••GARIS TAKDIR RAYA••
Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.
Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.
Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6: Tidak di anggap
Raya menghentikan sebuah bus yang akan membawanya pulang ke rumah. Matanya menerawang ke luar jendela, namun pikirannya melayang jauh. Tiba-tiba, dia teringat bahwa hari ini dia harus membantu ayahnya di kebun. Seperti biasa, pekerjaan yang harus diselesaikan di rumah akan selalu menunggu.
"Untuk apa orang jahat itu memberikan barang seperti itu padaku?" ujarnya dalam hati, berusaha memahami maksud dari pemberian Arka yang sangat tidak diinginkannya. "Apakah dia akan mempersulit ku lagi dengan barang itu?" pikirnya lagi, rasa curiga menguasai dirinya. Di matanya, semua tindakan Arka kini tampak seperti rencana untuk menjebaknya lebih dalam.
Drtttttt... Drtttttttt... drtttttttt...
Ponsel Raya yang tergeletak di dalam tasnya bergetar dengan suara dering yang cukup mengganggu. Raya mengeluarkannya dan melihat siapa yang menelepon. Ketika matanya tertuju pada nomor yang tidak dikenal, dia langsung mengernyitkan keningnya, tanda ketidakpastian.
"Siapa ini?" batinnya, merasa ragu untuk menjawab.
Terlarut dalam kebingungannya, dering ponsel itu berhenti dengan sendirinya. Raya menyangka itu hanya panggilan dari orang iseng, jadi dia berniat melupakan begitu saja. Namun, belum sempat dia menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas, dering itu terdengar lagi—nomor yang sama. Kali ini, Raya merasa risih dan semakin yakin bahwa itu hanya gangguan belaka.
Dengan cepat, Raya menolak panggilan itu tanpa ragu, langsung mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas.
"Ah, biarlah," gumamnya, berusaha menenangkan hati. Namun, rasa cemas masih menggelayuti dirinya. Siapa pun yang menelepon, sepertinya bukan sesuatu yang baik.
"Baru pulang kuliah, mbak?" tanya seorang ibu yang duduk di samping Raya, tiba-tiba saja menyapa dengan suara lembut. Raya menoleh ke arah ibu itu dengan senyuman tipis yang mengembang di bibirnya. Dia merasa sedikit canggung, tapi tetap ramah. Pemandangan kota yang sibuk di luar jendela bus menambah suasana hening di antara mereka.
"Iya, Bu..." jawabnya singkat, seakan sudah tahu bahwa ibu itu pasti melihat tas dan buku yang masih ia bawa, bukti bahwa dia baru saja menyelesaikan kuliah.
"Mbak kuliah di mana?" tanya sang ibu lagi, tampak penasaran.
"Saya kuliah di Universitas XXVI, Bu," jawab Raya tanpa ragu, dengan nada suara yang tegas meskipun ada sedikit rasa malu dalam dirinya karena sejujurnya dia merasa tidak terlalu cocok di lingkungan kampus tersebut.
"Ah, itu kan universitas elite di Jakarta, mbak. Bisa-bisanya orang secantik dan sekaya mbak naik bis umum seperti ini?" ujar ibu itu sambil tertawa pelan, matanya berbinar penuh rasa kagum. Raya hanya menggelengkan kepala sambil tertawa kecil, mencoba menanggapi dengan rendah hati.
"Saya masuk sana karena beasiswa, Bu. Saya hanya orang biasa yang beruntung bisa diterima di sana," jawab Raya, tidak ingin memberi kesan berlebihan tentang dirinya. Sejujurnya, meskipun dia masuk universitas tersebut berkat beasiswa, kadang dia merasa tidak pantas berada di sana, apalagi dengan latar belakangnya yang jauh dari kata kaya.
