Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!
"Aku kecewa karena suamiku sendiri berniat menjandakan aku demi membahagiakan wanita lain."
Pelangi Faranisa, seorang gadis taat agama yang dijodohkan dengan pria brutal. Di malam resepsi pernikahan, ia dipermalukan oleh suaminya sendiri yang pergi tanpa permisi dan lebih memilih mabuk-mabukan.
Pemberontak, pembangkang, pembuat onar dan pemabuk berat. Itulah gambaran sosok Awan Wisnu Dewanto.
"Kamu tidak usah terlalu percaya diri! Aku tidak akan pernah tertarik denganmu, meskipun kamu tidak memakai apa-apa di hadapanku!" ~ Awan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pingsan!
Waktu terasa terhenti bagi Pelangi. Tubuhnya membeku, tetapi jantungnya semakin berpacu. Sambutan menyakitkan itu memaksa sepasang bola mata indahnya berair.
Cemburu?
Tentu saja! Istri mana yang akan tahan melihat kemesraan suaminya dengan wanita lain. Meskipun Pelangi tahu suaminya mencintai orang lain. Dan ia sadar sepenuhnya bahwa posisinya sebagai istri mungkin tak dianggap penting oleh Awan. Pelangi menarik napas dalam demi meringankan sesak yang memenuhi dadanya.
“Itu foto Priska. Aku memajangnya sudah lama, sebelum tahu rencana ayah untuk menjodohkan kita.”
Pelangi hanya mengangguk tanpa kata. Bibirnya terkatup rapat demi menahan cairan bening yang menggenang di bola matanya, agar tak meleleh di pipi.
“Kita ke atas!” Tanpa rasa bersalah Awan membawa salah satu koper dan menaiki tangga menuju lantai atas. Pelangi diam membisu mengikutinya.
Setibanya di lantai atas, Pandangan Pelangi kembali berkeliling. Meskipun rumah itu belum pernah dihuni sebelumnya, namun terlihat sangat bersih. Karena setiap hari, Awan menugaskan seseorang untuk membersihkan rumahnya.
Awan memasukkan koper miliknya ke kamar ujung, lalu kembali turun ke lantai bawah untuk mengambil koper milik Pelangi. “Di rumah ini ada dua kamar. Kamarku yang di ujung itu.” Awan menunjuk sebuah kamar. “Dan kamar satunya boleh kamu tempati.”
Lagi-lagi Pelangi hanya menyahut dengan anggukan kepala. Awan baru saja membangun sebuah benteng pembatas di antara mereka, dengan tidur di kamar terpisah.
“Oh ya ... aku sering keluar malam, jadi kalau aku pergi kunci saja pintu kamarmu.”
“Iya.” Rasanya Pelangi sudah tidak tahan lagi. Jika tidak segera masuk ke kamar, mungkin ia akan menangis di hadapan Awan. Dan wanita itu benar-benar tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan siapapun.
Awan terdiam menatap pintu kamar yang baru saja tertutup. Sejak melihat foto di ruang tamu tadi, Pelangi banyak diam dan melamun.
“Apa ada yang salah?” Pertanyaan itu terus menghantui pikirannya.
.
.
.
Makan malam pun dilalui sepasang suami istri itu dengan saling diam. Awan begitu lahap dengan makanan kesukaannya sementara Pelangi terlihat kurang bersemangat. Meskipun begitu, ia tetap menghabiskan makanan yang dituangnya ke dalam piring.
“Kenapa makannya sedikit?” Awan membuka suara dengan ragu.
“Masih kenyang.” Sebuah jawaban singkat yang membuat Awan meliriknya.
“Kamu tidak suka menunya?”
“Suka. Asal halal, semua makanan pasti enak rasanya.” Ia meraih segelas air putih dan minum dalam tiga kali teguk. Awan sesekali mencuri pandang.
