Ahmad Al Fatih Pranadipa adalah siswa SMA yang dikenal sebagai pembuat onar. Kenakalannya tak hanya meresahkan sekolah, tetapi juga keluarganya. Hingga akhirnya, kesabaran orang tuanya habis—Fatih dikirim ke pesantren untuk dididik langsung oleh seorang kyai dengan harapan ia berubah.
Namun, Fatih tetap menjadi dirinya yang dulu—bandel, pemberontak, dan tak peduli aturan. Di balik tembok pesantren, ia kembali membuat keonaran, menolak setiap aturan yang mengikatnya. Tapi hidup selalu punya cara untuk mengubah seseorang. Perlahan, tanpa ia sadari, langkahnya mulai berbeda. Ada ketenangan yang menyusup dalam hatinya, ada cahaya yang mulai membimbing jalannya.
Dan di saat ia mulai menemukan jati dirinya yang baru, hadir seorang wanita yang membuatnya merasakan sesuatu yang tak pernah ia duga—getaran yang mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
"woeeee... Di sini ada laundry?" Suara Fatih keluar untuk pertama kalinya mengajak teman sekamarnya berbicara. Mungkin karena sudah terdesak akhirnya Fatih angkat bicara.
Teman-teman sekamar Fatih saling melempar pandangan karena heran melihat Fatih.
"Budeg yah kalian. Ada laundry enggak sih disini?" tanya Fatih sekali lagi dengan nada ketus.
"Tidak ada. Di sini biasanya para santri mencuci pakaian mereka sendiri." jawab santri yang berada tepat di samping ranjang Fatih.
Fatih memberanggut kesal karena dirinya tidak pernah mencuci pakaian, semuanya di lakukan oleh pelayan dan dia hanya menerima. Mau tidak mau dia harus melakukan semuanya sendirian.
"Mau di temani tidak? Atau sudah tahu tempatnya?" cetus Edwin, tetangga ranjang Fatih.
"Kalau Luh enggak keberatan." Fatih tidak boleh mempertahankan sikap gensinya. Saat ini dia benar-benar membutuhkan bantuan orang lain. Dia sama sekali tidak tahu ruangan cuci.
"Ayo." ajak Edwin senang. Bukan dia yang ingin di bantu, tapi pria dengan peci putih itu sangat senang karena ikhlas membantu teman barunya.
Mereka berdua kemudian mulai berjalan salam lorong-lorong yang sunyi senyap. Tak ada kegiatan apapun karena jam 10 malam mereka sudah istirahat.
"Waktu di sekolah umum ambil jurusan apa?" Edwin memecah kesunyian. Dia sangat tahu jika Fatih tidak akan bicara jika bukan orang lain yang duluan mengajaknya berbicara.
"IPS... " jawab Fatih singkat, kantongan berisi cucian kotor menggantung di tangan kanannya.
"Dulu saya juga ingin sekolah di umum. Tapi orang tua lebih memilih pondok. Awalnya terasa sangat berat, tapi seiring berjalannya waktu maa syaa Allah, sangat nikmat. Banyak ilmu yang tidak bisa di dapat pada sekolah umum. Intinya, dunia terjaga, akhirat terjamin." kata-kata itu membuat hati Fatih teduh.
"Aku tidak berpikir seperti itu. Tapi aku berharap aku akan menjadi orang seperti itu juga." kata Fatih membuat Edwin membesarkan matanya karena terkejut dengan kata-kata Fatih. Remaja itu seakan menemukan setitik cahaya yang perlahan mulai menerangi hatinya.
"Nanti malam ikut sholat tahajjud yah.." Fatih memang sangat jarang melaksanakan sholat malam, dia lebih memilih tidur malam harinya dan melaksanakan hukuman siang harinya untuk mengisi bak-bak mandi dan membersihkan tempat wudhu para santri termasuk santriwati. Setelah melaksanakan hukumannya, Fatih akan kembali lagi ke kamarnya, mendekam di bilik persembunyiannya yang dia kunci rapat-rapat agar tak ada orang yang tahu tentang kegiatan Fatih selama di kamar itu. Asap mengebul di dalam kamar, remaja itu kembali menghisap batang rokoknya satu demi satu akhirnya sebungkus habis. Bibirnya terlihat semakin hitam karena terbakar. Tapi akhir-akhir ini Fatih tidak lagi merokok, stok yang dia siapkan untuk sebulan sudah habis. Dia sama sekali tak bisa menemukan penjual rokok di area pondok. Awalnya sangat sulit untuk menghentikan dirinya dari rasa suka pada nikotin tersebut. Tapi seiring berjalannya waktu, Fatih sudah terbiasa tidak menghisap gas beracun karbon monoksida tersebut. Tubuhnya bahkan semakin terlihat berisi, tidak kurus seperti biasa.
"Bangunkan aku." jawab Fatih kembali singkat.
"Maa syaa Allah." tanpa sadar Edwin memeluk pria yang seumuran dengannya tersebut. Rasa haru tak bisa di hilangkan ketika Fatih yang seorang pemuda malas dalam beribadah seketika ingin di bangunkan untuk sholat malam.
"Tentu saja, in syaa Allah. Aku akan membangunkan mu." janji Edwin.