"Masya Allah... berarti kamu benar-benar pintar, mbak. Bisa diterima di universitas sebesar itu. Semoga segala keinginanmu tercapai. Ibu doakan yang terbaik untukmu, ya," ujar ibu itu, dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Raya merasa sedikit canggung mendengar doa yang tulus itu, namun dia tidak bisa menahan diri untuk merasa tersentuh.
"Terima kasih, Bu. Semoga saya bisa segera lulus dan menemukan pekerjaan yang baik," jawab Raya, mencoba menyisipkan sedikit harapan tentang masa depannya.
"Ah, lulus, ya? Berarti sebentar lagi kamu selesai kuliah, ya? Wah, pasti banyak yang menunggu kamu, Mbak. Saya yakin kamu akan sukses," tanya ibu itu, terkejut mendengar bahwa Raya hampir lulus.
"Semoga saja, Bu. Saya memang sudah mendekati masa akhir kuliah. Sudah menyelesaikan hampir semua tugas besar dan tinggal sedikit lagi, tapi, saya juga masih bingung harus kerja di bidang apa nanti. Banyak pilihan, Bu." ujar Raya, sedikit merasa cemas meskipun terlihat santai.
"Mbak, jangan terlalu khawatir. Semua orang juga pernah merasa bingung di masa-masa seperti itu. Yang penting, jalani dulu apa yang kamu suka. Lalu, rejeki akan datang dengan sendirinya." Ibu itu tersenyum lembut, seperti bisa membaca kekhawatiran yang ada di hati Raya.
"Terima kasih, Bu. Itu sangat membantu."Raya mengangguk pelan, menyadari bahwa kata-kata ibu itu sangat bijaksana.
"Masya Allah, semoga kamu diberi kemudahan dan kelancaran, ya. Jangan lupa selalu berdoa," ujar ibu itu dengan suara penuh emosi, dan tiba-tiba air mata mulai mengalir di pipinya. Raya yang melihat itu merasa sangat bingung dan canggung, tidak tahu harus berbuat apa.
"Ibu... Maaf, kenapa tiba-tiba menangis? Apakah ada ucapan saya yang menyakiti hati ibu?" tanya Raya dengan khawatir. Dia merasa cemas, tidak tahu apa yang salah.
"Tidak, Mbak, bukan karena ucapanmu," jawabnya pelan "Saya hanya merasa terharu saja, melihat seseorang seperti kamu, yang meskipun pintar dan berhasil, tetap rendah hati," Sang ibu menggelengkan kepala dengan cepat, seakan ingin menepis keraguan yang timbul. Raya hanya terdiam mendengarnya. Dia merasa aneh, tetapi juga tersentuh dengan perhatian yang diberikan oleh ibu tersebut.
"Kenapa wajahmu itu memar-memar begitu?" tanya ibu itu lagi, dengan tangan yang tanpa sadar terulur menuju sudut bibir Raya yang masih terlihat terluka. Raya merasa sedikit terkejut, tetapi tidak bisa menahan diri untuk tidak meringis ketika tangan ibu itu menyentuh pipinya yang masih terasa perih.
"Maaf... maafkan ibu, Mbak! Ibu hanya merasa sedih saja melihat wajah cantikmu terluka seperti ini. Rasanya... ibu jadi merasa seperti ibu sendiri," ujar ibu itu dengan cepat, wajahnya terlihat sangat menyesal.
"Akh... tidak masalah, Bu. Tadi saya tersandung dan jatuh ke tanah, tidak apa-apa kok," jawabnya dengan senyuman tipis, berusaha meredakan kekhawatiran ibu itu, dia tidak mungkin menceritakan semuanya pada orang asing "Yasudah, Bu, saya sudah sampai di tempat tujuan, saya permisi dulu ya. Terima kasih sudah mendoakan yang terbaik untuk saya, " Raya terdiam beberapa detik, merasa agak tersentuh dengan perhatian tulus dari ibu tersebut.
