Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 - LAGI DAN LAGI
Revan berjalan ke gerbang sekolah dengan langkah gontai. Mata panda makin parah, badan pegal semua, dan seragamnya agak kusut meski udah dia rapihin berkali-kali.
"Van! Eh, Van!" suara Farel memanggil dari belakang.
Revan menoleh. "Oh… pagi."
Farel nyusul dan jalan di sampingnya, matanya nyipit sambil ngelihat wajah Revan. "Lo... ngapain semaleman? Nonton anime 1000 episode langsung?"
Revan cuma senyum tipis. "Nggak, cuma gak bisa tidur aja."
Farel ngeplak pelan lengan Revan. "Lo makin aneh, sumpah."
Begitu mereka masuk ke kelas, suasana mulai rame kayak biasa. Anak-anak pada cerita tentang tugas, gosip, atau drama grup kelas. Tapi Revan duduk di bangkunya dengan pandangan kosong, sambil mikirin kejadian kemarin.
Robot yang nyaris bunuh mereka.
Ledakan. Darah. Riko yang hampir mati.
Dan sekarang dia duduk di kelas, pura-pura semuanya baik-baik aja.
“Revan!”
Revan kaget lagi. Farel ngelambai di depan mukanya. “Lo ngelamun terus dari tadi. Gue ngomongin soal PR Bu Dyah, lo denger nggak sih?”
“Maaf, maaf,” Revan buru-buru merespons. “Iya, PR... gue lupa ngerjain.”
“Lo sakit, ya?”
Revan sempet mikir buat bilang iya. Tapi akhirnya dia cuma geleng. “Nggak. Cuma… capek aja.”
Farel masih menatapnya dengan tatapan penasaran, tapi akhirnya diem dan balik buka bukunya. Revan bersyukur, tapi juga ngerasa bersalah. Dia makin sadar... dunia lamanya dan dunia yang sekarang udah terlalu jauh bedanya.
Di luar sana, Riko dan Emma lagi nyiapin rencana buat nyerang balik Robert.
...***...
Revan duduk di kantin sendirian, makan roti isi seadanya. Suasana di sekelilingnya rame banget—tertawa, celetukan, suara baki jatuh… tapi semuanya kayak cuma gema jauh di telinganya. Kepalanya masih penuh dengan yang terjadi kemarin.
Riko hampir mati.
Robot itu bisa ngomong... nyebut nama Robert.
Dan Revan harus pura-pura semuanya normal.
“Lo beneran kenapa sih, Van?”
Suara Farel lagi-lagi datang tiba-tiba. Dia duduk di seberang Revan, meletakkan jus jambu dan satu bungkus roti ke atas meja.
Revan mengangkat alis. “Itu… buat gue?”
“Gue males makan sendiri,” jawab Farel, santai tapi tatapannya jelas nyari jawaban.
Revan ngerasa bersalah. Tapi dia tetap ambil roti itu. “Makasih.”
“Lo makin beda,” ucap Farel pelan. “Lo nggak kayak Revan yang gue kenal pas awal masuk sekolah. Sekarang lo lebih diem. Lebih... berat, kalau itu masuk akal.”
Revan ngelirik dia sebentar, lalu menghela napas. “Mungkin karena gue mulai liat hal-hal yang nggak seharusnya gue liat.”
Farel menyipitkan mata. “Lo ngomong kayak karakter film konspirasi.”
Revan cuma nyengir tipis. “Mungkin gue lagi gak semangat hidup.”
Sebelum Farel bisa tanya lebih jauh, Revan menemukan kertas yang berada di bawah mejanya.
Revan langsung merobek kertas itu begitu selesai baca. Detak jantungnya langsung naik.
Dia menoleh ke Farel yang masih memandanginya.
“Maaf, gue harus ke toilet,” ucap Revan buru-buru.
“Lagi? Rev, lo kenapa sih sebenernya?”
Revan berdiri dan menunduk sedikit, matanya kelihatan lebih gelap. “Lo nggak mau tahu, Rel. Serius deh.”
Lalu dia pergi, ninggalin Farel yang diam terpaku, menatap punggung Revan yang makin hari makin jauh dari apa yang dia kenal.
...***...
Revan nggak langsung pulang. Dia naik bis setengah perjalanan, lalu turun dan jalan kaki masuk ke gang sempit yang penuh kabel, tembok penuh grafiti, dan suara ayam dari entah rumah siapa.
Koordinat yang Emma kasih nunjuk ke sebuah bangunan tua 3 lantai, dulu mungkin pernah jadi toko elektronik. Sekarang, kacanya buram, pintunya setengah digembok, dan kelihatan angker.
Tapi begitu Revan masuk lewat pintu belakang yang dikasih kode khusus, suasana langsung beda.
Markas baru.