"Bagaimana cara kerja mesin cuci ini?" tanya Fatih ketika mereka sudah berada di dalam ruang binatu.
Edwin tersenyum ramah dan mulai mengajarkan pada Fatih cara mencuci pada mesin cuci.
"Mudah!" sepertinya Fatih terlihat antusias.
"Apa mesin cuci ini langsung terlipat?" dengan wajah polosnya, Fatih kembali bertanya.
Pertanyaan yang mengundang gelak tawa pria yang mulai menjadi temannya. "Tentu saja tidak, setelah di bilas. Pindahkan pakaianmu ke samping dan tekan ini." Edwin menunjuk tombol drain. "Setelah itu tekan ini." tunjuknya pada tombol pengering pakaian. "Setelah kering, jemur kembali. Agar kering sempurna." jelas Edwin dengan sabar membantu Fatih sedangkan Fatih hanya mengangguk-angguk paham. Tidak sulit bagi Edwin mengajarkan Fatih, siswa pindahan itu dengan mudah paham apa yang di ajarkan.
Setelah pakaian semua selesai di jemur, Fatih dan Edwin kembali ke kamarnya. Mereka mulai terlihat akrab dengan obrolan-obrolan ringan yang dia bicarakan. Tentang, berasal dari kota mana? Lulus dimana? Jika lulus di pesantren ini akan lanjut dimana? Seperti itulah sebagian kecil obrolan mereka.
Tak kuasa menahan kantuk, Edwin sudah terlelap.
Fatih kembali merenung tentang dirinya saat ini. Jujur saja menjalani hari-hari di pondok membuat Fatih bosan dan stress. Semua serba teratur dan terjadwal. Fatih sama sekali tidak mengikuti seabrek jadwal pondok. Kadang-kadang jika dia ingin, baru mengerjakan kewajibanya sebagai seorang muslim. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan hukuman. Fatih juga sangat jarang menghadiri pelajaran tentang ilmu agama seperti santri dan santriwati lainnya. Dia dengan dunianya. Tetapi tak ada yang tahu, jika diam-diam, remaja itu selalu mendengar dengan seksama setiap kajian yang di sampaikan sehabis sholat fardhu. Setiap akan di mulai kajian tentang agama, maka Fatih akan mempersiapkan pendengar dan pikirannya agar fokus untuk mendengar. Pernah suatu hari Fatih mendengar tentang kajian yang di bawakan oleh kyai Husain tentang keutamaan sholat malam. Selain mendapatkan tempat yang terpuji, sholat tahajud juga memiliki banyak keutamaan dan manfaat, yaitu dikabulkan doa-doanya dan diampuni dosanya seperti yang tercantum di dalam hadits Riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya: “Pada tiap malam Tuhan kami Tabaraka wa Ta’ala turun (ke langit dunia) ketika tinggal sepertiga malam yang akhir. Ia berfirman: barang siapa yang menyeru-Ku, akan Aku perkenankan seruannya. Barang siapa yang meminta kepada-Ku, Aku perkenankan permintaannya. Dan barang siapa meminta ampunan kepada-Ku, aku ampuni dia. Seperti itulah kajian yang mengambil perhatian Fatih. Hatinya kembali buncah antara masih betah seperti dulu dengan jiwa pemberontak atau mulai nyaman dengan perubahan yang sama sekali belum menonjol. Tapi perlahan, hati Fatih mulai terketuk untuk melaksanakan sholat. Fatih bertekad untuk berubah perlahan-lahan. Sebelum tidur, remaja tinggi dengan kulit putih, dan alis tebal tersebut mulai menyetel alarm jam baker yang di taruh tak jauh dari tempat dia tidur. Tak ingin kebablasan dan kembali meneruskan tidurnya.
Malam semakin larut, suara binatang mulai terdengar jelas. Kamar Fatih mulai berisik dengan suara ngorok salah satu santri. Tapi hal itu tidak membuat santri lain terganggu. Tiba-tiba mereka di bangunkan dengan suara weker yang sangat menggelegar. Sontak seluruh santri di kamar itu terbangun dan meninggalkan tempat tidurnya dalam keadaan kelimpungan. Tidak terkecuali Fatih. Fatih ikut terbangun dan terlonjak saat mendengar suara yang sangat mirip suara pemadam kebakaran.
"Sepertinya ada kebakaran. Ayooo cepat.. kita pergi dari sini." ucap seorang santri.
"Ayo.. ayo... Cepat!" kata santri lainnya yang sudah memegang kunci kamar dan memutarnya untuk segera terbuka. Tapi tak sengaja pandangan Fatih teralih pada jam weker yang ada di samping tempat tidurnya.
"Tunggu!" pinta Fatih membuat santri lainnya yang sudah berbaris untuk bergegas keluar menoleh pada Fatih.
"Sepertinya ada kesalahpahaman." ucap Fatih kembali. "Suara itu.... Sepertinya berasal dari jam weker saya." kata Fatih kembali. Malu. Sangat malu. Tapi, bagaimanapun dia harus meminta maaf atas kehebohan yang di gemparkan oleh jam weker pemberian ayahnya. Pranadipa pasti sengaja memberi weker dengan suara unik untuk membangunkan putranya tepat waktu tanpa harus tertidur kembali.