Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 - MENCARI JAWABAN TENTANG ZAINE (5)
Revan masih belum yakin dengan keputusannya, tapi untuk saat ini, ia sudah mengambil langkah pertama. Tidak ada jalan mundur.
Leonard meletakkan cangkir kopinya dan mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Oke, kalau lo udah setuju, kita harus mulai dari langkah kecil."
Revan menyilangkan tangan. "Kayak apa?"
Leonard tersenyum tipis. "Lo tetap jalani hidup lo seperti biasa. Jangan kasih tanda-tanda kalau ada sesuatu yang berubah. Kalau Robert atau anak buahnya mulai gerak, lo kasih tahu gue."
Revan mengerutkan kening. "Cuma itu?"
Leonard mengangguk. "Untuk sekarang, iya. Kita nggak bisa gegabah. Robert bukan orang yang gampang dikelabui."
Revan mendengus. "Gue tahu itu."
Leonard menyandarkan punggungnya ke kursi. "Dan satu lagi. Jangan kasih tahu siapa pun soal ini."
Revan sudah menduganya. "Termasuk Riko?"
Leonard menatapnya tajam. "Termasuk Riko."
Revan menggertakkan giginya. Riko selalu ada untuknya, tapi kali ini, ia harus menutup mulut.
Leonard berdiri, menyelipkan beberapa lembar uang di meja untuk membayar kopinya. "Gue bakal hubungin lo lagi kalau ada perkembangan. Sampai saat itu, tetap tenang."
Revan hanya mengangguk, menatap pria itu berjalan keluar kafe.
Saat ini, hidupnya masih berjalan seperti biasa.
Tapi ia tahu, cepat atau lambat, badai akan datang.
Revan tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya tegang. "Gue nggak tertarik dengerin pesan dari Robert," katanya dingin.
Pria itu terkekeh. "Lucu. Tapi sayangnya, lo nggak punya pilihan."
Revan melirik sekeliling. Gang ini cukup sempit, dan pria itu berdiri di satu-satunya jalan keluar.
"Jadi?" tanya Revan, mencoba tetap tenang. "Apa pesannya?"
Pria itu memasukkan tangannya lebih dalam ke saku jaketnya. "Robert tahu lo mulai bertingkah. Dan dia nggak suka."
Jantung Revan berdegup lebih cepat. "Maksud lo apa?"
Pria itu tersenyum miring. "Lo kira lo bisa main di belakang dia tanpa ketahuan? Lo kira dia nggak tahu lo ketemu sama seseorang di kafe dekat taman kota?"
Revan menahan napas. Sial. Robert tahu.
Pria itu melangkah mendekat, suaranya lebih rendah. "Dengar, bocah. Robert masih baik sama lo. Dia kasih lo satu kesempatan buat berhenti sebelum semuanya jadi buruk."
Revan menggertakkan giginya. "Kalau gue nolak?"
Pria itu menghela napas pura-pura kecewa. "Ya… sayang banget kalau orang-orang di sekitar lo jadi korban, kan?"
Darah Revan mendidih. Ancaman itu jelas tertuju ke orang-orang yang dekat dengannya. Riko, Emma…
Pria itu menepuk bahunya pelan, lalu berbalik. "Pikirin baik-baik, Revan. Jangan buat pilihan yang bakal lo sesali."
Dia berjalan keluar dari gang, meninggalkan Revan yang masih diam di tempatnya, kepalan tangannya gemetar.
Sekarang, lebih dari sebelumnya, ia sadar… ini bukan lagi soal dirinya sendiri.
Revan berdiri di sana selama beberapa detik, mencoba menenangkan napasnya. Ancaman itu jelas. Robert tahu lebih banyak dari yang ia kira, dan itu berarti satu hal—ia harus lebih hati-hati.
Setelah memastikan tak ada lagi yang mengawasinya, Revan melanjutkan langkahnya pulang. Tapi kali ini, kepalanya penuh dengan kemungkinan buruk.
Farel. Emma. Kalau Robert benar-benar menargetkan mereka…
Tidak. Gue nggak bakal biarin itu terjadi.
Sesampainya di rumah, Revan langsung mengunci pintu dan mengeluarkan ponselnya. Ia mengetik pesan singkat untuk Leonard.
"Robert tahu."
Tak butuh waktu lama sebelum balasan masuk.
"Ketemu di tempat biasa. Sekarang."
Revan menghela napas, lalu mengambil jaketnya dan keluar lagi.
...***...
Setengah jam kemudian, ia sudah duduk di meja yang sama di kafe dekat taman kota. Leonard datang tak lama setelahnya, kali ini tanpa basa-basi.
"Kabarkan semuanya," katanya serius.
Revan menceritakan pertemuannya dengan pria berbaju hitam itu—cara dia mengikutinya, pesan yang disampaikan, dan terutama ancaman terhadap orang-orang di sekitarnya.
Leonard mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, wajahnya tanpa ekspresi. "Ini lebih cepat dari yang gue perkirakan."
Revan menatapnya tajam. "Jadi sekarang gimana?"
Leonard berpikir sejenak sebelum menjawab, "Kita harus bikin Robert percaya kalau lo nggak terlibat apa-apa. Setidaknya buat sementara."
Revan menyipitkan mata. "Dan lo yakin itu bakal berhasil?"
Leonard tersenyum tipis. "Kalau lo main peran lo dengan benar, iya."
Revan menghela napas panjang. Ia tidak suka ini. Tidak suka harus berpura-pura. Tapi kalau ini satu-satunya cara buat ngejaga Farel dan Emma tetap aman…
"Baik," katanya akhirnya. "Apa yang harus gue lakukan?"
