Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Drama di Pesta
Meja VIP di pojok grand ballroom terasa seperti dunia sendiri... agak terpisah dari keramaian, dengan view yang sempurna ke stage dan juga ke seluruh ruangan. Chandelier besar tepat di atas mereka memberikan cahaya yang hangat namun tidak terlalu terang. Di meja bundar dengan taplak putih dan centerpiece bunga mawar putih yang indah, Indira dan Adrian duduk bersebelahan dengan dua kursi kosong di antara mereka karena Rani dengan sengaja memisahkan diri.
"Oke," Rani berdiri dengan clutch gold di tangan dan senyum yang sangat, sangat lebar. "Aku mau keliling dulu. Survey. Siapa tahu ada CEO muda yang ganteng dan single di sini."
"Ran..." Indira mencoba menahan.
"Atau investor tampan yang kaya raya," lanjut Rani sambil sudah berjalan mundur. "Atau minimal anak konglomerat yang butuh istri cantik dan cerdas seperti aku."
"Rani!" Indira mulai tertawa meskipun wajahnya memerah.
"Kalian berdua ngobrol dengan santai ya!" Rani sudah menjauh, melambaikan tangan. "Aku akan kembali kalau sudah dapat nomor telepon minimal tiga orang!"
Lalu ia menghilang ke kerumunan tamu, meninggalkan Indira dan Adrian duduk berdampingan dengan jarak yang... sedikit canggung.
Keheningan mengisi ruang antara mereka... tapi bukan keheningan yang tidak nyaman. Lebih ke... keheningan yang penuh dengan pertanyaan yang belum terucapkan.
Akhirnya Adrian yang membuka suara. "Jadi," ucapnya sambil berbalik sedikit menghadap Indira, "kamu cucu Kakek Harto."
"Secara teknis, bukan cucu kandung," Indira mengoreksi dengan lembut. "Kakekku... Abraham Zamora adalah sahabat karib Kakek Harto sejak muda. Mereka membangun bisnis bersama, saling support, seperti saudara. Dan sejak kakekku meninggal sepuluh tahun lalu, Kakek Harto jadi seperti kakek pengganti untukku. Beliau yang ngajarin banyak hal tentang bisnis, yang support aku saat kuliah di London, yang selalu ada saat aku butuh nasihat."
Adrian mengangguk pelan, memproses informasi itu. "Dan aku tidak pernah tahu. Kakek tidak pernah cerita tentangmu padaku."
"Mungkin karena kita tidak pernah ikut acara keluarga bersamaan?" Indira tersenyum tipis. "Aku jarang datang ke acara-acara Suryatama sejak aku menikah. Terlalu sibuk dengan... kehidupan rumah tangga yang ternyata sia-sia."
Adrian menatapnya dengan tatapan yang penuh simpati. "Maaf tentang tadi. Tentang... suamimu."
"Mantan suamiku," Indira mengoreksi dengan cepat. "Atau akan segera jadi mantan. Proses perceraian sudah dimulai."
"Oh," Adrian terdengar... lega? "Itu... bagus. Maksudku, bagus kalau kamu sudah memutuskan untuk lepas dari orang yang tidak menghargaimu."
Indira tersenyum... senyum yang penuh dengan apresiasi untuk kata-kata itu. "Terima kasih."
"Dan," Adrian melanjutkan dengan nada yang sedikit ragu, "aku juga tidak menyangka kalau kamu... kamu adalah pewaris Zamora Company."
Indira tersentak sedikit, tidak mengira Adrian tahu. "Kamu tahu tentang itu?"
"Kakek bilang tadi," jawab Adrian. "Saat kita menuju ke meja ini. Beliau dengan bangga bilang 'Indira ini pewaris tunggal Zamora Company, salah satu perusahaan properti terbesar di Indonesia. Cerdas sekali anaknya.' Dan aku... shock. Zamora Company itu perusahaan yang semua orang bicarakan akhir-akhir ini. Sangat maju. Sangat sukses. Sangat misterius karena pemiliknya tidak pernah terekspos."
