BERAWAL DARI SALAH KIRIM NOMOR, BERAKHIR DI PELAMINAN?!
Demi tes kesetiaan pacar sahabatnya, Dara (22) nekat kirim foto seksi sambil ngajak "kawin". Sayangnya, nomor yang dia goda itu BUKAN nomor pacar sahabatnya, tapi Antonio (32), Oom-nya Acha yang dingin, mapan, tapi... diam-diam sudah lama suka sama Dara!
Dara kabur ke pelosok desa, tapi Nio justru mengejar. Dara mencoba membatalkan, tapi Nio justru malah semakin serius.
Mampukah Dara menolak Om-om yang terlalu tampan, terlalu dewasa, dan terlalu bucin karena salah chat darinya ini?
Novel komedi tentang cinta yang beda usia 10 tahun. Yuk, gas dibaca. Biar tahu keseruan hidup Dara-Nio yang serba gedabak-gedebuk ini 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ame_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Wilayah Kekuasaan si Oom
Mobil SUV mewah milik Nio meluncur pelan memasuki sebuah kawasan perumahan elit yang penjagaannya super ketat. Dara hanya bisa menempelkan wajahnya ke kaca mobil, menatap deretan rumah megah yang jarak antar rumahnya saja lebih luas daripada lapangan futsal di dekat kampusnya. Begitu mobil berhenti di depan sebuah gerbang hitam setinggi dua meter yang terbuka secara otomatis, Dara menahan napas.
Di hadapannya, berdiri sebuah bangunan dua lantai bergaya modern minimalis yang didominasi oleh dinding marmer putih dan kaca-kaca besar. Pencahayaannya ditata sedemikian rupa hingga rumah itu terlihat glowing, persis seperti pemiliknya.
"Om... kita salah alamat, ya?" gumam Dara tanpa sadar.
Nio terkekeh, mematikan mesin mobil lalu menoleh pada istrinya.
"Kenapa? Kurang besar?"
"Bukan! Ini mah kegedean buat berdua, Om!"
Nio tidak menjawab, ia hanya turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Dara. Begitu kaki Dara menginjak lantai paving yang sangat bersih, seorang wanita paruh baya dengan seragam rapi keluar dari pintu samping, menyambut mereka dengan senyum lebar.
"Selamat datang, Mas Nio. Selamat datang, Mbak Dara," sapa wanita itu dengan sopan.
"Dara, kenalkan. Ini Bi Ijah, yang sudah bantu aku di rumah ini selama beberapa tahun terakhir," ucap Nio sambil merangkul pundak Dara.
Dara segera menyalami tangan Bi Ijah dengan kikuk.
"Eh, iya, Bi. Saya Dara. Mohon bantuannya ya, Bi. Maaf kalau nanti saya sering ngerepotin atau berisik."
Bi Ijah tertawa kecil, matanya berbinar melihat majikannya membawa pulang istri yang tampak sangat menggemaskan.
"Aduh, enggak apa-apa, Mbak Dara. Mas Nio mah biasanya pendiam, jadi kalau Mbak Dara berisik, rumah ini malah jadi hidup."
Nio tersenyum pada istrinya, lalu kembali menatap Bi Ijah.
"Bi, barang-barang Dara tolong ditaruh di depan lift saja ya. Nanti saya yang bawa ke atas. Setelah itu, Bibi boleh kembali ke paviliun. Masakan untuk makan malam sudah siap, kan?"
"Sudah, Mas. Semua sudah beres. Bibi juga sudah siapkan buah potong di kulkas," jawab Bi Ijah. "Ya sudah, kalau begitu Bibi permisi ke belakang dulu ya, Mbak Dara. Mari."
Dara hanya bisa mengangguk pelan sampai Bi Ijah menghilang di balik lorong yang menuju ke arah taman belakang. Begitu suasana sepi, Dara langsung menyenggol lengan Nio.
"Om, kok gitu amat sih ngomongnya? Kayak ngusir," protes Dara.
"Bukan ngusir, Sayang. Itu namanya manajemen privasi. Bi Ijah punya bangunan sendiri di belakang, jadi dia punya kehidupan pribadi juga. Dan yang paling penting..." Nio menarik Dara mendekat, menunduk hingga hidung mereka bersentuhan. "Supaya kita nggak perlu merasa canggung kalau kamu tiba-tiba pengen teriak manggil nama saya."
"OM! Mulutnya disekolahin dulu, kek!" Dara mendorong wajah Nio, membuat pria itu terbahak.
Nio membimbing Dara masuk ke dalam rumah. Begitu pintu utama terbuka, Dara kembali dibuat melongo. Interior rumah itu sangat rapi, wangi, dan terlihat sangat mahal. Tidak ada satu pun barang yang letaknya melenceng. Semuanya simetris.