Leonard menatapnya tajam. "Lo harus kembali ke kehidupan lo yang biasa. Seolah nggak ada yang terjadi. Dan yang paling penting…"
Ia bersandar ke kursinya, suaranya merendah.
"Jangan sampai ketahuan kalau lo masih kerja sama sama gue."
Revan mengepalkan tangannya di bawah meja.
Permainan ini baru saja naik level.
Malam itu, Revan tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan langkah selanjutnya. Berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa? Itu lebih sulit dari yang terlihat, terutama dengan Robert yang terus mengawasinya.
Tapi kalau ia ingin menjaga Farel dan Emma tetap aman, ia tidak punya pilihan.
Keesokan harinya di sekolah, Revan mencoba menjalani harinya seperti biasa. Ia bercanda dengan Farel, pura-pura mendengarkan pelajaran, dan sesekali ikut ngobrol dengan teman-teman sekelasnya. Tapi jauh di dalam pikirannya, ia tetap waspada.
Saat jam istirahat, Farel menepuk bahunya. "Lo udah makan belum?"
Revan menggeleng. "Belum, nih."
Farel menarik lengannya. "Ayo ke kantin. Lo nggak bisa terus kelaperan tiap hari."
Revan tersenyum kecil dan mengikutinya. Mereka baru saja sampai di kantin saat sesuatu menarik perhatiannya—di sudut ruangan, seorang pria berbaju hitam duduk sendirian di meja, menatap langsung ke arahnya.
Jantung Revan berdetak lebih cepat. Itu orang yang mengikutinya kemarin.
Farel tidak menyadarinya. "Lo mau makan apa?"
Revan berpura-pura melihat ke daftar menu, berusaha tetap tenang. "Lo duluan aja, gue nyusul."
Farel mengangkat bahu dan pergi ke antrean. Sementara itu, Revan berjalan mendekati meja pria itu dan duduk di depannya tanpa basa-basi.
"Apa lagi?" tanya Revan dingin.
Pria itu tersenyum tipis. "Cuma mau lihat apakah lo nurut atau nggak."
Revan mengepalkan tangannya di bawah meja. "Gue udah bilang, gue nggak ada urusan sama Robert."
Pria itu mengangguk pelan. "Bagus kalau gitu. Cuma pastiin lo tetap begitu."
Ia berdiri, merapikan jaketnya, lalu menepuk meja sebelum pergi. "Jangan bikin masalah, Revan. Kita bakal baik-baik aja."
Revan mengawasi pria itu berjalan keluar kantin sebelum menghembuskan napas berat.
Farel kembali dengan nampan makanan. "Lo kenapa?"
Revan menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. "Nggak apa-apa. Laper aja."
Farel menyerahkan satu kotak nasi padanya. "Makan. Jangan sampe pingsan."
Revan mengambilnya, tapi pikirannya masih sibuk memproses kejadian barusan.
Robert benar-benar nggak akan lepasin gue.
Hari-hari berlalu, dan Revan tetap berusaha menjalani hidupnya seperti biasa. Tapi tekanan yang ia rasakan semakin berat. Robert jelas tak akan membiarkannya bergerak bebas, dan Leonard pun belum memberikan arahan lebih lanjut.
Ia harus bermain cerdas.
Di sekolah, Farel mulai memperhatikan perubahan sikapnya.
"Lo kayak orang yang kurang tidur terus," komentar Farel suatu siang saat mereka duduk di tangga belakang sekolah.
Revan hanya mengangkat bahu. "Banyak tugas."
Farel mendengus. "Bohong. Gue tahu lo bukan tipe yang peduli sama tugas."
Revan tertawa kecil, tapi tak berkata apa-apa.
Farel menatapnya serius. "Revan, kalau ada apa-apa, lo bisa cerita ke gue."
Revan menatap Farel sesaat, merasa bersalah karena harus menyembunyikan semuanya. Tapi semakin sedikit orang yang tahu, semakin aman mereka.
"Serius, Far, gue baik-baik aja," katanya akhirnya.
Farel mendesah, jelas tak puas dengan jawaban itu. "Ya udah. Tapi kalau lo butuh sesuatu, gue ada."
Revan tersenyum kecil. "Gue tahu."
Malam itu, Revan menerima pesan dari Leonard.
Revan menatap layar ponselnya, merasa sedikit lega. Akhirnya, ada pergerakan.
...***...
Keesokan malamnya, ia kembali ke kafe dekat taman kota. Leonard sudah menunggunya, duduk dengan secangkir kopi seperti biasa.
"Lo masih aman?" tanya Leonard begitu Revan duduk.
"Untuk sekarang," jawab Revan. "Tapi mereka masih awasi gue."
Leonard mengangguk pelan. "Gue punya rencana."
Revan mencondongkan tubuh ke depan. "Apa?"
Leonard tersenyum tipis. "Kita bakal kasih Robert informasi palsu."
Revan menyipitkan mata. "Maksud lo?"
"Lo bakal pura-pura kerja buat dia."
Revan terdiam sejenak. "Lo serius?"
Leonard mengangguk. "Kalau kita bikin dia percaya lo di pihaknya, lo bisa lebih dekat dan tahu apa yang dia rencanakan."
Revan menghela napas panjang. Ini bukan rencana yang buruk, tapi juga sangat berisiko.
Tapi ia sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.
"Baik," katanya akhirnya. "Kita lakukan."
Leonard tersenyum puas. "Bagus. Permainan baru saja dimulai."