Indira tertawa pelan... tawa yang sedikit malu. "Itu bukan hal yang perlu dibanggakan. Itu hanya warisan dari kakek dan ayahku. Aku hanya meneruskan apa yang mereka bangun."
"Tapi kamu berhasil," Adrian bersikukuh. "Dari apa yang aku baca di berita bisnis, sejak pemilik Zamora Company kembali aktif memimpin yang aku baru tahu adalah kamu... performa perusahaan naik drastis. Profit meningkat, proyek-proyek besar berhasil ditandatangani, ekspansi berjalan mulus. Itu bukan hanya karena warisan. Itu karena kemampuanmu."
Indira merasakan pipinya memanas. "Kamu terlalu memuji."
"Aku hanya menyatakan fakta," Adrian tersenyum hangat, yang membuat jantung Indira berdegup sedikit lebih cepat.
Keheningan lagi tapi kali ini lebih nyaman. Mereka sama-sama menyeruput champagne yang disajikan waiter, sama-sama menatap ke arah stage di mana Kakek Harto sedang berbincang dengan tamu-tamu VIP lainnya.
"Kamu tahu," Adrian berbicara lagi, "aku selalu penasaran apa yang terjadi padamu setelah di London. Kenapa kamu tiba-tiba putus denganku dan tidak pernah kontak lagi."
Indira menatap ke dalam gelas champagne-nya. "Aku pikir itu yang terbaik waktu itu. Long distance relationship itu berat. Dan aku tidak mau mengikatmu sementara aku di London dan kamu di Jakarta."
"Tapi aku mau diikat," ucap Adrian dengan nada yang sangat lembut. "Aku mau menunggu. Aku sudah bilang itu."
"Aku tahu," Indira tersenyum pahit. "Tapi aku terlalu takut. Takut kalau kita bertahan tapi akhirnya tidak berhasil. Takut kalau aku merusak masa depanmu. Jadi aku memutuskan untuk... melepaskanmu."
"Dan kamu menikah dengan Rangga setelah kembali dari London?"
"Dua tahun setelah kembali," Indira mengoreksi. "Aku bertemu Rangga saat aku buka toko bungaku. Dia datang untuk pesan buket untuk acara kantor. Kita mulai ngobrol. Dia sweet. Perhatian. Atau setidaknya aku pikir begitu waktu itu. Ternyata... itu hanya topeng."
Adrian tidak berkomentar... Hanya mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Dan sekarang," Indira menarik napas panjang, "aku di sini. Bebas. Atau akan segera bebas. Dan mencoba mencari tahu siapa aku tanpa label sebagai 'istri seseorang'."
"Kamu Indira Zamora," ucap Adrian dengan tegas. "CEO. Pewaris. Wanita yang kuat dan cerdas. Dan itu sudah lebih dari cukup."
Indira merasakan matanya memanas bukan karena sedih. Karena ada seseorang yang melihatnya. Benar-benar melihatnya. Bukan sebagai istri. Bukan sebagai wanita yang harus melayani. Tapi sebagai dirinya sendiri.
"Terima kasih," bisiknya.
Adrian tersenyum hendak mengatakan sesuatu lagi... tapi tatapannya terganggu oleh sesuatu di kejauhan. Wajahnya berubah dari hangat menjadi waspada.
"Indira," ucapnya pelan, "mantan suamimu menatap ke arah sini. Sejak tadi."
Indira tidak perlu menoleh untuk tahu. Ia bisa merasakan tatapan itu... tatapan yang intens, yang penuh dengan... apa? Penyesalan? Kemarahan? Kecemburuan?
"Biarkan dia," ucap Indira dengan tenang. "Itu bukan urusanku lagi."
---
Di sisi lain ballroom, Rangga berdiri dengan gelas wine di tangan.. tapi tidak diminumnya. Ia hanya menggenggam gelas itu dengan erat, mata tidak lepas dari meja VIP di mana Indira duduk dengan pria asing itu.
Pria tampan itu. Pria yang duduk terlalu dekat dengan Indira. Pria yang membuat Indira tertawa tulus, yang hangat, yang tidak pernah lagi Indira tunjukkan pada Rangga.
