Lin Feng, "Tuan Muda Teoris" dari Klan Lin, adalah bahan tertawaan di Akademi Awan Hijau. Dia jenius strategi, tapi bakat bela dirinya nol besar.
Segalanya berubah drastis saat arwah kakek-kakek telanjang mesum merasuki mata kirinya, memberinya kekuatan cheat [Mata Penjiplak] yang bisa meniru dan menyempurnakan jurus apa pun seketika.
Berbekal otak licik, mata copy-paste super, dan panduan kakek mesum di kepalanya, Lin Feng kini siap mengacak-acak dunia Jianghu. Ini adalah kisah di mana dia mempermalukan para jenius, men- trol/ musuh-musuhnya, dan mengejar tujuan utamanya membangun harem terbesar dalam sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ex, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Hukuman yang tidak adil
CLATTER.
Pedang kayu itu terlepas dari genggaman Lin Feng yang gemetaran hebat. Benda itu jatuh ke tanah berdebu, menciptakan satu-satunya suara di lapangan yang hening mencekam.
Jatuhnya pedang itu seolah memecahkan mantra.
"A-Apa..."
"Aku... aku tidak salah lihat, kan?"
"Itu curang! Pasti curang!"
"Curang bagaimana, dasar bodoh?! Tusukannya jelek sekali! Tapi... tapi Zhang Yao..."
"CUKUP!"
Raungan Instruktur Wang akhirnya meledak, membelah kebingungan para murid. Wajahnya yang biasanya merah karena marah, kini pucat pasi karena kaget.
Dia bergegas maju. Anehnya, dia tidak langsung menghampiri Lin Feng. Dia melewati si Vas Bunga... memberinya satu tatapan aneh yang campur aduk antara bingung, curiga, dan ngeri... lalu berlutut di samping Zhang Yao.
Instruktur Wang meraih pergelangan tangan si jenius yang terkulai. Matanya membelalak.
"Hancur," gumamnya, suaranya terdengar ngeri. "Tulangnya hancur berantakan."
Dia mendongak, matanya berkilat panik.
"KALIAN BERDUA! APA YANG KALIAN TUNGGU?! Bawa Zhang Yao ke Paviliun Medis! SEKARANG! KATAKAN PADA TETUA SHEN INI DARURAT!"
Dua kroni Zhang Yao yang tadinya membeku, akhirnya tersadar. Mereka buru-buru memapah bos mereka yang masih merintih kesakitan.
Saat digotong, mata Zhang Yao yang basah oleh air mata dan keringat menatap Lin Feng dengan kebencian murni.
"Lin Feng..." desisnya, suaranya serak karena sakit. "Kau... kau akan membayar ini... Aku bersumpah... KAU AKAN MEMBAYAR INI! AARGH!"
Dia menjerit kesakitan lagi saat mereka mengangkatnya.
Para murid lain buru-buru memberi jalan, menatap pemandangan itu dengan ngeri.
Lin Feng hanya menguap. Dia mengibaskan tangannya yang gemetaran dan pegal.
"Repot sekali," gumamnya pelan, sambil menatap jubahnya yang robek dengan sedih. "Jubahku yang mahal huhuhu..."
Setelah Zhang Yao dan jeritannya menghilang di tikungan jalan menuju Paviliun Medis, lapangan latihan kembali hening.
Tapi ini bukan keheningan biasa. Ini adalah keheningan yang tebal, canggung, dan penuh tanda tanya.
Ratusan pasang mata kini tertuju pada satu orang.
Lin Feng.
Dia, sang Tuan Muda Teoris, hanya berdiri di sana, masih menatap lengan jubahnya yang robek dengan ekspresi sedih yang tulus.
"Sialan," gumamnya. "Repot. Ini harus dijahit oleh Penjahit Wang. Dia satu-satunya yang mengerti cara kerja benang sutra es."
"LIN FENG!"
Instruktur Wang berjalan mendekat. Langkahnya berat. Wajahnya adalah topeng kebingungan dan kecurigaan yang campur aduk.
