Seorang mafia kejam yang menguasai Italia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki sisi gelap serupa dengannya. Mereka saling terobsesi dalam permainan mematikan yang penuh gairah, kekerasan, dan pengkhianatan. Namun, di antara hubungan berbahaya mereka, muncul pertanyaan: siapa yang benar-benar mengendalikan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Vittoria Moretti
Di malam yang tampak biasa di vila megah mereka, segalanya berubah saat sebuah kotak hitam tanpa pengirim diletakkan di ruang kerja Dante. Isinya hanya sebuah foto lama—potret dua gadis kembar berdiri berdampingan. Di balik foto itu, tertulis dalam tulisan tangan yang rapi:
“Kau hanya memilih satu wajah. Tapi dua hati pernah berbagi luka. —V.”
Dante memandang lama foto itu, rahangnya mengeras. Ia mengenali Valeria kecil… tapi gadis di sampingnya? Ia tak pernah tahu Valeria punya kembaran. Tak sekalipun ia menyebutkan nama Vittoria. Dan cara Valeria selalu menghindari masa lalunya… kini menjadi jelas.
Saat Dante menunjukkan foto itu padanya, Valeria diam membeku. Matanya kehilangan ketajaman dingin itu sesaat—seperti terhempas jauh ke masa lalu yang bahkan dia sendiri benci untuk mengingat.
“Dia... masih hidup,” gumamnya lirih. “Aku pikir dia sudah mati waktu itu.”
“Tapi dia tidak mati, dan dia mencarimu,” kata Dante pelan. “Vittoria Moretti...”
Valeria menggertakkan giginya. “Itu nama yang sudah aku kubur.”
Dan seperti mimpi buruk yang menjadi nyata, Vittoria muncul tak lama setelahnya—berpakaian elegan, namun tatapannya dingin dan haus darah. Mirip Valeria, tapi penuh kebencian.
“Aku menunggu lama, kakakku,” kata Vittoria, suaranya lembut tapi penuh racun. “Waktunya menuntaskan permainan kita yang belum selesai.”
Dante mulai menyadari bahwa Vittoria bukan hanya ancaman bagi Valeria. Dia cerdas, manipulatif, dan tampaknya sudah menyusup ke dalam jaringan mafia Eropa Timur. Dia tahu cara menyusup, menyelinap, bahkan mengadu domba.
Dan di tengah tekanan itu, Dante dihadapkan pada dilema:
Apakah ia akan melindungi Valeria dengan kekuatannya sendiri—mengintervensi permainan gelap antara dua saudari itu?
Atau… membiarkan Valeria menghadapi masa lalunya sendiri dan melihat siapa yang keluar hidup-hidup?
Valeria, dengan wajah tenangnya, hanya berkata:
“Jangan ikut campur. Ini pertarunganku. Kau sudah menyelamatkanku cukup banyak. Sekarang aku ingin berdiri sendiri.”
Tapi Dante tahu… tidak ada pertarungan yang sederhana ketika dua monster darah dingin berasal dari rahim yang sama.
Suasana malam itu terasa mencekik. Gudang tua di pinggiran Napoli dipenuhi cahaya remang dan udara lembab yang berbau besi dan sejarah berdarah. Di tengahnya, dua perempuan berdiri berhadapan—begitu mirip, tapi dipisahkan oleh tahun-tahun dendam, luka, dan cinta yang sama.
Valeria menggenggam pisau emas pemberian Dante erat di tangan kanannya. Vittoria berdiri santai, mengenakan gaun hitam panjang yang kontras dengan ekspresi wajahnya yang penuh kebencian… dan rindu yang disembunyikan.
“Kau ingin aku mati? Hanya karena masa lalu kita?” tanya Valeria tajam, matanya menyipit.
Vittoria tersenyum miring. “Ini bukan hanya soal masa lalu kita, kakakku. Ini tentang apa yang kau curi dariku.”
Valeria mengangkat alis. “Aku tidak tahu maksudmu.”
Langkah kaki terdengar dari balik kegelapan. Dante muncul—wajahnya datar, tapi matanya menunjukkan gelombang badai yang siap meledak. Ia menatap keduanya, lalu akhirnya fokus pada Vittoria.
“Sudah cukup,” katanya pelan.
Vittoria menoleh, menatapnya penuh emosi. “Ah, akhirnya kau muncul… Amore mio. Sudah lama, Dante.”
Valeria membeku. “Apa yang baru saja dia panggil kau?”
Dante tidak langsung menjawab. Tapi sorot matanya mengatakan semua.
Vittoria melangkah mendekat ke arah Dante. “Sebelum kau bertemu saudari kembarku ini, akulah yang kau peluk di malam-malam penuh darah. Kau lupa? Aku adalah obsesi pertamamu.”
Valeria merasa dunia di sekelilingnya meretih. Matanya beralih antara Dante dan Vittoria, perasaan campur aduk menghantam keras—cemburu, marah, dan pengkhianatan.
