Sinopsis
Rania, seorang gadis desa yang lembut, harus menanggung getirnya hidup ketika Karmin, suami dari tantenya, berulang kali mencoba merenggut kehormatannya. Belum selesai dari satu penderitaan, nasib kembali mempermainkannya. Karmin yang tenggelam dalam utang menjadikan Rania sebagai pelunasan, menyerahkannya kepada Albert, pemilik sebuah klub malam terkenal karena kelamnya.
Di tempat itu, Rania dipaksa menerima kenyataan pahit, ia dijadikan “barang dagangan” untuk memuaskan para pelanggan Albert. Diberi obat hingga tak sadarkan diri, Dania terbangun hanya untuk menemukan bahwa kesuciannya telah hilang di tangan seorang pria asing.
Dalam keputusasaan dan air mata yang terus mengalir, Rania memohon kepada pria itu, satu-satunya orang yang mungkin memberinya harapan, agar mau membawanya pergi dari neraka yang disebut klub malam tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 3
“Bagaimana, apa Tuan puas dengan servis gadis itu?”
Pertanyaan Albert terlempar di tengah gema musik house yang memekakkan telinga. Dentuman ritmis yang tak henti-henti, lampu sorot neon yang berputar liar, dan aroma tajam alkohol, keringat, dan parfum murahan adalah tiga serangkai yang selalu menyambut di ‘Paradise Club’ miliknya.
Airon, dengan postur tegap dan auranya yang dingin, baru saja menuruni area VIP dan kini berdiri menghadap Albert di sudut yang sedikit lebih tenang. Wajahnya yang terukir sempurna memancarkan ketenangan yang hampir menakutkan, kontras dengan kekacauan di sekelilingnya. Ia memegang gelas whisky di tangan kirinya, memutar pelan cairan amber itu.
“Hari ini kamu tidak mengecewakan saya, Albert,” jawab Airon. Suaranya rendah, serak, namun memiliki otoritas yang tak terbantahkan, membelah kebisingan.
Senyum Albert mengembang, memamerkan gigi-gigi putihnya. “Saya senang jika Tuan Airon senang,” Ucapnya penuh kepuasan. Ternyata Rania, si gadis desa lugu itu, jauh lebih bisa diandalkan daripada yang ia duga. Mampu membuat seorang Airon, pria yang dikenal kejam dan tak mudah terkesan, merasa terpuaskan adalah pencapaian langka.
Airon tidak menanggapi lebih jauh. Keheningan yang ia berikan sudah menjadi jawaban yang lebih tegas dari ribuan kata. Ia sangat puas. Bahkan, lebih dari itu. Airon menghabiskan sisa minumannya dalam sekali tegukan, matanya menyapu keramaian.
Di saat yang sama, Rania menuruni tangga marmer menuju lantai dasar dengan langkah tergesa-gesa.
Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin melarikan diri dari sangkar. Ia tidak ingin berpapasan dengan bawahan Albert, apalagi si pemilik klub itu sendiri. Setiap detik di tempat terkutuk ini terasa mencekik jiwanya.
Namun, ketergesaan selalu membawa petaka. Kakinya yang gemetar tersandung pada anak tangga terakhir.
Bruuk!
Tubuhnya ambruk di lantai dansa. Suara dentuman musik seolah teredam seketika oleh keheningan mendadak. Semua mata, baik pengunjung yang mabuk maupun para pekerja klub yang berhati baja, kini tertuju pada sosok rapuh yang tergeletak itu.
Albert, yang baru saja lega karena berhasil menyenangkan Airon, kontan melihat ke arah keributan. Matanya menyala penuh amarah saat mengenali sosok yang jatuh itu adalah Rania. Cepat-cepat ia memberi isyarat tajam kepada dua anak buahnya.
Tanpa memedulikan rasa sakit yang menyengat di lutut dan siku, Rania bangkit dengan cepat. Insting untuk melarikan diri menguasai dirinya. Ia berlari sekuat tenaga menembus kerumunan. Namun, sia-sia. Dua preman berbadan besar sudah lebih dulu mencegat dan mencengkeram lengannya.
Rania ditarik paksa kembali ke hadapan Albert. Air mata mulai menggenang di matanya yang indah, mencerminkan ketakutan dan keputusasaan.
Plakkk!
Tamparan keras itu menghantam pipinya, suaranya terdengar memecah keheningan yang mencekam. Rasa perih membakar kulitnya.
“Ini akibatnya kalau wanita sepertimu macam-macam!” hardik Albert, wajahnya merah padam karena merasa harga dirinya sebagai pemilik klub telah diinjak-injak oleh seorang pelunas utang.