"Ya, Instruktur?" Lin Feng mendongak, memasang senyum menawan andalannya. "Sudah selesai? Aku boleh kembali tidur sekarang?"
Mata Instruktur Wang berkedut hebat.
"Tidur?" ulangnya, suaranya rendah dan berbahaya. "KAU PIKIR INI SEBUAH LELUCON?!"
"Aku sudah mengajar di sini selama dua puluh tahun," kata Instruktur Wang, dia mengitari Lin Feng, mengamatinya seperti elang mengamati mangsa yang aneh.
"Aku sudah melihat ribuan murid. Aku tahu mana yang jenius, mana pekerja keras, dan mana yang sampah."
Dia berhenti tepat di depan Lin Feng, menatapnya tajam.
"Dan kau, Lin Feng. Kau itu sampah. Sampah paling malas, paling arogan, paling tidak berguna yang pernah kulihat."
"Wow," kata Lin Feng. "Terima kasih, Instruktur. Pujian Anda membuat hatiku terasa hangat."
"Hahaha! Dia menyebutmu sampah! Kakek suka kakek botak ini!"
"DIAM!" bentak Instruktur Wang. "Tapi apa yang kulihat barusan... itu bukan gerakan seorang sampah."
Dia mencondongkan tubuhnya ke depan.
"Jelaskan," tuntutnya.
"Jelaskan apa?"
"Tusukan itu!" bentak Wang. "Itu... itu adalah 'Jurus Pedang Embun Pagi'. Itu jurus yang sedang dilatih Nona Xiao Ning'er di sana, bukan?!"
Semua mata langsung beralih ke Xiao Ning'er, yang tersentak kaget karena namanya disebut. Wajahnya yang dingin memerah.
"Sial," batin Lin Feng. "Kakek botak ini ternyata jeli juga."
"Hooo! Bilang saja yang sebenarnya!" bisik si Kakek. "Bilang padanya kau menjiplaknya, lalu kau akan menjiplak pakaian dalam si nona dingin itu!"
"Itu tidak membantu!"
Lin Feng menatap Instruktur Wang. Lalu dia menoleh ke arah Xiao Ning'er di kejauhan.
Dia menatap lurus ke mata si Bunga Es itu.
Dan... dia mengedipkan sebelah matanya. Sebuah kedipan lambat, genit, dan sangat kurang ajar.
"KAU...!" Wajah Xiao Ning'er berubah dari merah menjadi ungu. Dia merasa sangat terhina.
Lin Feng kembali menatap Instruktur Wang, memasang wajah paling polos dan paling tampan.
"Instruktur, Anda terlalu berlebihan dalam menilaiku. 'Meniru' jurus? Mana mungkin sampah sepertiku bisa melakukan itu?"
Dia mengangkat bahu dengan malas.
"Itu tadi... murni keberuntungan."
"Keberuntungan?"
Mata Instruktur Wang hampir keluar dari rongganya.
"KEBERUNTUNGAN?!" teriaknya, suaranya naik tiga oktaf. "KAU MENGHINDARI DUA JURUS 'AWAN MENGALIR' DENGAN JATUH DAN MAJU SEPERTI ORANG BODOH, KAU SEBUT ITU KEBERUNTUNGAN?!"
"Ya?" jawab Lin Feng polos.
"DAN KAU MEMATAHKAN TULANG PERGELANGAN TANGAN SEORANG PRAKTISI PUNCAK DI TITIK LEMAH JURUS RAHASIANYA... DAN KAU JUGA MENYEBUT ITU 'KEBERUNTUNGAN'?!"
Lin Feng tersenyum. Senyum paling tulus dan paling menawan yang bisa dia kerahkan.
"Instruktur, Anda lupa? Dewa Keberuntungan selalu berpihak pada orang yang tampan."
"AAAAAAAAARRRGGGHHH!"
Instruktur Wang mencengkeram kepalanya yang botak. Dia merasa pembuluh darah di otaknya akan pecah.
