"Di bawah lampu panggung, mereka adalah bintang. Di bawah cahaya bulan, mereka adalah pemburu."
Seoul, 2025. Industri K-Pop telah berubah menjadi lebih dari sekadar hiburan. Di balik gemerlap konser megah yang memenuhi stadion, sebuah dimensi kegelapan bernama The Void mulai merayap keluar, mengincar energi dari jutaan mimpi manusia.
Wonyoung (IVE), yang dikenal dunia sebagai Nation’s It-Girl, menyimpan beban berat di pundaknya. Sebagai pewaris klan Star Enchanter, setiap senyum dan gerakannya di atas panggung adalah segel sihir untuk melindungi penggemarnya. Namun, kekuatan cahayanya mulai tidak stabil sejak ancaman The Void menguat.
Di sisi lain, Sunghoon (ENHYPEN), sang Ice Prince yang dingin dan perfeksionis, bergerak dalam senyap sebagai Shadow Vanguard. Bersama timnya, ia membasmi monster dari balik bayangan panggung, memastikan tidak ada satu pun nyawa yang hilang saat musik berkumandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6 : Midnight Patrol
Seoul di atas pukul dua pagi adalah sebuah kanvas yang dilukis dengan cahaya neon yang mulai meredup dan kesunyian yang mencekam. Di distrik Gangnam, gedung-gedung pencakar langit berdiri seperti nisan kaca yang raksasa. Bagi manusia, ini adalah waktu untuk bermimpi, tetapi bagi makhluk abadi seperti Wonyoung, ini adalah waktu di mana dunia yang sebenarnya terbangun.
Wonyoung berdiri di puncak sebuah papan reklame digital setinggi tiga puluh lantai. Angin malam yang kencang menyapu tudung hitam yang menutupi rambutnya. Ia tidak lagi mengenakan pakaian mewah atau riasan glowy yang biasa dilihat fans. Kali ini, ia mengenakan setelan taktis hitam yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, dirancang khusus dari serat perak yang bisa menahan serangan energi gelap.
Indra pendengarannya yang tajam menangkap suara detak jantung kota yang tidak beraturan. Namun, bukan itu yang ia cari. Ia sedang menunggu tanda.
Srett.
Sebuah bayangan meluncur dari puncak gedung di seberang, bergerak sangat cepat hingga nyaris terlihat seperti garis biru pucat di udara. Sosok itu mendarat di atas papan reklame yang sama, hanya berjarak beberapa meter dari Wonyoung.
"Kau terlambat dua menit, Sunghoon-ssi," ucap Wonyoung tanpa menoleh.
Sunghoon melepaskan masker kain hitamnya, memperlihatkan wajahnya yang tampak semakin pucat di bawah sinar rembulan yang pucat. "Aku harus memastikan tidak ada kamera sasaeng yang mengikuti bus grupku saat kembali ke asrama. Fans kami sedang sangat sensitif belakangan ini."
Wonyoung mendengus pelan. "Itu risiko menjadi Ice Prince. Jadi, apa yang kau temukan di sektor utara?"
Sunghoon berjalan ke tepi papan reklame, menatap ke arah Sungai Han yang membelah kota. "Pola serangan mereka berubah. The Void tidak lagi muncul secara acak. Mereka berkumpul di titik-titik di mana frekuensi musik dari agensi kita paling kuat terdengar. Seolah-olah musik itu adalah mercusuar bagi mereka."
"Lagu comeback kita," bisik Wonyoung. Tangannya terkepal. "Produser itu benar-benar menggunakan kita sebagai umpan."
"Maka dari itu kita melakukan ini," ucap Sunghoon. Ia mengeluarkan sebuah alat kecil berbentuk cakram yang berputar. "Ini adalah pelacak frekuensi dari pecahan Vinyl ketiga yang kita temukan di hutan. Benda ini mendeteksi aktivitas tinggi di bawah Jembatan Banpo."
Tanpa kata lagi, Sunghoon melompat dari ketinggian tiga puluh lantai. Wonyoung menyusul, tubuhnya meluncur anggun di udara sebelum ia memanggil sepasang sayap cahaya tipis yang membantunya mendarat dengan senyap di aspal jalanan yang sepi.
Jembatan Banpo yang biasanya indah dengan air mancur pelangi, kini terasa seperti gerbang menuju neraka. Kabut hitam yang tebal menyelimuti permukaan air sungai Han. Di bawah pilar-pilar jembatan yang kokoh, air sungai itu tampak mendidih, namun tidak ada panas yang keluar. Yang ada hanyalah rasa dingin yang sanggup membekukan tulang.
