NovelToon NovelToon
MUTIARA SETELAH LUKA

MUTIARA SETELAH LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah Karena Anak / Keluarga / CEO / Penyesalan Suami / Ibu Pengganti
Popularitas:569
Nilai: 5
Nama Author: zanita nuraini

“Mutiara Setelah Luka”

Kenzo hidup dalam penyesalan paling gelap setelah kehilangan Amara—istrinya yang selama ini ia abaikan. Amara menghembuskan napas terakhir usai melahirkan putra mereka, Zavian, menyisakan luka yang menghantam kehidupan Kenzo tanpa ampun. Dalam ketidakstabilan emosi, Kenzo mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh dan kehilangan harapan untuk hidup.

Hidupnya berubah ketika Mutiara datang sebagai pengasuh Zavian anak nya. Gadis sederhana itu hadir membawa ketulusan dan cahaya yang perlahan meruntuhkan tembok dingin Kenzo. Dengan kesabaran, perhatian, dan kata-kata hangatnya, Mutiara menjadi satu-satunya alasan Kenzo mencoba bangkit dari lembah penyesalan.

Namun, mampukah hati yang dipenuhi luka dan rasa bersalah sedalam itu kembali percaya pada kehidupan?
Dan sanggupkah Mutiara menjadi cahaya baru yang menyembuhkan Kenzo—atau justru ikut tenggelam dalam luka masa lalunya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6 PERHATIAN KENZO

Sejak percakapan di ruang kerja dokter dua hari lalu, pikiran Kenzo tidak pernah benar-benar tenang.

Setiap kali melihat Amara, setiap kali melihat istrinya berjalan pelan sambil menahan napas karena mual atau pusing, dada Kenzo seperti ditekan—bukan karena benci, bukan karena terpaksa menikah, tapi karena rasa bersalah yang sulit dijelaskan.

Amara tidak tahu bahwa rahasianya sudah terbongkar. Ia masih berusaha tersenyum seakan semuanya baik-baik saja.

Kenzo sering memperhatikan dari jauh. Amara selalu menyiapkan sarapan meski wajahnya pucat.

Ia masih menyiapkan kopi untuk Kenzo meski tangannya gemetar. Bahkan ketika mual, Amara tetap memaksa dirinya berjalan ke dapur. Kenzo memperhatikan semua itu tanpa Amara sadari.

Hari itu, saat Kenzo turun ke ruang makan, ia melihat Amara sedang berdiri di dapur sambil memegang meja.

Wajahnya terlihat pias, keringat dingin muncul di dahinya. Kenzo segera menghampiri meski langkahnya tertahan sejenak, takut Amara sadar bahwa dirinya memperhatikan.

"Kamu kenapa?" tanya Kenzo akhirnya.

Amara kaget, cepat-cepat berdiri tegak. "Tidak apa-apa. Cuma agak mual sedikit."

"Sudah sarapan?"

"Belum, saya tadi—"

"Lain kali jangan paksa diri," kata Kenzo, nada suaranya lebih lembut dari biasanya. "Biar bibi yang siapkan sarapan."

Amara menunduk. "Saya baik-baik saja."

Kenzo ingin mengatakan bahwa ia tahu Amara tidak baik-baik saja, tapi ia menahan diri. Ia tidak boleh gegabah. Ia berjanji pada dokter untuk tetap menjaga kondisi mental Amara, karena stres hanya akan memperburuk penyakitnya.

Beberapa kali Kenzo meminta Amara duduk atau beristirahat. Setiap kali, Amara merasa heran karena perubahan sikap suaminya begitu drastis.

Sebelumnya, disuruh pergi saja tidak pernah, malah sering dimarahi. Kini Kenzo justru menaruh bantal tambahan, menyuruhnya tidur siang, bahkan menunda rapat untuk makan siang di rumah.

Amara tentu senang, tapi juga bingung.

"Mas seandai nya kamu tau aku tidak baik baik saja.. apakah perlakuan mu akan sama seperti saat ini..?.."

Sore itu, Tuan Rendra memanggil Kenzo ke ruang kerja. Wajah Tuan Rendra terlihat tegang. Bu Saras juga ada di sana, duduk sambil menatap anaknya dengan cemas.

"Kenzo," kata Tuan Rendra tanpa basa-basi, "Ayah perhatikan Amara semakin pucat setiap hari. Tubuhnya kurus. Itu bukan tanda ibu hamil pada umumnya."

Kenzo diam. Ia sudah menduga pertanyaan itu akan muncul cepat atau lambat.

"Kamu menyembunyikan sesuatu?" tanya Tuan Rendra, menatap Kenzo dengan sorot yang sulit ditolak.

Kenzo menarik napas dalam-dalam. Ia tahu tidak bisa terus diam, tidak di depan kedua orang tuanya yang sejak awal benar-benar menyayangi Amara.

"Ada yang harus Ayah dan Ibu tahu," ucap Kenzo akhirnya.

