Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6 MASA LALU YANG KEMBALI.
“Kenapa kamu terus baik sama aku, Raf?”
Cintia memandang bunga di tangannya dengan tatapan kosong. Pertanyaannya menggantung di udara, namun Araf tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, seperti biasa, seolah menyimpan sesuatu yang tidak ingin ia ungkapkan.
"Aku cuma ingin kamu tahu," Araf akhirnya berkata lembut, "kalau kamu nggak sendirian."
Cintia menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya ke arah jendela toko kecil tempat ia bekerja. Sore itu, suasana Tamansari terasa lengang, hanya suara angin yang sesekali menggoyangkan dedaunan. Cintia tidak ingin melanjutkan percakapan ini. Baginya, kata-kata Araf terlalu indah untuk dunia yang ia kenal—dunia yang penuh dengan luka dan kebencian.
“Bunga ini buat apa, sih?” Cintia akhirnya bertanya, mencoba mengalihkan topik.
“Bunga itu buat kamu. Anggap aja, hadiah kecil untuk seseorang yang berarti,” jawab Araf dengan senyuman hangat.
Cintia tidak menanggapi. Ia hanya meletakkan bunga itu di meja, lalu kembali sibuk mengatur barang-barang di rak toko.
Namun, sebelum percakapan mereka berlanjut, bel pintu toko berbunyi. Seorang pelanggan masuk.
“Selamat sore!” suara riang menyapa.
Cintia berbalik. Senyum di wajahnya lenyap dalam sekejap. Di hadapannya, berdiri seorang wanita muda dengan tubuh tinggi semampai. Rambut pirang yang tersisir rapi, dan ia mengenakan pakaian kasual yang terlihat elegan. Wajah itu—meski terlihat lebih dewasa—tidak mungkin dilupakan oleh Cintia.
Luna.
“Cintia?” wanita itu tampak terkejut, matanya membulat.
Cintia terdiam, tubuhnya menegang. Tangan yang tadi sibuk merapikan barang di rak kini menggenggam erat sebuah botol kecil. Amarah yang selama ini ia pendam mendadak menggelegak.
“Lama nggak ketemu, ya,” Luna melanjutkan dengan nada canggung, mencoba mencairkan suasana.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” suara Cintia terdengar dingin, hampir seperti bisikan.
Luna tersenyum kaku. “Aku pindah ke Tamansari beberapa bulan lalu. Ternyata, kita tinggal di kota yang sama sekarang.”
Cintia tidak menanggapi. Ia hanya menatap Luna dengan mata tajam, seolah-olah ingin menusuknya dengan pandangan itu saja.
Araf, yang berdiri tak jauh dari mereka, bisa merasakan ketegangan di antara kedua wanita itu. Ia mencoba menyela, “Ada yang bisa saya bantu?”
Luna menoleh ke arah Araf dan tersenyum sopan. “Oh, tidak perlu. Aku cuma mau beli beberapa barang.”
Cintia masih diam, tetapi matanya tidak lepas dari Luna.
“Cintia,” Luna tiba-tiba memanggil pelan, suaranya terdengar tulus. “Boleh kita bicara sebentar? Aku…” Luna menggigit bibirnya, ragu-ragu melanjutkan. “Aku ingin minta maaf.”
Kata-kata itu membuat Cintia tertawa kecil, sebuah tawa sinis yang terdengar aneh di tengah suasana tegang.
“Maaf?” Cintia mengulang dengan nada tidak percaya. “Kamu kira maaf bisa memperbaiki semuanya?”
“Aku tahu ini nggak mudah,” Luna menjawab dengan nada rendah. “Tapi aku benar-benar menyesal atas apa yang aku lakukan dulu. Aku… aku nggak tahu apa yang ada di pikiranku waktu itu. Aku cuma—”
“Kamu cuma apa?” potong Cintia dengan tajam. “Cuma suka melihat orang menderita? Cuma mau pamer kalau kamu lebih baik dari orang lain?”
“Cintia, aku…” Luna tampak kehilangan kata-kata.
“Kamu nggak tahu apa-apa tentang rasa sakit yang kamu kasih ke aku, Luna,” Cintia melanjutkan, suaranya bergetar. “Kamu nggak tahu apa yang aku lewatin gara-gara kamu!”
Araf, yang sejak tadi diam, mencoba menenangkan. “Cin, mungkin kita bisa—”
“Jangan ikut campur, Araf!” Cintia memotong, suaranya tajam dan penuh emosi.
