Alana Adhisty dan Darel Arya adalah dua siswa terpintar di SMA Angkasa yang selalu bersaing untuk menjadi yang terbaik. Alana, gadis ambisius yang tak pernah kalah, merasa dunianya jungkir balik ketika Darel akhirnya merebut posisi peringkat satu darinya. Persaingan mereka semakin memanas ketika keduanya dipaksa bekerja sama dalam sebuah proyek sekolah.
Di balik gengsi dan sikap saling menantang, Alana mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam hubungannya dengan Darel. Apakah ini masih tentang persaingan, atau ada perasaan lain yang diam-diam tumbuh di antara mereka?
Saat gengsi bertarung dengan cinta, siapa yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my pinkys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelukan di tengah luka
Setelah meninggalkan rumah Adrian Baskara, ayah Alana, Darel membawa Alana kembali ke apartemennya. Sepanjang perjalanan, Alana hanya diam, menatap kosong ke luar jendela dengan pikiran yang penuh pertanyaan. Kepalanya dipenuhi oleh berbagai pikiran yang saling bertabrakan. Fakta bahwa ia memiliki seorang kakak laki-laki dan ibunya masih hidup benar-benar membuat nya tak habis pikir,ia kira ibu nya sudah tiada selama ini namun ternyata ibunya masih hidup bahkan ia mempunyai kakak laki-laki.
Saat mobil berhenti di parkiran apartemen, Darel menoleh ke arah Alana. “Kita sudah sampai.”
Alana mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa, lalu membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam apartemen dengan langkah lemas. Darel mengikutinya dari belakang, memastikan gadis itu tidak pingsan karena syok.
Sesampainya di dalam, Alana langsung menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun. Darel hanya menghela napas pelan sebelum menuju kamarnya sendiri.
Begitu masuk ke dalam kamar, Darel segera mengambil ponselnya dan menghubungi salah satu bawahannya. “Cari informasi tentang seorang pria bernama Alvaro. Dia kemungkinan berada di Indonesia sekarang. Cari juga keberadaan ibu Alana. Aku ingin semua informasi yang akurat secepatnya.”
“Baik, Tuan. Kami akan segera menyelidikinya,” jawab suara di seberang telepon.
Darel mengakhiri panggilan dan mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tahu Alana pasti sangat terpukul. Gadis itu telah hidup dalam kebohongan selama bertahun-tahun, dan sekarang kenyataan menghantamnya sekaligus hari ini.
---
Di dalam kamarnya, Alana berbaring di tempat tidur, menggenggam liontin pemberian Mbok Sari. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa dibendung.
“Ibu…” bisiknya, suaranya bergetar.
"Alana rindu... "
"Kenapa aku baru tau sekarang"
Tangisannya pecah membasahi bantal . Ia menangis dalam diam, membiarkan semua emosi yang tertahan selama ini mengalir keluar. Dadanya terasa begitu sesak saat ini, seolah beban bertahun-tahun baru saja meledak semua.
Tok
Tok
Tok
Suara ketukan pelan di pintu kamarnya membuatnya tersentak. Sebelum ia bisa menjawab, pintu terbuka perlahan, dan Darel masuk menatap Alana.
Tatapan pria itu melembut saat melihat Alana yang terisak. Tanpa berkata apa-apa, Darel melangkah mendekat dan duduk di sampingnya.
“Aku nggak tahu harus bagaimana Darel…” suara Alana bergetar, air matanya masih mengalir.
Darel tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia meraih tangan Alana dan menggenggamnya erat. “Aku di sini,aku akan bantu cari ibu dan kakak kamu”
Alana mengangkat wajahnya beranjak dandan duduk, menatap Darel dengan mata merah dan sembab. “Aku ingin bertemu mereka… Aku ingin tahu kenapa Ayah melakukan ini padaku…aku...hiks”
Darel mengangguk. “Aku akan mencarikan mereka untukmu. Aku janji.”
Alana menatapnya dalam-dalam, seolah mencari kepastian dalam kata-kata itu. Dan ketika ia melihat ketulusan di mata Darel, tangisannya kembali pecah.
Tanpa pikir panjang, Darel menariknya ke dalam pelukan. Alana tidak menolak. Ia membenamkan wajahnya di dada pria itu, merasakan kehangatan yang menenangkannya, menangis sampai ia puas.
Darel membiarkan Alana menangis sepuasnya. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengusap punggung gadis itu dengan lembut.
Perlahan-lahan, napas Alana mulai teratur. Isakannya mereda, dan kelopak matanya semakin berat. Rasa lelah karena menangis membuatnya kehilangan tenaga nya.
Darel merasakan tubuh Alana mulai rileks dalam pelukannya. Saat ia menoleh, gadis itu sudah terlelap, masih dengan air mata yang mengering di pipinya.
Dengan hati-hati, Darel membaringkannya di tempat tidur dan menyelimutinya. Ia menatap wajah Alana yang kini tampak damai dalam tidurnya, lalu menghela napas panjang.
“Aku akan memastikan kamu bertemu ibu dan kakak mu,” gumamnya pelan.