Ibu itu hanya mengangguk dengan mata yang masih basah karena air mata. Raya merasakan kehangatan dari doa dan perhatian ibu tersebut, meskipun ia hanya orang yang baru dikenalnya sebentar. Sang ibu memberikan jalan pada Raya untuk turun dari bus, dan saat Raya mulai berjalan turun, ibu itu masih menatapnya dengan pandangan yang penuh rasa sayang. Raya bisa mendengar bisikan halus di belakangnya.
"Pasti orang tua kamu bangga sekali, memiliki putri secantik dan sepintar dirimu. Kasihan sekali anak itu, apa mungkin dia dibuli teman-temannya?" ujar ibu itu, dan meskipun Raya tidak bisa melihat ekspresinya, dia bisa merasakan keprihatinan yang tersirat dalam kata-kata itu.
••
Raya berjalan menyusuri jalan sempit yang menuju rumahnya. Jalanan itu penuh dengan kehidupan, bau makanan yang menggoda dari warung kecil di pinggir jalan, suara anak-anak bermain, dan deru kendaraan yang berlalu-lalang. Setiap langkahnya terasa ringan, meskipun luka di wajahnya masih mengingatkan tentang segala hal yang terjadi belakangan ini.
Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Raya sampai di rumah sederhana milik orang tuanya. Rumah yang penuh dengan kenangan masa kecil, rumah yang memberinya lebih banyak luka daripada kenangan indah. Setiap sudutnya menyimpan cerita, tak hanya kebahagiaan, tetapi juga kesedihan yang tak terucap.
"Aku kembali," ujar Raya sambil mendorong pintu kayu rumahnya yang sudah rapuh itu. Suara pintu yang berderit seolah menggema dalam keheningan yang menyambut kedatangannya.
Tidak ada sahutan dari dalam rumah, hanya keheningan yang terasa sangat mencekam. Raya tahu pasti semua orang sedang berada di luar, lebih tepatnya di kebun sayur milik keluarga mereka. Kebun yang luasnya tidak seberapa, namun cukup berharga karena nenek mereka memberikannya untuk diurus oleh ayah Raya.
Raya melangkah pelan menuju kamarnya, yang ternyata masih terlihat rapi seperti biasanya. Tidak ada yang mau masuk ke kamar Raya, jadi tidak ada yang berubah. Kamar yang kecil itu tetap seperti dulu, dengan kasur tipis yang hanya beralaskan tikar. Tidak ada ranjang atau dipan kayu, karena memang ruangannya sangat sempit. Raya merebahkan tubuhnya di atas kasur, merasakan lelah yang luar biasa setelah seharian kuliah dan perjalanan pulang.
"Lelah sekali..." gumamnya sambil menatap langit-langit kamar yang sudah mulai usang. Kerusakan kecil di sudut-sudut ruangan itu seolah mencerminkan betapa usangnya dirinya.
Hening beberapa saat, akhirnya Raya teringat dengan nomor yang menghubunginya tadi di dalam bis. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Raya mengeluarkan ponsel merk S*****G keluaran lama itu. Ponsel yang tampak sangat usang, namun masih bisa dipakai. Ponsel itu sudah jarang digunakan, apalagi jika dibandingkan dengan ponsel-ponsel modern di luar sana.
"Nomor siapa sebenarnya ini?" ujar Raya sembari menyalakan ponselnya. Sebelumnya, dia sengaja mematikan ponselnya agar tidak ada yang mengganggunya lagi. Setelah ponsel itu hidup, layar ponsel langsung dipenuhi dengan begitu banyak pesan SMS yang masuk. Raya membuka kotak pesan itu dan membaca satu per satu dengan perlahan.
"LO BERANI SEKARANG SAMA GUE HAH!!?? BERANI BANGET LO NOLAK PEMBERIAN DAN PANGGILAN TELEPON GUE, LIAT SAJA APA YANG AKAN TERJADI BESOK!" isi dari salah satu pesan SMS tersebut.
