Pertemuan tanpa sengaja, membawa keduanya dalam sebuah misi rahasia.
Penyelidikan panjang, menyingkap tabir rahasia komplotan pengedar obat terlarang, bukan itu saja, karena mereka pun dijebak menggunakan barang haram tersebut.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Akankah, Kapten Danesh benar-benar menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#17. Bukan Tempat Untuk Pacaran•
#17
Danesh melirik miris mobil barunya yang kini terlihat mengenaskan, “aku sudah bilang, aku bukan orang susah, tak perlu menatapku dengan rasa kasihan.”
“Jadi ada perlu apa, kamu memintaku datang?” tanya Danesh kemudian.
Dhera sudah membuka mulut, hendak menjawab pertanyaan Danesh, namun pria itu tiba-tiba menoleh ke seberang jalan, tempat sebuah kedai makan berada. “Aku lapar, kita bicara sambil makan.”
Danesh melangkah terlebih dahulu menyeberangi jalan, Dhera tak punya pilihan selain mengikuti langkah Danesh.
Kedai makanan di pinggir jalan, menjadi pilihan mereka duduk berhadapan menikmati makan malam. Karena kedai tersebut hanya warung kopi kecil, maka menu andalan mereka adalah mie rebus dengan sawi dan telur. Untungnya Mereka juga menjual pisang goreng, jadi Danesh pun memesannya untuk Dhera yang tak mau makan mie instan.
Sebenarnya Dhera tidak terlalu lapar, tapi Danesh bilang dia belum makan malam, jadi akhirnya ia pilih mengikuti pria tersebut. “Jangan dulu bicara selagi aku makan.”
Dhera hanya mengangguk patuh, sembari melahap pisang goreng di hadapannya,
sensasi manis dari buah pisang serta gurih menyatu sempurna di lidah Dhera, karena ibu pemiilik warung menambahkan sedikit garam dalam adonan pisang goreng tersebut.
Dhera bahkan memesan kopi tubruk sebagai pendamping pisang gorengnya, hingga tanpa terasa Dhera menghabiskan 2 porsi pisang goreng beserta secangkir kopi. Sementara Danesh menghabiskan 2 porsi mie rebus, serta 2 kaleng minuman bersoda.
Entah karena keduanya lapar, atau masakan ibu pemilik warung memang begitu luar biasa. Hingga tanpa sadar mereka menghabiskan makan dalam porsi besar.
“Banyak juga porsi makanmu,” sindir Danesh. Selain Rara, tak ada gadis yang ia kenal berani makan gorengan dalam porsi besar di hadapannya. Termasuk ketika terakhir kali teman kencan butanya mengamuk, hanya karena Danesh menyuruhnya memesan es teler seperti yang Ryu pesan. Saat itu Celia beralasan bahwa ia tidak makan-makanan manis, karena merasa tubuh mungilnya sudah sangat gendut. Padahal jika kembali di cermati, Danesh bisa mengangkat bobot tubuh Celia hanya dengan salah satu lengannya.
“Aku pernah ada dalam kondisi menahan lapar selama dua hari, jadi sekarang, makanan apapun yang enak dan layak dimakan, akan kuhabiskan, tanpa pilih-pilih,” jawab Dhera, membuatnya teringat ketika ibunya sering pergi meninggalkannya seorang diri di rumah.
“Lalu, kenapa menolak mie instan?” Pancing Danesh, ia jadi penasaran dengan jawaban Dhera. Jika Dhera menjawab takut kelebihan kalori, maka Dhera seperti para gadis pada umumnya yang tak ingin berat badannya bertambah, hanya karena makan karbohidrat berlebihan.
“Tadi siang, aku sudah menyantap mie instan. Jadi malam ini, setidaknya aku ingin makan dengan benar.”
“Aaahhh … maaf.”
“Tidak, bukan salahmu, karena seharusnya aku mengajakmu bertemu di sebuah tempat makan yang layak,” ralat Dhera.
“Ini sudah cukup layak, jika tidak, tak mungkin para sopir-sopir truk itu bersedia makan disini.” Danesh mengusap bibirnya dengan tissue, kemudian memilin dan memainkan benda tersebut, selagi mereka bicara. “Jadi, ada perlu apa?”
Dhera membenarkan posisi duduknya, ia membuka sebuah botol air mineral, kemudian meneguk isi didalamnya. Cairan bening itu sedikit membersihkan sisa minyak di tenggorokannya.
“Boleh aku tahu seberapa banyak informasi yang kamu ketahui tentang Mr. B?” tanya Dhera.
“Seberapapun banyaknya, aku tak bisa sembarangan membicarakannya dengan orang lain,” jawab Danesh santai.
Dhera mengangguk paham, “Bagaimana jika aku memberimu informasi tentang G.E.R Foundation, bukankah kamu juga sedang menyelidiki perusahaan amal tersebut?”
Danesh terkejut, karena Dhera mengetahui apa yang sedang dikerjakan anak buahnya, “Darimana kamu tahu, aku sedang menyelidiki G.E.R Foundation?”