Lalu, ia bangkit dan berjalan keluar dari kamar, membiarkan Alana beristirahat dalam ketenangan yang jarang ia rasakan.
___
Darel duduk di ruang kerja apartemennya, menatap layar laptop dengan ekspresi serius ia tengah membaca laporan bawahan nya. Beberapa bawahannya telah memberikan laporan awal mengenai pencarian Alvaro dan ibu Alana, tetapi belum ada informasi yang cukup. Ia mengepalkan tangan, merasa tidak sabar.
Sementara itu, di dalam kamar, Alana meringkuk di balik selimut tebal nya. Kepalanya terasa berat, tubuhnya lemas, dan pikirannya masih dipenuhi emosi dari kejadian hari ini. Air mata yang tadi sudah mengering kembali mengalir tanpa ia sadari.
Darel yang baru saja menutup laptop langsung menuju kamar Alana. Ketika ia membuka pintu, ia melihat gadis itu menggigil di balik selimut. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi dahinya.
“Alana?” Darel buru-buru menghampiri dan menyentuh dahinya. Panas.
Gadis itu membuka mata dengan susah payah, menatap Darel dengan pandangan kabur. “Darel… aku pusing,” bisiknya lemah.
Tanpa pikir panjang, Darel langsung mengangkat tubuh Alana dalam gendongannya. “Kita pergi ke mansion orang tuaku. Di sana ada dokter pribadi.”
Alana terlalu lemah untuk menolak, ia hanya bisa menyandarkan kepalanya di dada Darel.
Sampai di Mansion Keluarga Darel
Malam semakin larut ketika mobil Darel memasuki halaman luas mansion keluarga Atharrazka. Lampu-lampu besar menerangi area depan, menampilkan kemewahan khas keluarga terpandang.
Begitu mobil berhenti, beberapa pelayan langsung keluar menyambut mereka. Salah satu dari mereka, seorang wanita paruh baya bernama Bi Rina, terkejut melihat Darel menggendong seorang gadis yang tampak pucat.
“Tuan Muda,siapa ini?” tanya Bi Rina dengan nada khawatir.
“Namanya Alana. Dia sedang sakit, panggilkan dokter pribadi sekarang.”
Bi Rina langsung bergerak cepat, sementara Darel membawa Alana masuk ke dalam mansion. Ia membawanya ke dalam kamar nya yang terletak di lantai tiga menggunakan llift, kamar Darel bernuansa putih abu-abu yang luas dan nyaman, lalu membaringkannya di ranjang nya dengan hati-hati.
Alana mengerang pelan, tubuhnya terasa semakin panas.
“Darel…” panggilnya lirih.
Darel duduk di tepi ranjang, menggenggam tangannya. “Aku di sini. Jangan khawatir, dokter akan segera datang.”
Tak lama kemudian, seorang dokter pribadi yang sudah lama bekerja untuk keluarga Atharrazka masuk. Ia membawa tas peralatan medis dan segera memeriksa kondisi Alana.
“Dia demam tinggi, kemungkinan akibat stres dan kelelahan. Saya akan memberikan obat dan infus untuk menstabilkan kondisinya,” ujar dokter itu.
Darel mengangguk. “Lakukan yang terbaik.”
Alana menggelengkan kepalanya "Aku nggak mau di suntik...sakit" cicit Alana.
"Nggak sakit kok Lana, kamu pegang tangan aku biar nggak sakit" ucap Darel yang sebenarnya gemas dengan Alana, bagaimana tidak gemas, mata Alana masih memejam tapi bibir nya terus mengoceh dan mengucut.
Beberapa menit kemudian, infus sudah terpasang di tangan Alana,setelah perdebatan Alana dengan dokter.Dokter memberikan instruksi kepada pelayan untuk mengganti kompresnya setiap beberapa jam.
Darel tetap di samping Alana, memperhatikannya dengan penuh perhatian. Ia bahkan tak peduli saat ayah dan ibunya muncul di pintu kamar.
Daddy Arzhael dan Mommy Liliana, masuk ke kamar dengan ekspresi terkejut.
“Darel, siapa Alana kenapa?” tanya Daddy Arzhael dengan suara tegas.
Darel menoleh, wajahnya tetap tenang. “Alana sakit Dad, demam"
Liliana menatap Alana dengan lembut. “Dia sakit? kenapa nggak hubungi Mommy buat suruh dokter ke apartemen kamu”
"Darel panik tadi"
“Ya, aku membawanya ke sini karena ada dokter pribadi.”
Liliana tersenyum kecil. “Bagus. Kalau begitu, biarkan dia beristirahat dulu.”
Daddy Arzhael mengamati Alana. “Bagaimana Alana bisa sakit?”
"Nanti Darel kasih tau"jawab Darel.
" Ya sudah,biarkan Alana istirahat sekarang "
Setelah memberi sedikit pesan, Arzhael dan Liliana meninggalkan kamar.
Darel kembali duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Alana yang terasa dingin.
“Aku akan menjagamu, Alana. Kamu nggak sendiri lagi,” bisiknya.
Alana yang masih dalam kondisi setengah sadar hanya bisa mengeratkan genggamannya, seolah percaya penuh pada Darel.
To be continued…