"Hati-hati," peringat Sunghoon. Ia menarik Frost Rapier-nya. Bilah pedang itu berpendar biru neon, memotong kabut di depan mereka. "Ini adalah wilayah Deep Void. Monster di sini tidak suka cahaya."
"Itu artinya mereka akan sangat membenciku," balas Wonyoung. Ia menarik busur cahayanya.
Tiba-tiba, dari permukaan air yang gelap, muncul lusinan makhluk kecil yang menyerupai anak-anak tanpa wajah dengan kulit yang mengilat seperti minyak. The Silent Drowners. Mereka tidak mengeluarkan suara, namun kehadiran mereka membawa depresi yang berat, mencoba menarik pikiran setiap Hunter ke dalam kegelapan yang paling dalam.
"Jangan dengarkan bisikan mereka di kepalamu, Wonyoung!" teriak Sunghoon saat salah satu monster mencoba melompat ke bahu Wonyoung.
Sunghoon menebas monster itu dengan gerakan memutar, menciptakan badai salju kecil yang membekukan monster-monster di sekitar mereka. Namun, jumlah mereka seolah tidak terbatas. Setiap kali satu monster hancur, dua lagi muncul dari dasar sungai.
"Mereka mengincar energi cahayaku!" Wonyoung menyadari bahwa monster-monster itu sengaja mengabaikan Sunghoon dan mengerumuninya. Mereka haus akan cahaya murni yang terpancar dari tubuhnya.
"Gunakan teknik Nova Star! Aku akan melindungimu!" perintah Sunghoon.
"Tapi itu akan menghabiskan seluruh energiku untuk malam ini! Aku ada pemotretan jam tujuh pagi nanti!" protes Wonyoung sambil menendang salah satu monster yang mencoba mencengkeram kakinya.
"Kau ingin mati di sini atau terlihat sedikit lelah di depan kamera?" Sunghoon menusuk tiga monster sekaligus dengan kecepatan yang mustahil diikuti mata. "Lakukan sekarang!"
Wonyoung menggeram kesal, namun ia mulai mengumpulkan energi. Ia menutup matanya, memanggil sisa-sisa memori dari abad ke-18, saat di mana ia menjadi cahaya harapan bagi penduduk desa yang ketakutan. Perlahan, tubuhnya mulai terangkat dari tanah. Cahaya merah muda keemasan yang sangat terang terpancar dari dadanya, menembus kabut hitam Sungai Han.
"Star Nova : Purification!"
Ledakan cahaya yang sangat murni menyapu seluruh area bawah jembatan. Monster-monster itu menjerit tanpa suara saat tubuh mereka menguap menjadi abu putih. Kabut hitam yang pekat itu seketika sirna, menyisakan air sungai yang kini kembali tenang.
Wonyoung jatuh terduduk, napasnya tersengal-sengal. Kulitnya kini tampak hampir transparan, tanda bahwa cadangan energinya sudah berada di titik kritis.
Sunghoon segera menghampirinya. Bukannya memberikan bantuan kata-kata, ia justru menarik tangan Wonyoung dan menggenggamnya erat.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Wonyoung lemah.
"Memberimu energi. Jangan banyak bicara," jawab Sunghoon.
Wonyoung merasakan aliran energi dingin yang menenangkan mengalir dari telapak tangan Sunghoon ke dalam nadinya. Es itu tidak membekukannya, justru bertindak seperti baterai yang mengisi ulang sel-selnya yang kosong. Ini adalah sisi lain dari kekuatan Sunghoon yang baru ia ketahui—ia bisa memberikan kehidupan sekaligus kematian.
Dalam keheningan di bawah jembatan itu, mereka terdiam cukup lama. Hanya ada suara riak air sungai yang tenang.
"Kenapa kau membantuku, Sunghoon?" bisik Wonyoung. "Kau selalu bilang perasaan adalah kelemahan. Tapi kau terus-menerus melindungiku."
Sunghoon menatap ke arah sungai, wajahnya tampak kaku. "Karena jika kau mati, aku harus memburu monster-monster itu sendirian. Itu sangat membosankan."
Wonyoung tersenyum tipis, sebuah senyuman tulus yang jarang ia perlihatkan. "Kau adalah pembohong terburuk yang pernah kutemui dalam tiga ratus tahun terakhir."