Dada Rangga sesak. Bukan karena sedih. Tapi karena... cemburu. Cemburu yang membakar, yang menyakitkan.
"Rangga," Ayunda menarik lengannya. "Kenapa kamu terus lihat ke sana? Kamu kan datang untuk cari investor, bukan untuk stalking Indira."
"Aku tidak stalking..."
"Kamu dari tadi lihat ke arahnya!" Ayunda mulai kesal. "Sejak kita masuk, kamu tidak fokus sama sekali! Kamu harusnya networking, ngobrol dengan CEO-CEO besar, cari investor tapi kamu cuma berdiri di sini dan menatap mantan istrimu dengan pria lain!"
Rangga menatap Ayunda dengan tatapan tajam. "Dia masih istriku. Secara legal. Kami belum cerai."
"Tapi dia sudah pergi," Ayunda membalas dengan sinis. "Dia sudah kabur dari rumah. Dia sudah jelas tidak mau sama kamu lagi. Kenapa kamu masih..."
"Karena aku tidak bisa melihatnya dengan pria lain," Rangga akhirnya mengakui dengan suara yang bergetar. "Aku tidak bisa melihat dia tertawa seperti itu dengan pria yang bukan aku."
Ayunda tersentak... terluka dengan pengakuan itu. "Jadi... kamu masih cinta sama dia?"
"Aku tidak tahu," jawab Rangga jujur. "Aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Yang aku tahu adalah aku tidak bisa melihat ini."
Dan sebelum Ayunda bisa menghentikan. Rangga sudah berjalan. Berjalan dengan langkah cepat menuju meja VIP. Menuju Indira.
"RANGGA!" Ayunda berteriak, tapi suaranya tertelan oleh musik dan obrolan tamu-tamu. Ia mencoba mengikuti... tapi heels-nya yang terlalu tinggi membuatnya tertinggal.
Rangga sampai di meja VIP dengan napas terengah. Indira dan Adrian yang sedang tertawa atas sesuatu langsung berhenti dan menoleh.
"Indira," Rangga berbicara dengan suara yang terlalu keras, terlalu emosional. "Kita perlu bicara."
Indira menatapnya dengan tatapan datar... tidak terkejut, seolah sudah mengantisipasi ini akan terjadi. "Tidak ada yang perlu dibicarakan."
"Ada," Rangga bersikukuh. "Tentang kita. Tentang pernikahan kita. Tentang kenapa kamu di sini dengan pria lain!"
Adrian berdiri... postur tubuhnya yang tinggi langsung terlihat mengintimidasi. "Excuse me, tapi aku rasa kamu tidak punya hak untuk marah. Setahuku kamu yang selingkuh dan menikah lagi dengan wanita lain?"
"Ini bukan urusanmu," Rangga menatap Adrian dengan tatapan penuh amarah.
"Adrian," Indira menarik lengan Adrian dengan lembut, "tidak perlu keluar tenaga untuk orang yang tidak penting."
Kata-kata itu... orang yang tidak penting menohok Rangga tepat di jantung.
"Ayo pergi," Indira berdiri dengan anggun, mengambil clutch-nya. "Aku bosan dengan drama ini."
Tapi Rangga menghalangi jalan mereka. "TUNGGU!"
"Minggir, Mas Rangga," Indira berbicara dengan nada yang sangat tenang... tapi ada ancaman di sana.
"Kenapa?" Rangga bertanya dengan frustrasi yang meledak. "Kenapa kamu tidak pernah cerita kalau kamu kenal dengan keluarga Suryatama? Kenapa kamu tidak pernah bilang kalau kamu punya koneksi dengan orang-orang sekaya ini? Kenapa kamu sembunyikan semuanya dari aku?"
Indira menatapnya... tatapan yang panjang, yang menilai. Lalu ia bertanya dengan suara yang sangat, sangat tenang.
"Mas Rangga, selama tiga tahun pernikahan kita, apa kamu benar-benar peduli padaku?"
Rangga tersentak.
