Silahkan Nyonya, Tuan, Aden, Non...."
Beberapa macam dessert sudah tertata rapi di atas meja, setelah makanan utama dibawa Bik Sumi kembali ke belakang.
Narsih dan Siti mulai berjalan meninggalkan meja makan. Baru beberapa langkah saja. Namun tiba-tiba...
Huek!
"Asin sekali! Cuih!"
Deg!
Narsih dan Siti saling melempar tatap dengan jantung mereka yang sudah berpacu begitu cepat.
"Siapa yang sudah membuat kue ini?" suara Rama cukup pelan, tertata, namun menusuk sampai ke ulu hati kedua pelayan tadi.
Pria itu menyahut beberapa tisu untuk ia mengelap mulutnya.
"Rama, kamu nggak papa?" Mawar terlihat begitu cemas.
"Mah, Tante, Om... Lebih baik jangan di makan dessertnya! Nanti kalian keracunan!" pekik Rama menatap ketiga orang disebrang.
Nyonya Imelda saling tatap heran kepada suaminya-Tuan Arman.
Bu Anita yang merasa tidak enak, langsung saja bangkit dan menghampiri putranya. "Rama... Kamu apa-apaan, sih? Nggak mungkin Siti dan Narsih salah membuat dessertnya!"
"Terserah, Mamah! Punyaku ini memang rasanya nggak enak! Dan... Aku hanya nggak ingin semuanya terkontaminasi dengan makanan buruk dari kedua pelayan nggak becus itu," kesal Rama semabari melirik tajam kearah Bik Siti dan Narsih yang masih membeku di tempatnya.
Bu Anita mendekat kearah pelayan tadi. "Kalian berdua gimana sih? Apa kalian berdua ingin membuat malu calon besan saya? Jika kalian nggak becus buat dessert, jangan ngeyel deh! Jadinya nggak karuan 'kan rasanya," cerca Bu Anita pelan, cukup menusuk.
"Nyah, maaf! Tapi kue-kuenya tadi sudah saya cobain dulu, dan rasanya enak kok! Nggak ada asin, atau kurang rasa," balas Bi Siti tertunduk cukup melas.
Narsih juga menimpali, "Benar, Nyah! Jika tidak percaya, Nyonya coba saja sendiri," katanya pelan.
Bu Anita semakin mendekat sambil menuding wajah Narsih, "Kamu pikir saya tidak percaya dengan ucapan Putra saya sendiri ketimbang pelayan seperti kalian! Jika Rama sudah bilang tidak enak, pasti memang rasanya buruk sekali. Kalian berdua mau menanggung, jika kita semua keracunan, ha?" tekannya. "Sekarang, cepat kalian berdua bawa dessert tadi kembali ke dapur!"
Bi Siti dan Narsih mengangguk lemah, lalu segera berjalan kembali ke arah meja makan untuk mengambil semua dessert tadi.
Melihat itu, diam-diam Rama menarik sudut bibirnya sinis. Ia merasa puas mengerjai kedua pelayan tadi.
Di dapur,
Bik Sumi tak henti-hentinya tertawa dalam hatinya, melihat kedua temannya itu menggerutu tidak jelas.
"Makannya, jadi orang jangan sirik sama orang lain. Di balas kontan 'kan sama Gusti Allah!" cerca Bik Sumi merasa puas.
Narsis hanya dapat menatap kesal, "Apaan sih, Bik! Nggak jelas banget."
*
*
Sementara di Paviliun, Ayana kini tampak bersantai sambil mengerjakan desain beberapa busananya.
Sembari menunggu puding itu dingin, dan putranya juga masih tertidur, hal itu ia gunakan untuk mengasah bakatnya dalam bidang desain busana.
Sejujurnya Aya sudah sering mendapat tawaran dari Tuan Ibrahim untuk kursus belajar menjadi desainer. Namun, pada saat itu Zeva masih terlalu kecil, dan lagi sakit Ibunya dulu cukup Parah. Dan hal itu membuat Aya berpikir dua kali untuk mengambil kursus itu.
"Ibu... Huaaa... Ibu dimana?" Zeva terbangun di sisi ranjang Bu Ratih-sang Nenek.
Wanita tua itu hanya mampu menenangkan, sambil menepuk-nepuk punggung cucunya saja.
Dan tak lama itu Zeva tertidur kembali.
Ceklek!
Ayana yang tadi mendengar suara tangisan putranya, sontak saja menghentikan aktivitasnya dan langsung masuk kedalam kamar.