Dia tidak bisa menghadapinya. Kombinasi dari kemampuan absurd, wajah tampan mampus, dan logika idiot ini... terlalu berat untuk kewarasannya. Dia menyerah.
"BAIK!" raungnya. "BAIK! AKU TIDAK PEDULI LAGI!"
Dia berbalik menghadap murid-murid lain yang masih menonton seperti sekumpulan domba yang bingung.
"KALIAN! APA YANG KALIAN LIHAT?! PERTUNJUKAN SUDAH SELESAI! KEMBALI KE POSISI KUDA-KUDA! LIMA RATUS KALI SEKARANG! BERGERAAAK!"
Erangan kolektif terdengar, tapi para murid segera bubar dan kembali berlatih. Tak ada yang berani membantah.
Instruktur Wang kembali menatap Lin Feng. Wajahnya merah padam.
"Dan kau, Lin Feng," desisnya. "Karena... karena... memulai pertarungan ilegal di lapangan latihanku!"
"Teknisnya," potong Lin Feng, "Dia yang menantangku terlebih dahulu. Aku korban disini. Lihat jubahku yang robek."
"MAU DUA MINGGU?!"
"Maaf, Instruktur?"
"Hukumanmu!" bentak Wang. "Kau... bersihkan seluruh toilet di asrama sayap utara! SELAMA SEMINGGU!"
Alis Lin Feng terangkat.
"Toilet? Instruktur, itu pekerjaan... Orang rendahan. Tidak cocok untuk wajahku."
"SATU BULAN?!"
"SATU MINGGU! SATU MINGGU SAJA!" Lin Feng buru-buru setuju. "Siap, laksanakan! Terima kasih atas kebaikan Anda, Instruktur!"
"PERGI DARI HADAPANKU! SEKARANG!"
"Tentu."
Lin Feng membungkuk hormat, masih dengan senyum menawan.
Dia berbalik dan berjalan santai meninggalkan lapangan, meninggalkan kekacauan di belakangnya. Para murid lain membelah jalan untuknya, menatapnya dengan campuran rasa takut, kagum, dan bingung.
Dia berjalan melewati tempat Xiao Ning'er berlatih. Si Bunga Es itu menatapnya dengan tajam, seolah ingin mengebor lubang di kepalanya.
Lin Feng tidak berhenti. Dia hanya berjalan melewatinya. Tapi saat dia tepat di sampingnya, dia berbisik pelan, hanya cukup untuk didengar oleh mereka berdua...
"Jurus pedangmu... sampah."
Xiao Ning'er membeku.
"Pinggulmu terlalu kaku di gerakan ketiga," lanjut Lin Feng, masih berjalan santai. "Kau harus lebih... luwes."
Dia menggoyangkan pinggulnya sedikit dengan gerakan yang sangat genit dan sugestif, sebelum melanjutkan langkahnya.
Xiao Ning'er memproses hinaan dan gerakan itu.
Wajahnya yang seputih porselen berubah menjadi merah padam.
"K..."
"K..."
"K... KAUUUUUU.... SIALAAAAANNN DDDAAASSAAAR MESUUUUMMMMMMM!"
Teriakan marahnya menggema di seluruh lapangan.
Lin Feng hanya melambaikan tangan ke belakang tanpa menoleh, jubahnya yang robek berkibar-kibar.
"HAHAHAHAHA!" tawa si Kakek menggema di kepalanya. "MANTAP, NAK! MENGGODA SI DADA TERSEMBUNYI! ITU BARU PEMANASAN! SEKARANG... MENUJU TOILET! KAKEK PENASARAN, APAKAH TOILET WANITA JUGA IKUT DIHITUNG?!"
Lin Feng menghela napas panjang.
"Hidupku," batinnya, "Benar-benar sudah jadi sebuah komedi absurd."
tapi overall, ini cukup bagus👍
untuk kalimat 'haaaah' ini seperti menghela napas kan? harusnya Hoamm, mungkin?🤭
maaf kak sok tau, tapi aku lebih nyaman begitu🙏