“Tolong lepaskan saya, saya mohon!” Tangis Rania pecah. Ia berusaha menahan rasa sakit fisik yang luar biasa, namun rasa sakit di jiwanya jauh lebih menghancurkan. Tubuhnya terasa remuk, hatinya hancur.
Albert menyeringai dingin, memiringkan kepalanya. “Itu hanya ada di dalam mimpimu! Kau itu bayaran yang aku terima dari Karmin. Jadi kau jangan pernah mimpi bisa keluar dari tempat ini. Kalau kau macam-macam lagi, kau ku habisi! Paham!” Ancaman itu bagai pisau yang menusuk harapannya.
Rania menutup mata, merasakan kegelapan menyelimuti. Ia sadar, inilah akhirnya. Hidupnya akan selamanya terkurung di tempat kotor ini, membiarkan tubuhnya dinodai oleh pria-pria mana pun yang datang dengan uang.
Anak buah Albert bersiap untuk menyeret Rania kembali ke 'kamar'nya. Namun, sebelum mereka sempat bergerak, suara keras musik disko yang sempat mati itu kini terhenti total. Keheningan mutlak menyelimuti klub, seolah waktu membeku.
Kemudian, terdengar langkah kaki yang pasti, sepatu kulit mahal beradu dengan lantai marmer, melewati kerumunan orang yang masih terpaku menyaksikan penderitaan Rania. Langkah kaki itu, perlahan namun pasti, menghampiri tempat di mana Albert, Rania, dan anak buahnya berdiri.
“Berapa harganya?”
Suara berat dan berkarisma itu, yang barusan memujinya, kini terdengar lagi. Itu adalah Airon. Ia berdiri beberapa langkah di belakang Albert, tatapannya lekat pada Rania yang terisak.
Albert menoleh, kaget. “Maksud Tuan Airon harga apa?” tanyanya, tidak mengerti.
“Harga perempuan itu,” jawab Airon tanpa basa-basi. Jari telunjuknya yang ramping menunjuk tepat ke arah Rania.
“Saya akan beli dia.”
Pernyataan Airon membuat Albert ternganga, tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Maksud Tuan Airon?” Ia masih berusaha mencerna maksud Airon yang tiba-tiba ingin membeli asetnya.
“Perempuan itu. Biar saya yang bayar. Berapa hutang yang dia miliki? Saya yang akan melunasinya dan dia akan ikut saya.” Penjelasan Airon yang lugas dan tegas itu membuat Albert semakin terkejut. Membeli seorang pelunas utang bukanlah praktik yang umum.
“Tapi Tuan Airon, dia itu aset bisnis. Dia ada di sini untuk menjadi wanita penghibur, saya....”
“Kalau kau masih ingin Klub ini berjalan seperti seharusnya, serahkan saja dia,” potong Airon. Matanya menyipit, mengandung peringatan yang dingin dan tajam. Ini bukanlah permintaan, melainkan perintah. Airon mengingatkan Albert akan posisinya.
Albert terdiam sejenak. Pikiran liciknya berputar mencari celah, namun ia sadar. Melawan Airon sama saja bunuh diri, apalagi jika menyangkut izin operasional klubnya yang rentan.
“Baiklah, Tuan Airon. Silakan Tuan mengambil perempuan itu.” Albert menghela napas pasrah. Tidak ada gunanya ia melawan dominasi pria yang berada beberapa tingkat di atasnya dalam rantai kekuasaan dunia malam.
Airon menyunggingkan senyum kemenangan. Memang sudah seharusnya Albert menurut. Orang seperti Albert, yang begitu mudah dijatuhkan, tidak layak menghalangi keinginannya.
Rania, yang kini telah berpindah tangan dan menjadi 'milik' Airon, tidak menunggu lama. Ia segera mengikuti Airon dari belakang dengan langkah cepat yang tertatih. Ia takut. Takut jika sewaktu-waktu Airon akan berubah pikiran, menarik tawarannya, dan meninggalkannya kembali di neraka Albert.
Airon membuka pintu mobil Porsche Panamera hitam mengilap miliknya, lalu masuk ke dalam. Pintu itu tertutup dengan bunyi berderak yang mahal.
“Mau tinggal di sini?” tanya Airon, melihat Rania masih berdiri termangu di luar mobil, ragu-ragu.
Rania tersentak, lalu bergegas ingin membuka pintu belakang.
“Duduk di depan. Saya bukan sopir,” ucap Airon. Nadanya datar, namun tegas.
Rania patuh. Ia masuk ke kursi penumpang di samping Airon. Begitu pintu tertutup, mobil Porsche Panamera itu melaju dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan kota yang diselimuti kerlap-kerlip lampu malam.