"Tidur lagi, Ya! Ngelindur nyariin kamu mungkin," kata Bu Ratih sedikit tersenyum.
"Ya sudah, biar tidur lagi Bu! Kakinya masih sakit mungkin, kasian," Ayana urungkan niatnya mendekat, dan kembali menutup pintu kamar Ibunya.
Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 22.15 wib.
Dan hal itu membuat Ayana mengintip di korden kaca, kala keluarga besar Mawar sudah keluar dan meninggalkan kediaman Tuan Ibrahim. Karena mungkin saking sakitnya, sampai air mata saja enggan keluar dari pelupuk matanya.
Ayana membeku di tempatnya. Ia turunkan kembali gorden tadi. Wanita cantik berusia 22 tahun itu hanya mampu menyandarkan punggungnya pada tembok sambil memejamkan mata dalam-dalam.
'Aku harus kuat, dan bertahan lebih lama lagi demi kesembuhan Ibu. Nggak papa Aya, biarkan semua orang membencimu... Yang terpenting Tuan Ibrahim baik sama keluargamu.'
Hanya kalimat-kalimat itu yang mampu menyemangati hidup seorang Ayana.
Baru saja ia akan masuk, tetiba ada suara ketukan pintu dari luar.
Tok!
Tok!
Ayana reflek menoleh. Ia kembali lagi berjalan kearah pintu. Namun sebelum membuka, Aya lebih dulu mengintip untuk melihat siapa yang datang malam-malam seperti ini.
Deg!
'Mas Rama? Ngapain dia malam-malam ke Paviliun?' batin Aya merasa takut.
Tok! Tok!
Tok! Tok!
Dari ketukan kecil, kini berubah menjadi ketukan semakin teratur.
"Buka!" sentak Rama dari balik pintu itu.
Dan mau tak mau, Ayana membuka pintu itu.
Ceklek!
"Ada apa, Mas Rama malam-malam datang ke Paviliun?" suara Aya begitu dingin, dan ia masih berdiri di ambang pintu.
Tak mempedulikan itu, Rama langsung masuk begitu saja. Pria itu langsung menghempaskan tubuhnya diatas sofa, acuh dengan tatapan protes Ayana.
Ayana kembali menutup pintunya. Ia berjalan mendekat, berdiri di sebelah sofa dengan wajah kesalnya.
"Buatkan saya makanan apa saja! Saya sudah lapar!" pertegas Rama sambil mengeluarkan gawainya.
Ayana menghela nafas dalam. Ia berdesis beberapa kali, lalu mulai membuka suara.
"Maksud Mas Rama, apa sih? Bukanya tadi Mas Rama sudah makan malam dengan keluarga besar Mbak Mawar?! Lalu... Lalu untuk apalagi meminta saya membuatkan makan?" bantah Ayana.
Srek!
Rama bahkan sampai melempar gawainya di atas meja. Lalu perlahan ia menoleh kearah Ayana.
"Apa susahnya tinggal nurut, dan buatkan saya makanan? Saya tidak makan tadi!" Ucap Rama penuh tuntutan.
Ayana hampir tak percaya dengan kalimat suaminya itu. Bagaiamana bisa pria itu bilang tidak makan, sedangkan tadi Ayana juga dapat melihat piring berisikan makanan didepan Rama.
"Mas Rama jangan becanda, deh! Jelas-jelas saya tadi melihat Mas Rama di ambilkan Mbak Mawar nasi-"
"Tapi tidak saya makan, Ayana!" sahut Rama sembari bangkit. "Saya hanya menghargai keluarga Mawar saja!"
Ayana tersenyum getir. Ia masih menatap Rama dengan senyum itu, "Enak ya... Sebagai Mbak Mawar dan keluarganya. Mereka mendapat harga lebih tinggi di banding hidup saya yang notabenya sebagai istri SAH!" tekan Ayana. "Boleh nggak sih, Mas... Saya marah, cemburu, atau sekedar mengeluarkan ekspresi sakit melihat suami saya sendiri membawa kekasihnya pulang?! Oh iya, saya hampir lupa... Saya 'kan hanya seorang ISTRI YANG TAK DI ANGGAP! Hidup saya tidak lebih rendah dari pada sampah dimata Mas Rama. Tapi ya... Lucu aja gitu. Mas Rama masih membutuhkan saya jika menginginkan sesuatu?!"
Degh!