Dhera mengangkat kedua pundaknya acuh, “Anggap saja tebakanku benar, karena Mr. B dan G.E.R Foundation terlihat memiliki hubungan erat, namun tak kasat mata.” Dhera mengeluarkan USB dari saku celananya, kemudian menyodorkannya pada Danesh.
“Periksalah, disini ada beberapa aliran dana misterius, yang disamarkan untuk kepentingan dana sosial, tapi faktanya dana ini mengalir ke tiga nomor rekening misterius. Dugaan awal, dua nomor rekening tersebut adalah milik Mr. B dan Madame Vivi, tapi yang satu lagi sangat sulit dilacak, selain karena dia nasabah VIP, nama dan identitasnya dilindungi dengan kunci pengaman tingkat tinggi.”
Danesh segera menghubungkan USB tersebut dengan ponselnya, tak lama kemudian deretan tabel berisi angka-angka dengan jumlah fantastis, tersaji di hadapannya, angka-angka misterius yang sayangnya digunakan untuk bisnis yang bisa memperkaya diri sendiri, namun merugikan orang lain.
“Darimana kamu mendapatkan angka-angka ini? Setahuku, G.E.R Foundation tidak pernah membagikan data perusahaan mereka untuk konsumsi publik. Mereka bahkan memiliki tim AUDIT internal demi keamanan informasi mereka.”
“Atasanku memberikan ini sebelum menerjunkanku kedalam misi, karena Kepolisian Internasional juga kesulitan menahan laju penyebaran cherry pil.” Berikutnya Dhera menyodorkan sebuah pil yang masih tersegel rapat, “warnanya merah gelap menyala seperti buah cherry, karena itulah ini diberi nama cherry pil.”
Danesh memungut tablet berwarna merah tersebut, kemudian mengamatinya dengan baik, “Kecan^duan pil ini sungguh sangat merugikan, karena Mr. X dan komplotannya tak membuat obat penawar, jadi sekali mengkonsumsi pil ini, dosisnya akan meningkat secara perlahan tanpa di sadari penggunanya. Tapi jika sudah meminum ini, penggunanya akan merasa segar, bisa berkonsentrasi dengan baik, dan juga beraktivitas dengan normal.”
“Aneh,” gumam Danesh, karena biasanya pada pecandu mereka akan teler sejenak usai mengkonsumsi obat terlarang, tapi ternyata dalam kasus cherry pil berlaku hukum kebalikan. “Jadi karena itu, Gyngyn terlihat seperti mahasiswa normal?”
Dhera mengangguk.
“Baiklah, karena kamu sudah memberiku informasi ini, aku akan menukar dengan informasi penting yang ku miliki.” Kali ini Danesh mengeluarkan selembar foto dari saku kemejanya.
“Ini…?” tanya Dhera.
“Ada kemungkinan ini Mr. B. Lihat tato di ibu jari tangannya.”
Dhera mengangguk, “Darimana kamu mendapatkan ini?”
“Dari salah seorang wartawan yang kebetulan hari itu dia datang untuk keperluan wawancara dengan pihak G.E.R Foundation. Foto ini dia dapat melalui kamera tersembunyi yang berada di dalam ranselnya.”
“Berarti juga ada kemungkinan bukan, kan?” sambung Dhera.
“Memang, tapi setidaknya kita tidak meraba jerami hanya untuk menemukan sebuah jarum. Ada petunjuk yang bisa mengantar kita pada siapa sosok Mr. B yang sebenarnya.”
Pembicaraan mereka terus berlanjut, semakin malam bukannya semakin membosankan, namun terasa semakin menyenangkan. Apapun umpan pembicaraan yang Danesh lemparkan, mampu Dhera tangkap hingga topik pembicaraan mereka tak jemu dan membosankan. Karena tiba-tiba Dhera menjadi teman bicara yang mengasyikkan.
Hingga tanpa terasa tiga jam telah berlalu, mereka terpaksa mengakhiri pembicaraan karena waktu sudah hampir dini hari. Karena tempat ini buka 24 jam non-stop, jadilah mereka tidak di usir. Tapi … “Mas, mbok lain kali kalo pacaran, pergilah ke tempat romantis,” cetus Ibu pemilik warung, ketika Danesh membayar semua yang ia dan Dhera makan.
Danesh hanya membeo, dari sudut mana ia terlihat sedang berpacaran, sedangkan berpegangan tangan saja tidak. “Tapi, Bu.”
“Perempuan itu suka tempat romantis, bukannya pangkalan truk, yang banyak debunya begini.” Sambil menghitung uang kembalian, Ibu pemilik warung kembali melanjutkan kalimatnya.
“Eh, iya Bu, terima kasih.” Sebelum berlalu pergi, Danesh mengucap terima kasih. Ia tersenyum simpul ketika kembali berjalan menghampiri Dhera.
Setelah berpamitan, mereka menaiki mobil masing-masing, sebelum akhirnya berpisah di tikungan, karena arah tujuan mereka berbeda.