Bu Saras memegang tangan suaminya, bersiap mendengar hal terburuk.

"Amara… tidak hanya hamil," ucap Kenzo pelan. "Dia juga sakit."

Tuan Rendra mencondongkan badan. "Sakit apa?"

"Kanker," jawab Kenzo lirih. "Stadium akhir."

Ruangan langsung sunyi. Bu Saras menutup mulutnya, hampir menjerit. Tuan Rendra tidak bergerak, seperti tubuhnya membeku.

"Apa maksudmu… stadium akhir?" tanya ayahnya dengan suara serak.

"Ya… dokter sudah memeriksa. Kondisinya parah. Dan dia tetap memilih mempertahankan kehamilan ini," jelas Kenzo. "Meskipun dokternya sudah menjelaskan risikonya."

Bu Saras mulai menangis. "Kenapa bisa sampai begini? Kenapa dia tidak cerita?"

"Dia takut membuat kita khawatir," jawab Kenzo. "Dia juga meminta dokter merahasiakannya."

"Dan kamu baru tahu sekarang?" tanya Tuan Rendra.

Kenzo menggeleng pelan. "Sudah beberapa hari, hanya saja baru bisa menghadap Ayah hari ini."

Tuan Rendra mengusap wajahnya, emosinya bercampur antara marah dan sedih. "Kalau tahu begitu, kenapa dia tidak menghentikan kehamilan itu?...

Sembuhkan dulu dirinya, baru nanti bisa hamil lagi."

Kenzo menggigit bibirnya. Ini bagian yang paling memalukan dan menyakitkan untuk diucapkan.

"Kehamilan itu… terjadi karena saya… menyentuhnya dalam keadaan marah… dan mabuk," ucap Kenzo dengan suara berat. "Aku kehilangan kendali."

Tuan Rendra berdiri dari kursinya, wajahnya memerah. "Kenzo! Kamu—"

Bu Saras memegang lengan suaminya, mencegahnya meluapkan amarah berlebihan. Tapi mata keduanya sama-sama penuh kekecewaan.

"Makanya Ayah selalu bilang, perempuan seperti Adele bukan pilihan yang benar!" bentak Tuan Rendra. "Kalau kamu tidak keras kepala, kamu tidak akan dipermainkan sampai seperti itu!"

Kenzo menunduk. "Aku menyesal Ayah,aku tau aku salah. Sangat salah."

"Amara menikah denganmu dengan hati yang bersih. Dia menjalankan perannya sebagai istri meskipun kamu memperlakukannya dengan dingin.

Dan sekarang dia mengandung anakmu sambil membawa penyakit yang hampir merenggut nyawanya." Tuan Rendra menatap tajam. "Kamu harus bertanggung jawab."

Kenzo mengangguk. "Aku akan berubah."

"Lalu apa rencanamu?" tanya Bu Saras pelan.

"Aku ingin menjaga Amara sebaik mungkin. Aku ingin dia bahagia, tidak stres. Aku ingin dia merasa disayangi, meskipun dia belum tahu tentang penyakitnya."

"Ayah dan Ibu akan membantu," ujar Bu Saras sambil menghapus air mata. "Kita semua harus menjaga dia."

Kenzo merasa sedikit lega, meski beban itu masih berat.

Namun belum sempat mereka melanjutkan pembicaraan, pintu ruang kerja diketuk keras. Bibi rumah berdiri di ambang pintu dengan wajah panik.

"Tu… Tuan… Nyonya…" suaranya bergetar. "Nona Amara… pingsan… di dapur…"

Kenzo langsung berdiri.

"Apa?!" serunya.

Bibi mengangguk sambil menangis kecil. "Tadi dia mau ambil minum… tiba-tiba jatuh… tidak sadarkan diri…"

Kenzo langsung berlari keluar ruangan tanpa berpikir panjang, melewati lorong rumah dengan napas terengah. Detak jantungnya berdebar keras. Tuan Rendra dan Bu Saras ikut menyusul di belakangnya.

Sesampainya di dapur, Kenzo melihat Amara terbaring di lantai, wajahnya pucat sekali, napasnya pendek. Tangannya dingin. Ada bercak darah kecil di tisu dekat wastafel—mimisan lagi.

Kenzo menahan napas, lututnya melemas. Tanpa sadar ia memegang pipi Amara dengan kedua tangannya.

"Amara! Dengar aku!" serunya panik.

Tapi Amara tidak merespons.

"Kenzo, angkat dia ke mobil! Kita bawa ke rumah sakit sekarang!" ujar Tuan Rendra.

Kenzo segera menggendong Amara, memeluknya erat-erat sambil berusaha tetap tenang meskipun seluruh tubuhnya gemetar.

Saat ia berlari menuju mobil, Amara masih tak membuka mata.

Kenzo tidak tahu apakah ia sudah terlambat…

Atau masih ada harapan

— bersambung —

Haii readers selamat siang selamat membaca...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!