"Ya Tuhan.....!!!" teriak Raya, langsung terbangun dari tiduran terlentang nya. Sangking terkejutnya, dia hampir tidak bisa bernapas.
"Apakah ini benar-benar nomor Kak Arka?" ujarnya dengan nada panik. Raya tidak menyangka sama sekali bahwa kakak tingkatnya itu bisa mengetahui nomor pribadinya, padahal tidak ada satupun orang di kampus yang tahu nomor ponselnya.
"Aduh, ya Tuhan, bagaimana ini..." ujar Raya dengan panik, wajahnya tampak semakin gelisah. Ia terdiam beberapa detik, berpikir sejenak. Terbayang jelas dalam pikirannya pesan yang baru saja diterimanya. Ia sempat berniat untuk membalas pesan itu, namun keraguannya menghalangi niat tersebut. Saat itu, suara ibu memanggilnya dari luar dengan keras, memecah keheningan yang mencekam.
"Raya, kau sudah pulang?!" teriak sang ibu dari luar, terdengar jelas dari balik dinding rumah.
"Iya, Bu..." jawab Raya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Dengan langkah pelan, ia berjalan keluar dari kamar dan mendapati beberapa ibu-ibu tetangga yang sedang duduk di kursi usang ruang tamu keluarga mereka.
"Lama sekali kau ini!" ujar Ratna, sang ibu, dengan nada sedikit kecewa. Matanya menatap Raya dengan tajam, seperti biasa.
"Maaf, Bu!" jawab Raya sambil menunduk, berusaha meredakan ketegangan di dalam hatinya. Ia tahu betul bahwa itu pasti para tetangga yang datang hanya untuk sekadar makan bersama dan menggibah, seperti yang selalu terjadi.
"Cepat sajikan makanan ini, juga bawakan minuman untuk ibu-ibu yang lain," ujar Ratna dengan wajah ketus, tak sedikitpun terlihat rasa sayang atau perhatian.
Raya hanya mengangguk pelan, mengambil kantong plastik berisi makanan yang sudah disiapkan sebelumnya. Tanpa banyak bicara, ia berlalu untuk menyiapkan makanan itu di piring. Sudah menjadi rutinitas baginya untuk menyajikan hidangan seperti ini, meskipun hati kecilnya terasa terperangkap dalam situasi yang tak pernah ia inginkan.
Sekitar lima menit kemudian, Raya kembali keluar dengan membawa nampan yang berisi berbagai makanan dan minuman. Ia meletakkan nampan itu di meja dengan rapi, memastikan semuanya tertata dengan baik. Setelah selesai, ia beranjak dan berniat untuk mencari sesuatu untuk dimakan di dapur. Sudah hampir sepanjang hari ia belum makan, dan perutnya mulai merasa lapar.
Namun, baru dua langkah Raya berjalan, salah satu ibu-ibu yang ada di sana tiba-tiba berkata dengan nada agak berlebihan.
"Bu Ratna, itu pembantu mu betah juga ya kerja di sini? Setiap kami datang ke sini, dia juga selalu ramah. Dari mana kamu mendapatkan dia, dan kamu juga hebat bisa memiliki ART di saat kondisi keluarga mu seperti ini?" ujarnya dengan nada bingung.
"Ahhh... Iya, dia anak yatim-piatu," Ratna menjawab dengan santai, seolah tak ada beban sedikitpun. "Aku tak sengaja menemukannya luntang-lantung di jalan raya. Yaudah, aku bawa pulang saja untuk membantu pekerjaan ku. Lumayan, gak perlu aku keluarkan uang banyak. Kami juga sudah menganggapnya sebagai anak kami," tambahnya sambil tersenyum tipis, yang langsung disahuti oleh tawa para ibu-ibu lainnya.
"Ah, sungguh baik hati Bu Ratna ini, bukankah dia juga berkuliah di universitas xxvl itu ya?," komentar salah satu ibu lainnya.
