Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6: Perlombaan Melawan Waktu
Satu minggu. Waktu itu terasa seperti pasir yang meluncur cepat di antara jemari Aris. Setelah konfrontasi di bantaran sungai, tubuh Aris seolah menagih janji atas kelelahan yang luar biasa. Ia menghabiskan separuh pagi itu dengan berbaring di sofa tuanya, menatap langit-langit apartemen yang retak, sementara otaknya bekerja keras menyusun kepingan rencana.
Ia tahu Baskoro tidak akan diam. Pria itu adalah hiu di laut bisnis; sekali ia mencium darah, ia akan terus mengejar. Aris membutuhkan lebih dari sekadar dukungan warga; ia membutuhkan legitimasi hukum dan—yang paling sulit—pendanaan awal untuk menunjukkan bahwa "Rumah Senja" bukan sekadar angan-angan kosong.
"Masih hidup, Ris?" Pak Darmo mengetuk pintu balkon, membawa sepiring singkong rebus.
Aris bangkit dengan susah payah, persendiannya berderit. "Hanya sedikit pegal, Pak. Perang ternyata lebih melelahkan daripada menggambar."
Pak Darmo duduk di kursi kayu favoritnya. "Aku melihat videomu di internet. Anak muda di lantai bawah menunjukkannya padaku. Kamu terlihat gagah duduk di depan mesin kuning itu, tapi kamu juga terlihat gila. Kamu tahu siapa yang kamu lawan, kan?"
"Aku tahu, Pak. Aku melawan masa laluku sendiri," jawab Aris sambil mengambil sepotong singkong. "Tapi aku butuh bantuan. Aku butuh orang yang tahu bagaimana cara menembus birokrasi dan punya akses ke investor sosial."
Pak Darmo terdiam sejenak, lalu matanya berbinar. "Kamu ingat si Yudha? Anak asuh mendiang istrimu yang dulu sering datang ke sini saat masih kuliah hukum? Kudengar sekarang dia bekerja di firma hukum yang fokus pada hak asasi manusia dan lingkungan."
Aris tertegun. Yudha. Nama itu sudah lama tenggelam dalam memorinya. Dulu, Sarah-lah yang mendukung biaya kuliah pemuda itu. Jika ada satu orang yang berhutang budi pada mimpi mereka, itu adalah Yudha.
Tanpa membuang waktu, Aris berangkat menuju pusat kota. Kantor Yudha berada di sebuah bangunan tua yang direnovasi di kawasan perniagaan. Kontras dengan kemewahan Grup Mahakarya, kantor ini terasa hidup dengan tumpukan berkas dan aktivis yang berdiskusi dengan semangat.
Saat Yudha melihat Aris di ambang pintu, pria muda yang kini mengenakan kemeja rapi itu langsung berdiri. "Pak Aris? Ya Tuhan, sudah berapa lama?"
Yudha memeluk Aris dengan hangat. Aris merasakan ketulusan yang sudah lama tidak ia dapatkan dari dunia profesional. Di dalam ruang kerja Yudha yang sempit, Aris membeberkan semuanya—tentang Rumah Senja, tentang ancaman Baskoro, dan tentang warga bantaran sungai.
"Grup Mahakarya," Yudha menggumam sambil mengetuk-ngetukkan pulpen ke meja. "Mereka punya reputasi 'membersihkan' segalanya dengan uang. Tapi, Pak Aris, ada satu celah. Lahan itu sebenarnya masih dalam sengketa administratif terkait garis sempadan sungai. Jika kita bisa mengajukan gugatan provisi ke pengadilan, kita bisa membekukan semua aktivitas konstruksi selama minimal enam bulan."
"Enam bulan cukup untuk mencari pendana," ucap Aris dengan mata berbinar.
"Tapi kita butuh bukti bahwa ada rencana pembangunan yang lebih menguntungkan secara sosial dan lingkungan," lanjut Yudha. "Rancangan Bapak harus dipresentasikan di depan komisi pembangunan kota lusa depan. Saya bisa mengatur jadwalnya, tapi Bapak harus siap mental. Mereka akan menyerang setiap celah dalam desain Bapak."
Aris mengangguk pasti. "Aku akan siap."
Sepulangnya dari kantor Yudha, Aris tidak langsung pulang. Ia pergi ke sebuah toko alat tulis besar. Ia membeli cat air, kertas kalkir berkualitas tinggi, dan beberapa peralatan maket sederhana. Ia akan membuat sesuatu yang tidak bisa diabaikan oleh para birokrat: sebuah maket fisik Rumah Senja.
Di apartemennya, Aris mulai bekerja. Ia memindahkan meja makannya ke tengah ruangan agar mendapatkan cahaya yang lebih baik. Dengan tangan yang terkadang gemetar namun penuh presisi, ia memotong lembaran demi lembaran gabus dan kayu balsa.
Setiap detail ia perhatikan. Ia membuat miniatur pohon-pohon rindang yang akan menaungi taman, jendela-jendela besar yang menghadap ke arah matahari terbenam—persis seperti yang diinginkan Sarah—dan sebuah dermaga kecil di tepian sungai yang berfungsi sebagai filter sampah alami.
Larut malam, saat kota mulai senyap, Aris merasakan kehadiran Sarah di ruangan itu. Bukan sebagai hantu yang menakutkan, melainkan sebagai kehangatan yang mendorong punggungnya saat ia mulai lelah.
"Kita hampir sampai, Sarah," bisiknya pada kegelapan.
Tiba-tiba, ponsel tuanya bergetar. Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal masuk.
“Hati-hati, Pak Aris. Baskoro tidak hanya mengandalkan buldoser. Dia mulai mencari cara untuk menyerang pribadi Bapak. Berkas masa lalu Bapak di perusahaan sedang dibuka kembali. – M”
Aris tahu itu dari Maya. Ancaman itu nyata. Baskoro mungkin akan mencoba menghancurkan reputasinya agar rencana Rumah Senja dianggap sebagai proyek dari seorang arsitek yang "bermasalah".
Aris menarik napas panjang, lalu kembali fokus pada maketnya. Di waktu senja hidupnya, ia belajar bahwa satu-satunya cara untuk mengalahkan kegelapan adalah dengan terus menciptakan cahaya, sekecil apa pun itu. Ia tidak akan berhenti, meski masa lalunya mulai mengejar seperti bayangan yang memanjang di sore hari.