Luna menunduk, ada kesedihan di wajahnya. “Aku benar-benar minta maaf. Kalau aku bisa mengulang waktu, aku nggak akan pernah melakukan semua itu. Aku tahu maafku nggak cukup, tapi…”
“Tapi kamu tetap bilang, kan? Karena itu membuatmu merasa lebih baik!”
Luna mengangkat wajahnya, menatap Cintia dengan mata berkaca-kaca. “Aku cuma ingin memperbaiki semuanya, Cintia. Aku tahu aku salah. Aku tahu aku jahat. Tapi sekarang aku berubah. Aku nggak mau terus hidup dengan rasa bersalah ini.”
Cintia terdiam. Kata-kata Luna menamparnya, tetapi amarahnya terlalu besar untuk diredam begitu saja. Ia berbalik, meninggalkan Luna dan Araf tanpa sepatah kata pun.
...----------------...
Di luar toko, Cintia berjalan cepat menuju pantai. Angin sore menyapu wajahnya, tetapi tidak cukup untuk menenangkan hatinya yang sedang berkecamuk.
Bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Wajah Luna, tawa mengejeknya, kata-kata menyakitkan yang ia ucapkan—semua itu terulang di benaknya seperti film buruk yang tak pernah selesai.
“Apa dia pikir satu kata maaf bisa menghapus semua itu?” gumam Cintia dengan suara penuh kebencian.
Langkahnya terhenti di tepi pantai. Ia menatap ombak yang bergulung-gulung, mencoba mencari kedamaian di tengah kekacauan pikirannya.
Namun, suara langkah kaki di belakangnya membuatnya berbalik. Araf berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan penuh simpati.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Araf hati-hati.
“Kenapa kamu ngikutin aku?” suara Cintia terdengar lelah.
“Aku cuma khawatir,” jawab Araf jujur. “Kamu kelihatan… terluka.”
Cintia tertawa kecil, tetapi tidak ada kebahagiaan dalam tawanya. “Terluka? Aku sudah terluka sejak lama, Raf. Luka ini nggak pernah sembuh.”
Araf mendekat, berhenti tepat di samping Cintia. “Tapi kamu nggak harus terus hidup dengan luka itu, Cin. Kamu bisa sembuh. Kamu bisa bahagia.”
“Bahagia?” Cintia mengulang kata itu dengan nada pahit. “Aku nggak percaya lagi sama kebahagiaan.”
Araf tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap ombak di depannya, membiarkan keheningan mengisi jarak di antara mereka.
“Aku tahu kamu marah sama Luna,” Araf akhirnya berkata. “Tapi, apa kamu yakin terus menyimpan dendam itu akan membuatmu merasa lebih baik?”
Cintia menghela napas panjang. “Aku nggak tahu, Raf. Aku nggak tahu apa yang bisa membuat aku merasa lebih baik.”
“Kamu tahu,” Araf menoleh, menatap Cintia dengan serius. “Kamu cuma terlalu takut untuk mengakuinya.”
Cintia menatap Araf dengan mata penuh kebingungan. “Apa maksudmu?”
“Kenapa kamu nggak coba memaafkan?” tanyanya lembut.
Cintia terdiam, kata-kata itu menggantung di udara seperti batu berat yang menghantam dadanya. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Araf melanjutkan, “Aku tahu itu nggak mudah. Tapi memaafkan bukan berarti melupakan. Itu cuma berarti kamu berhenti membiarkan luka itu mengendalikan hidupmu.”
Cintia menunduk, menghindari tatapan Araf. “Aku nggak tahu, Raf. Aku nggak tahu apakah aku bisa.”
“Kamu bisa, Cin,” Araf menjawab yakin. “Kalau kamu mau.”
Cintia memejamkan matanya, mencoba menenangkan badai yang berkecamuk di dalam hatinya. Namun, ketika ia membuka mata, hanya satu pertanyaan yang tersisa di benaknya.
“Kenapa kamu begitu peduli sama aku, Raf?”
Araf menatapnya lama, sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan tapi penuh keyakinan.
“Karena aku tahu rasanya hidup dalam gelap, Cin. Dan aku nggak mau kamu terus terjebak di sana.”
Cintia tidak menjawab. Ia hanya memandang Araf dengan tatapan yang sulit diartikan, sementara pikirannya terus berputar.
Dan di kejauhan, ombak terus bergulung, membawa pertanyaan yang masih menggantung di udara.
tetel semangat ya Cintia
jadi Mak yg merasa takut tauuu
ambil hikmah dari kejadian dlu. it yg membuat km bertahan smpe skg
sebenarnya Cintia mimpi mu adakah gambaran yg terjadi kelak,rasa luka yg membawa dendam dan rasa dendam yg akan membawa celaka
apa sakit thor
mampir juga ya di cerita aku