Nio merangkul pinggang Dara, membimbingnya menuju sebuah pintu besi yang bergeser otomatis di sudut ruangan. Begitu pintu terbuka, Dara kembali melotot.
"Demi apa... Om beneran pake lift?!"
Dara masih menatap pintu lift itu dengan dahi berkerut, seolah sedang menghitung berapa biaya listrik yang terbuang hanya untuk naik ke lantai dua.
"Om, jujur deh. Lo emang beneran nggak tahu mau dikemanain lagi duit lo, ya? Rumah dua lantai doang pake lift, kaki gue masih kuat kali kalau cuma disuruh nanjak tangga," gerutu Dara.
Nio terkekeh, ia menarik tangan Dara dan membawanya masuk ke dalam kotak besi mewah itu. Begitu pintu tertutup, Nio bersandar di dinding lift sambil menatap istrinya dengan tatapan yang lebih lembut.
"Koper kamu berat, Dara. Lagipula, aku bangun rumah ini bukan cuma buat aku sekarang," ujar Nio tenang sambil menekan tombol lantai dua.
"Terus buat siapa? Buat museum?"
"Bukan. Papa dan Mamaku sudah nggak muda lagi. Kalau mereka berkunjung dan mau menginap di lantai atas, aku nggak mau mereka kesusahan naik tangga. Lutut orang tua itu nggak sekuat kamu, Sayang."
Dara terdiam sebentar.
'Oh, jadi buat mertua toh? Oke, masuk akal,' batinnya.
"Lagipula..."
Nio melangkah maju, memangkas jarak di antara mereka sampai Dara harus mendongak. Nio meletakkan telapak tangannya di perut rata Dara, membuat gadis itu menahan napas seketika.
"Saya juga mikirin kamu."
"Gue? Gue kan masih muda, Om! Gue sanggup lari bolak-balik tangga sepuluh kali juga!" katanya.
"Sekarang memang iya. Tapi nanti, kalau di sini sudah ada 'Nio kecil' atau 'Dara kecil' yang tumbuh, perut kamu bakal besar. Kamu bakal cepat capek, punggung kamu bakal sakit kalau harus naik turun tangga setiap hari. Aku enggak mau istriku menderita cuma karena mau ambil minum ke dapur saat lagi hamil besar."
Wajah Dara seketika memanas. Semburat merah merambat sampai ke telinganya. Kalimat Nio barusan jauh lebih mematikan daripada gombalan maut mana pun. Pria ini sudah memikirkan sejauh itu? Sampai ke masa di mana mereka punya anak?
"Siapa... siapa juga yang mau hamil?!" gumam Dara gugup, berusaha memalingkan wajahnya yang sudah mirip kepiting rebus.
Nio tersenyum tipis, jenis senyum yang membuat Dara tahu kalau pria itu sedang sangat serius dengan ucapannya.
"Cuma masalah waktu, Dara. Dan tugasku adalah memastikan kamu nyaman di rumah ini dalam kondisi apa pun."
"Termasuk masang pintu lift yang kedap suara ini?" sindir Dara, berusaha mengalihkan debaran jantungnya yang menggila.
"Tentu aja. Sangat berguna kalau kita sedang... buru-buru," bisik Nio serak tepat di telinga Dara.
Ting!
Pintu lift terbuka sebelum Dara sempat melempar makian. Mereka langsung disambut oleh ruang santai di lantai dua yang memiliki sofa raksasa menghadap ke arah jendela kaca besar dengan pemandangan kolam renang di bawahnya.
Nio menarik koper Dara menuju sebuah pintu kayu ganda yang sangat besar di ujung lorong. Itu pasti kamar utamanya.
"Ini kamar kita. Mulai sekarang, ini wilayah kekuasaan kamu," ucap Nio sambil membuka pintu.
Dara melangkah masuk dan seketika merasa dunianya terhenti. Kamar itu luar biasa luas, bahkan jauh lebih luas dari kamar di rumah orang tuanya. Namun, perhatian Dara teralihkan pada sebuah pintu geser yang tertutup rapat di sudut ruangan, terpisah dari area ranjang dan walk-in closet. Pintu itu tampak kontras karena menggunakan pengunci sensor sidik jari yang canggih.
"Om, itu pintu apaan? Kok kayaknya rahasia banget?" tanya Dara penasaran.
***
Nah, udah pindah rumah sekarang. Jadi mereka bisa ibadah dengan lebih bebas sekarang 🤣
Author baik, kan? Hahaha 🤣
Woke, jangan lupa like, komen, dan subscribenya ya bolo-bolo semua. Bye-bye~
btw, Dar kuatin punggung lu aja ya, pria umur segitu masih ke itung muda. 🤣
ga semua sih cuma seuprit laki laki