Sunghoon melepaskan tangan Wonyoung setelah merasa energinya cukup stabil. "Ayo. Kita belum selesai. Lihat itu."
Di tempat di mana monster-monster itu tadi berkumpul, terdapat sebuah objek yang tersangkut di antara celah pilar jembatan. Sebuah peti kecil dari logam yang berkarat. Sunghoon membukanya dengan satu tebasan pedang.
Di dalamnya, terdapat pecahan keempat dari The Genesis Vinyl.
Pecahan ini berbeda. Ia tidak hanya bergetar, tapi mengeluarkan suara gumaman pelan—sebuah pesan yang direkam. Wonyoung mendekatkan telinganya ke piringan itu.
"...Jangan percaya pada melodi yang mereka berikan. Piringan ini bukan sekadar senjata, ia adalah kunci memori yang dihapus. Ingatlah malam di bulan merah, saat salju tidak terasa dingin..."
Suara itu terputus. Wonyoung dan Sunghoon saling pandang.
"Malam di bulan merah?" gumam Sunghoon. "Itu adalah malam saat kita melakukan sumpah darah. Tapi aku... aku tidak ingat detailnya setelah segel itu tertutup."
"Aku juga tidak," aku Wonyoung. "Seolah-olah ada bagian dari memori kita yang sengaja dicuri oleh piringan ini saat kita menyegel portal dulu."
"Artinya, semakin banyak pecahan yang kita kumpulkan, semakin banyak ingatan kita yang kembali," simpul Sunghoon. "Dan produser itu... dia takut jika kita ingat siapa kita sebenarnya."
Tiba-tiba, sebuah lampu sorot dari kejauhan menyapu ke arah mereka. Itu adalah kapal patroli sungai Han yang sedang berkeliling.
"Kita harus pergi. Sekarang," ucap Sunghoon.
Pukul lima pagi. Wonyoung baru saja sampai di depan gerbang belakang asramanya. Ia tampak sangat lelah, namun matanya tetap waspada. Sebelum ia masuk, ia melihat Sunghoon masih berdiri di seberang jalan, memastikan Wonyoung masuk dengan aman.
Sunghoon memberikan isyarat tangan—dua jari di depan keningnya—sebuah penghormatan Hunter kuno yang disamarkan seperti gerakan idola yang sedang menyapa fans.
Wonyoung membalasnya dengan senyum kecil sebelum menghilang di balik pintu.
Dua jam kemudian, Wonyoung sudah duduk di kursi rias. Penata riasnya tampak bingung. "Wonyoung-ah, kenapa hari ini matamu sangat merah? Dan kulitmu... kenapa pucat sekali? Kau kurang tidur ya?"
Wonyoung menatap pantulan dirinya di cermin. Ia bisa merasakan energi Sunghoon masih tersisa sedikit di nadinya, memberinya kekuatan untuk bertahan di depan kamera.
"Aku hanya terlalu bersemangat memikirkan konsep pemotretan hari ini, Eonni," jawab Wonyoung dengan nada ceria yang sempurna.
Di sisi lain kota, Sunghoon sedang berada di tengah latihan dance yang melelahkan. Ia melakukan gerakan power slide yang sangat rendah, membuat member ENHYPEN lainnya bersorak. Namun, saat ia berdiri kembali, ia menyentuh bahunya yang tadi sempat terkena cakaran monster.
Ia mengeluarkan ponselnya dan melihat jadwal grup mereka. Minggu depan, IVE dan ENHYPEN akan berbagi panggung di acara musik akhir tahun.
“Midnight Patrol selesai,” batin Sunghoon. “Sekarang saatnya bermain peran lagi.”
Namun, di dalam laci rahasianya, empat pecahan Vinyl kini tersusun rapi. Dan setiap kali ia menyentuhnya, ia teringat suara Wonyoung di bawah jembatan tadi. Sebuah ingatan mulai muncul di kepalanya—bukan ingatan tentang perang, tapi ingatan tentang seorang gadis yang tertawa di tengah badai salju Joseon.
"Wonyoung..." bisik Sunghoon pelan, sebuah nama yang kini terasa jauh lebih bermakna daripada sekadar nama rekan Hunter.
Malam itu, Seoul tetap bercahaya, tanpa tahu bahwa di balik kedamaiannya, dua orang idola baru saja mempertaruhkan keabadian mereka demi fajar yang akan datang.