“Aku mencintaimu,” kata Vittoria lirih, matanya berkaca. “Dan kau membuangku, seperti aku bukan siapa-siapa. Tapi kemudian... kau jatuh cinta pada bayanganku. Pada dia.”
“Cukup.” Dante akhirnya bersuara tegas. “Itu sudah lama berlalu. Kau berubah. Dan aku tidak pernah mencintai bayangan, Vittoria. Aku mencintai siapa yang berdiri di sisiku dalam perang dan kesetiaan. Valeria bukan kamu.”
Vittoria tertawa getir, lalu kembali menatap Valeria. “Lucu, bukan? Kita tumbuh bersama. Kini kita berebut pria yang sama. Tapi kali ini… aku tidak akan kalah.”
Lalu, pertarungan dimulai.
Pisau bertemu pisau. Dua saudari, dua monster yang tercipta dari luka masa kecil yang sama, bertarung bukan hanya demi dendam—tapi demi pengakuan, demi cinta, demi tempat di sisi Dante.
Valeria terluka, tapi tetap berdiri. Darah mengalir di pelipisnya, namun matanya tak pernah kehilangan api. Vittoria mulai goyah, bukan karena kalah—tapi karena Dante tidak pernah menoleh padanya sekali pun sepanjang duel.
Hingga akhirnya, Valeria menghentakkan pisau ke tanah… dan mengarahkan pandangan dinginnya ke Vittoria yang terjatuh.
“Aku tidak butuh kau mati,” kata Valeria dengan suara rendah. “Kau sudah mati di matanya sejak lama.”
Dante melangkah mendekat… dan untuk pertama kalinya, ia mengulurkan tangan pada Valeria, menariknya menjauh.
Vittoria hanya bisa menangis… sendirian di lantai dingin gudang itu.
“Dan seperti itu, bayangan pun lenyap dari kehidupan mereka—kembali menjadi hantu masa lalu.”
Di perjalanan pulang dari gudang tua itu, suasana di dalam mobil terasa lebih dingin dari biasanya. Dante menyetir dalam diam, sementara Valeria menatap keluar jendela, pikirannya berkecamuk seperti badai yang menunggu waktu untuk meledak.
Ucapan Vittoria terus terngiang di telinganya.
“Tapi kemudian... kau jatuh cinta pada bayanganku.”
Valeria menggenggam pisau emas di pangkuannya—simbol cinta mereka. Tapi malam ini, benda itu terasa lebih seperti sarkasme ketimbang simbol kasih.
“Aku mirip dengannya,” katanya tiba-tiba, memecah keheningan.
Dante melirik sekilas. “Apa maksudmu?”
Valeria menoleh, menatapnya tajam. “Kau pernah mencintai Vittoria. Dan sekarang kau bersamaku. Apakah yang kau cintai itu aku… atau hanya bayangannya?”
Dante terdiam. Setir di tangannya terasa lebih berat dari biasanya. Lalu ia menarik napas pelan, matanya tetap fokus ke jalan.
“Kalau aku hanya mencintai bayangan,” katanya, “maka aku tidak akan memilih bertarung bersamamu. Aku tidak akan meninggalkan Vittoria di lantai gudang tadi. Dan aku pasti tidak akan mempercayakan hidupku di tangan wanita yang sama berbahayanya sepertiku.”
Valeria menatapnya lama. Jawaban itu rasional. Terlalu rasional. Tapi bukan itu yang ingin ia dengar.
“Lalu kenapa kau tidak pernah bilang bahwa dia adalah mantanmu?” suaranya mulai naik. “Kenapa kau sembunyikan itu dariku?”
Dante menghentikan mobil tiba-tiba di pinggir jalan yang sepi. Ia menoleh, wajahnya gelap namun penuh ketegasan.
“Karena aku takut kau akan berpikir seperti sekarang. Bahwa aku mencintaimu karena kau mengingatkanku padanya. Tapi kenyataannya tidak semudah itu, Valeria.”
Ia mendekat. “Aku mencintaimu karena kau gila. Karena kau haus kekuasaan. Karena kau bisa membunuh satu kota demi aku. Kau adalah versi dunia yang lebih kelam dan jujur. Kau adalah siapa yang kuinginkan… bukan siapa yang pernah aku miliki.”
Valeria menatapnya lekat-lekat. Matanya memerah—bukan karena sedih, tapi karena badai perasaan yang sulit dijelaskan. Ia menggigit bibirnya, menahan pertanyaan selanjutnya yang hampir keluar.
“Kalau begitu,” bisiknya, “buktikan. Buktikan bahwa aku bukan pengganti.”
Dante mengangkat alis. “Bagaimana?”
Valeria menyeringai pelan—senyuman yang penuh tantangan. “Bantu aku kita selesaikan semua dosa masa lalu. Bersama. Sampai tak ada lagi bayangan yang tersisa.”
Dante tersenyum tipis. “Itu lebih terdengar seperti Valeria yang aku cintai.”
Mobil melaju lagi… menuju darah, dendam, dan cinta yang tak pernah normal.