"Apa kamu pernah bertanya tentang keluargaku? Tentang masa laluku? Tentang apa yang aku suka atau tidak suka? Tentang mimpi-mimpiku? Tentang siapa aku sebenarnya?" Indira melanjutkan dengan suara yang semakin keras. "Atau kamu hanya peduli bahwa aku bisa masak untukmu, bersih-bersih untukmu, melayani kebutuhanmu tanpa banyak tuntut?"
"Aku... aku peduli..."
"Tidak," Indira memotong dengan tegas. "Kamu tidak peduli. Kamu tidak pernah peduli. Selama tiga tahun, kamu tidak pernah bertanya tentang keluargaku yang sebenarnya. Kamu tidak pernah bertanya dari mana uang yang aku pakai untuk biayai rumah tangga kita. Kamu tidak pernah bertanya kenapa aku bisa kuliah di London. Kamu tidak pernah bertanya apa-apa. Karena kamu tidak peduli. Yang peduli hanya aku. Aku yang peduli pada pernikahan kita. Aku yang berusaha. Aku yang berharap. Sementara kamu? Kamu hanya mengambil dan mengambil tanpa pernah memberi."
Rangga terdiam... Setiap kata adalah kebenaran yang menyakitkan.
"Jadi jangan tanya kenapa aku tidak cerita," Indira melanjutkan. "Karena kamu tidak pernah memberi aku kesempatan untuk cerita. Kamu tidak pernah tertarik untuk tahu."
Ayunda yang akhirnya sampai langsung masuk ke percakapan dengan nada marah. "Kamu ini terlalu sombong, Indira! Cuma karena kamu kenal dengan keluarga Suryatama, kamu pikir kamu bisa merendahkan Rangga seperti ini?"
Indira berbalik menatap Ayunda dengan senyum tipis yang dingin. "Sombong? Ya, mungkin aku sombong. Tapi aku punya alasan untuk sombong. Aku punya perusahaan sendiri. Aku punya aset sendiri. Aku punya koneksi dengan orang-orang terpenting di negara ini. Aku punya kemampuan untuk berdiri dengan kaki sendiri tanpa bergantung pada siapapun. Jadi ya, aku layak untuk sombong. Karena aku punya banyak hal yang bisa aku sombongkan."
Ayunda terdiam.
"Sekarang," Indira menatap Rangga dengan tatapan final, "untuk terakhir kalinya, jangan ganggu aku lagi. Kita sudah selesai. Perceraian akan diproses. Kamu bisa lanjutkan hidupmu dengan Ayunda. Dan aku akan lanjutkan hidupku tanpa kalian berdua."
Ia berbalik, meraih tangan Adrian. "Ayo pergi."
Adrian mengikuti tapi sebelum pergi, ia menatap Rangga dengan tatapan yang penuh... belas kasihan? "Kamu kehilangan wanita yang luar biasa. Dan itu salahmu sendiri."
Mereka berjalan menjauh... Indira dengan kepala terangkat tinggi, Adrian dengan tangan yang melindungi punggungnya dari kerumunan.
Rangga dan Ayunda berdiri di sana... di tengah ballroom yang ramai tapi merasa sangat, sangat sendirian.
Beberapa meter dari meja VIP, Indira berhenti. Ia menatap Adrian dengan wajah yang penuh penyesalan.
"Maaf," ucapnya dengan tulus. "Maaf kamu harus melihat drama rumah tanggaku yang terlalu receh dan memalukan."
Adrian tersenyum lembut. "Tidak ada yang memalukan tentang kamu berdiri untuk dirimu sendiri. Itu justru sangat... menginspirasi."
Indira merasakan matanya memanas lagi. "Terima kasih. Terima kasih sudah ada untukku tadi."
"Selalu," jawab Adrian. Dan entah kenapa, kata itu terdengar seperti janji.
mau bgaimanapun ayunda adlh pelakor.
mau bgaimanapun alasannya ayunda adlh pelakor dan pelakor hrs dpt hukuman juga biar gk tuman dan gk Ada yg niru.
nnti jd kebiasaan mendukung ayunda jd pelakor krn blas dendam.