Di balik kemudi, Airon tampak jauh lebih tampan dan berkarisma. Ia mengendalikan mobilnya dengan santai, seperti seorang raja yang tengah menjelajahi kerajaannya.
Di kursi penumpang, Rania sedang dengan takjubnya memandang keluar. Pemandangan kota yang bermandikan cahaya terang sangat membius matanya. Ini adalah kali pertama ia menginjakkan kaki di kota besar. Pemandangan itu begitu indah, begitu memikat. Saking takjubnya, ia menatap tanpa berkedip, seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat mainan yang sangat bagus.
Airon menyadari tatapan polos itu. Tanpa berkata-kata, ia menekan tombol untuk membuka kaca jendela mobil, membiarkan Rania lebih leluasa memandang keluar tanpa penghalang. Entah bagaimana, Airon tahu. Gadis ini baru saja keluar dari kegelapan dan melihat cahaya kota untuk pertama kalinya.
Setelah beberapa saat, Airon membelokkan mobilnya ke sebuah jalan yang lebih tenang, dan tak lama kemudian, Porsche Panamera itu berhenti di depan sebuah hunian mewah yang didominasi oleh kaca. Sebuah rumah kaca yang megah, dikelilingi oleh lanskap minimalis yang tertata apik.
Rania mengikuti Airon yang turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Ia mengekor di belakangnya, persis layaknya anak ayam yang kehilangan induknya. Sekali lagi, Rania takjub. Rumah dua lantai itu tampak simpel namun berkesan sangat megah dan modern.
Airon berjalan menaiki tangga menuju lantai dua, dan Rania mengikutinya dengan langkah hati-hati.
“Kamu tidur di kamar itu,” Airon menunjuk salah satu kamar yang pintunya terbuat dari kayu gelap elegan.
“Terima kasih, Tuan,” ucap Rania, suaranya pelan dan bergetar.
Airon mendekat, menghentikan langkahnya di hadapan Rania. Tangannya terangkat, mengelus lembut pipi Rania, tepat di bekas tamparan Albert. Jari-jarinya terasa hangat dan mendominasi.
“Tapi ingat,” bisik Airon, suaranya kembali menjadi dingin dan penuh kepemilikan. “Kalau aku butuh, kamu harus segera datang ke kamarku.”
“Baik, Tuan.” Rania mengangguk, mengiyakan takdir barunya.
Rania memasuki kamar yang kini telah menjadi miliknya. Kamar itu luas, setidaknya tiga kali lipat dari kamar sempitnya di desa. Bahkan, kamar mandi pribadinya berada di dalam kamar.
Ia berjalan ke arah tempat tidur, mengusap-usap permukaan kasur king size yang empuk dan tertutup seprai bersih. Kasur yang kucel dan lusuh di desa pun sudah bisa membuatnya tidur nyenyak. Apalagi di atas kasur yang bersih dan besar ini? Ia pasti akan tidur lebih nyenyak lagi, dan yang terpenting, ia akan merasa aman.
Tak ada lagi pamannya, Karmin, yang cabul dan selalu ingin mengambil kesempatan.
Rania bersyukur bisa lepas dari cengkeraman Karmin. Dan ia bersyukur bisa pergi dari Klub Albert, meskipun ia harus menyerahkan dirinya sepenuhnya pada Airon. Setidaknya, ini sedikit lebih baik daripada tubuhnya harus dijamah oleh banyak laki-laki.
Air mata Rania kembali jatuh. Entah mengapa, nasib seakan tak pernah berhenti mempermainkan dirinya. Ia lepas dari lubang buaya, namun masuk ke dalam mulut harimau. Pembebasannya memiliki harga yang sangat pribadi.
Tiba-tiba, ia menjadi khawatir memikirkan nasib bibinya. Dalam hati, Rania berharap semoga Karmin tidak selalu berlaku kasar pada bibinya yang lemah lembut itu.
Sementara di kamarnya, Airon tengah menikmati rokok yang terjepit di antara jarinya. Menghirupnya dalam-dalam, lalu menghembuskan kepulan asap yang mengepul dan lenyap di udara dingin kamar.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada seorang perempuan yang benar-benar menarik perhatiannya, bukan hanya sekadar pemuas nafsu. Tadi, Airon begitu menikmati permainannya dengan Rania. Gadis itu begitu menggoda, begitu polos, hingga ia melepaskan ketegangannya beberapa kali. Airon tak menyangka Albert bisa mendapatkan ‘barang’ yang sebagus itu.
Airon tersenyum miring. Rania telah dibayar. Dibeli. Ia adalah miliknya sekarang. Dan seorang Airon tidak pernah melepaskan apa pun yang sudah menjadi miliknya.
masa tangan kanan ga punya rencana 🤦🤦