"Iya, dia bisa masuk ke sana karena dapat beasiswa. Kami hanya bisa mendukungnya saja. Selebihnya itu menjadi urusan dia," jawab Ratna dengan penuh bangga, seolah-olah ia adalah orang yang sangat berjasa atas kesuksesan Raya.
"Baik sekali Bu Ratna ini," ujar ibu-ibu lainnya serempak.
Raya yang mendengar ucapan ibunya itu hanya bisa mematung. Matanya mulai terasa panas, dan tak terasa air mata jatuh begitu saja, tanpa bisa ia tahan lagi. Rasanya seperti hati ini teriris-iris mendengar kata-kata ibunya yang begitu ringan mengucapkan hal itu, tanpa sedikitpun merasa bersalah.
Dengan cepat, Raya melangkahkan kakinya untuk segera menjauh dari mereka. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan para tetangga yang selalu menganggapnya sebagai anak tak berharga. Namun, tiba-tiba suara ibunya kembali terdengar.
"Jika sudah selesai dengan pekerjaanmu di dapur, segera bantu ayah di kebun," ujar Ratna, memberikan perintah dengan nada yang tidak mengandung kasih sayang, hanya seperti perintah seorang majikan kepada pembantunya.
"Iya, Bu," jawab Raya dengan suara pelan, seolah terpaksa. Ia pun berlalu pergi menuju dapur, berusaha menenangkan dirinya sendiri, meskipun hatinya terasa hancur dan penuh kekosongan. Setiap langkah yang diambilnya seakan semakin berat, dan perasaan bingung serta sakit hati makin mendera.
Raya berjalan menuju dapur, lalu memasuki kamar mandi yang berada di sana. Di rumah itu, hanya ada satu kamar mandi yang terletak di bagian dapur, dan itulah tempat Raya selalu mencari pelarian ketika rasa sakit itu datang begitu mendalam. Ia menutup pintu kamar mandi dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang bisa terdengar dari luar.
Tanpa ragu, ia mulai mengguyur tubuhnya dengan air dingin , merasa dingin yang menyentuh kulitnya seakan memberi sedikit ketenangan. Satu hal yang selalu ia lakukan saat merasa terpuruk adalah mandi dengan air dingin agar tangisannya tak terdengar siapapun.
"Aku yatim-piatu... hahaha, iya juga," ujarnya dalam diam, suara tertahan di tenggorokan "Kenapa ibunya selalu menyebutkan hal-hal yang begitu menyakitkan? Kenapa ibu waktu itu mengatakan menyesal karena melahirkan aku? Bukankah itu artinya aku adalah anaknya? Tapi kenapa di depan orang-orang itu, dia menyebutku anak yatim-piatu yang dia pungut di jalanan?" Teriak Raya dalam diam, suaranya hampir tak terdengar, namun kepedihannya begitu nyata. Ia melupakan rasa lapar yang sedari tadi mengganggu perutnya. Berbagai pertanyaan terus berputar di kepalanya , dia berusaha mengingat semuanya berharap bisa mendapatkan jawaban dan alasan mengapa orang tua nya sampai membenci nya.
Raya sudah lama terbiasa dengan rasa sakit ini. Namun, untuk pertama kalinya, dunia Raya terasa begitu hancur saat ibunya dengan mudahnya berkata bahwa ia adalah anak yatim-piatu yang dipungut dari jalanan, di hadapan tetangga-tetangganya.
Setelah hampir lima menit terdiam, Raya akhirnya keluar dari kamar mandi dengan rambut basah yang meneteskan air. Matanya sedikit bengkak, menandakan bahwa ia baru saja menangis dalam waktu yang cukup lama. Tanpa menghiraukan ibu-ibu yang masih asyik mengobrol di ruang tamu, Raya berjalan dengan langkah terburu-buru menuju kamarnya. Ia ingin berpakaian terlebih dahulu sebelum pergi ke kebun untuk membantu ayahnya, meskipun hatinya masih terasa hancur.