Dari luar kumuh, tapi dalamnya... bersih, rapi, dan penuh alat. Peta digital, layar CCTV, loker senjata kecil, dan di tengah ruangan—Emma lagi berdiri di depan monitor besar, rambutnya dikuncir tinggi, pakai kaos hitam dan jaket kulit.
"Lo telat," kata Emma tanpa menoleh.
"Maaf. Nggak bisa kabur langsung dari sekolah."
Emma akhirnya menoleh. Matanya tajam, tapi dia langsung nyodorin air minum ke Revan. "Minum dulu. Gue nggak mau lo mati bukan karena robot, tapi dehidrasi."
Revan senyum dikit dan nerima botol itu.
"Laporan singkat," Emma lanjut. "Leonard ngilang dari jalur pengawasan kita. Sinyalnya terakhir ke-detect di utara kota, tapi setelah itu—blank. Gue curiga Robert udah gerak cepat."
"Jadi… dia ngebunuh Leonard?" tanya Revan, agak pelan.
"Kalau iya, artinya Robert ngebuang pionnya sendiri. Kalau enggak… berarti Leonard disimpen buat rencana lebih gede."
Revan mengangguk pelan, lalu duduk di kursi kayu dekatnya. "Gue makin nggak ngerti siapa lawan kita sebenernya."
Emma jalan pelan ke arah peta digital di dinding, nunjuk ke titik-titik merah di sekitar kota. “Kita lawan sistem, Rev. Tapi sistem ini punya satu kepala. Dan itu Robert.”
"Riko mana?" tanya Revan.
“Dia patroli perimeter. Ngecek apakah tempat ini udah aman.”
Emma diam sebentar, lalu ngelepas jaket kulit hitamnya dan duduk juga. “Lo nggak harus ikut terus, Rev. Kita bisa jaga lo, nutupin lo. Lo masih punya masa depan.”
Revan menatap Emma, dalam dan tenang. “Gue udah ngelewatin titik ‘bisa mundur’, kak.”
Emma tersenyum tipis. “Jawaban yang gue harap nggak akan lo bilang… tapi gue ngerti.”
Layar utama berkedip.
Sinyal baru muncul.
Bukan Leonard. Tapi lebih besar. Jauh lebih besar.
Emma langsung berdiri. “Buka sinyal. Cek lokasi.”
Revan ikut berdiri, jantungnya mulai cepat lagi.
Dan begitu lokasi itu muncul—mereka tahu.
Robert udah mulai nyerang balik.
...***...
Dulunya tempat produksi besar, sekarang cuma bangunan kosong yang ditinggalin. Tapi sinyal dari sana terlalu kuat untuk diabaikan.
Emma menatap layar lekat-lekat. “Ini bukan sinyal biasa. Ini... semacam pusat kendali. Ada ratusan gelombang kecil yang saling tumpang tindih.”
Revan mengerutkan alis. “Lo yakin Robert di sana?”
Emma mengangguk pelan. “Kalau bukan dia, berarti seseorang yang kerja langsung di bawah dia.”
Tepat saat itu, pintu belakang markas terbuka. Riko masuk dengan hoodie yang basah kena hujan gerimis.
“Gue udah keliling,” katanya singkat. “Nggak ada yang ngikutin. Tapi kita harus gerak cepet. Tempat ini nggak bakal aman lama-lama.”
Revan berdiri, matanya menatap peta. “Kita nyusup ke pabrik itu?”
Riko ngangguk. “Tapi nggak sekarang. Kita butuh persiapan, minimal dua hari. Kita nggak bisa ngelawan sistem kalau dateng tanpa rencana.”
Emma menambahkan, “Dan... ada satu hal lagi.”
Dia menekan tombol di keyboard, membuka rekaman suara dari frekuensi gelombang aneh yang baru tertangkap. Suaranya patah-patah, tapi satu bagian terdengar jelas:
“…subjek Z-07 : Revan. Status: prioritas tinggi. Perintah: tangkap hidup-hidup.”
Revan membeku.
“Lo target sekarang, Rev,” gumam Riko. “Bukan cuma pengganggu. Tapi target utama.”
Emma menatap Revan dalam-dalam. “Itu artinya… lo pegang sesuatu yang bahkan lo sendiri belum sadar.”
Revan menggenggam erat botol di tangannya. “Jadi mereka bakal terus ngejar gue... sampai semuanya selesai.”
“Bukan lo doang,” Riko menyela. “Kita semua.”
Hening sejenak menyelimuti ruangan itu. Suara hujan di luar makin deras.
Revan berdiri tegak, napasnya berat.
“Kalau gitu… kita hancurin pusat kendalinya.”
Emma dan Riko saling pandang.
Lalu Emma tersenyum kecil. “Akhirnya... lo ngomong kayak hero film juga.”