Makan malam pun berlalu begitu saja. Setelahnya Pelangi membersihkan peralatan makan dalam diam.
Tidak mudah baginya menjalani rumah tangga seperti ini. Ujian di awal pernikahannya terasa begitu berat. Untuk melangkah pun kakinya terasa lemas. Begitu akan keluar dari dapur, segalanya seperti berputar dalam pandangannya.
Detik itu juga ia ambruk. Beruntung awan dengan sigap menangkap tubuhnya, hingga kepalanya tak membentur lantai.
“Pelangi!” teriak Awan seraya menepuk wajah istrinya. Rasa khawatir seketika menjalar melihat keringat membasahi kening dan juga wajah Pelangi yang mulai memucat.
“Bangun, Pelangi!”
"Pelangi!"
"Bangun!"
Pelangi tak kunjung tersadar, sehingga pria itu memilih menggendongnya ke kamar. Dengan cepat ia membaringkan istrinya dan menyalakan pendingin ruangan.
"Pelangi!" Awan kembali menepuk pipi dengan lembut. Namun, segala usahanya untuk membangunkannya tak membuahkan hasil. Sehingga Awan semakin panik.
"Bangun, Pelangi!"
.
.
.
.
Awan membolak-balikkan tubuhnya di ranjang empuknya. Entah mengapa ia tak dapat memejamkan mata. Wajah murung Pelangi terus terbayang dalam benaknya. Terlebih tadi istrinya itu sempat pingsan dan baru terbangun satu jam kemudian, setelah Awan mengoles minyak kayu putih di hidung.
"Aku tidak apa-apa, kembali saja ke kamarmu!" Ucapan Pelangi tadi masih lekat dalam ingatannya.
“Si Pelangi kan sudah tahu tentang gue sama Priska. Seharusnya tidak ada masalah apapun, ‘kan? Apa dia pingsan karena habis melihat foto itu? Kayaknya bukan, deh! Pelangi pasti cuma capek.”
Matanya terpejam. Pria itu berulang-ulang meyakinkan dirinya dalam hati bahwa pelangi pingsan hanya karena kelelahan setelah pernikahan mereka. Bukan karena melihat foto mesranya dengan wanita lain.
“Sial!” Awan duduk bersandar seraya menghela napas frustrasi. Memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari namun matanya seakan enggan terpejam. Ada kekosongan yang terasa begitu nyata dalam hatinya.
Pria itu pun bangkit dan segera turun ke lantai bawah. Tubuh tingginya berdiri tepat di depan sebuah pigura berukuran besar di ruang tamu. Dengan wanita di dalam foto itulah ia pernah membangun harapan besar akan menjalani hari-harinya. Namun, Priska pergi sebelum Awan mampu meyakinkan sang ayah.
.
.
.
.
Pelangi masih tertidur ketika sayup-sayup mendengar Adzan subuh berkumandang. Kelopak matanya perlahan terbuka. Selepas menjalankan Shalat subuh, ia menuju dapur.
Ketika menuruni tangga, napasnya terasa berat. Demi apapun, ia tak akan sanggup jika harus melihat lagi foto kemesraan suaminya dengan wanita lain. Sayangnya, tangga tepat berhadapan dengan ruang tamu. Sehingga untuk pergi ke dapur, mau tak mau Pelangi harus melewati ruang tamu.
“Tutup mata dan hati saja, Pelangi!”
Ia berusaha untuk tak melihat, namun tetap saja dinding ruang tamu seperti memiliki magnet yang terus menariknya. Alhasil, kepalanya menoleh tanpa sadar, meski matanya seketika terpejam rapat.
Wanita itu pun tersadar dengan bola mata yang membulat. Foto Awan dan kekasihnya yang semalam terpajang di sana sudah tak terlihat.
“Kemana fotonya?” gumam Pelangi.
“Aku buang!” Suara awan yang tiba-tiba terdengar dari belakang mengagetkannya.
****