Seorang mafia kejam yang menguasai Italia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki sisi gelap serupa dengannya. Mereka saling terobsesi dalam permainan mematikan yang penuh gairah, kekerasan, dan pengkhianatan. Namun, di antara hubungan berbahaya mereka, muncul pertanyaan: siapa yang benar-benar mengendalikan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan Valeria
Dante sibuk dengan urusan bisnisnya, memastikan kerajaan mafianya tetap berjalan stabil di tengah kekacauan yang mereka ciptakan. Ia tahu Valeria tidak akan diam menunggu, tapi ia juga tidak menyangka seberapa cepat wanita itu akan bergerak sendiri.
Malam itu, di sebuah klub bawah tanah di Milan, Valeria menyelinap masuk mengenakan gaun hitam ketat yang membuatnya tampak seperti bagian dari keramaian. Musik berdentum keras, lampu-lampu redup berkedip-kedip, menciptakan ilusi surga dunia bagi mereka yang mencari pelarian.
Namun bagi Valeria, ini bukan tempat untuk bersenang-senang.
Ia datang untuk berburu.
Duduk di bar, Valeria menyeruput koktailnya dengan santai, matanya mengamati sekeliling. Lalu, ia menemukannya.
Lorenzo Marchesi.
Pria yang dulu menjadi tangan kanan salah satu musuh ayahnya. Pria yang mungkin masih menyimpan informasi tentang siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan keluarganya.
Lorenzo tidak menyadari kehadiran Valeria saat ia tertawa dengan beberapa rekannya di VIP lounge. Ia terlalu sibuk menikmati whiskey mahal dan wanita-wanita yang menempel di sekelilingnya.
Valeria menyeringai. Betapa mudahnya pria ini terbuai oleh kesenangan sementara.
Dengan langkah anggun, Valeria mendekat, sengaja membiarkan dirinya terlihat oleh Lorenzo. Pria itu mengangkat wajahnya, matanya yang sudah sedikit kabur karena alkohol menelusuri sosok Valeria dengan minat.
"Buonasera, signorina," sapa Lorenzo dengan suara beratnya. "Apa aku mengenalmu?"
Valeria tersenyum kecil, menundukkan sedikit kepalanya, seolah malu. "Mungkin belum, tapi kita bisa saling mengenal lebih baik malam ini."
Lorenzo tertawa, lalu memberi isyarat agar Valeria duduk di sampingnya.
"Ah, aku suka wanita yang tahu bagaimana berbicara," katanya, menuangkan minuman ke dalam gelas Valeria.
Valeria mengambil gelas itu, tetapi tidak langsung meminumnya. "Kau terlihat seperti seseorang yang tahu banyak hal."
Lorenzo mengangkat alisnya. "Oh? Seperti apa, contohnya?"
Valeria mendekatkan wajahnya ke telinga Lorenzo, lalu berbisik, "Seperti siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan keluarga Valentini."
Tubuh Lorenzo langsung menegang.
Valeria menarik diri dengan senyum manis. "Ah, kau mengenali nama itu, ya?"
Lorenzo menelan ludahnya, menatap Valeria dengan lebih serius sekarang. "Siapa kau sebenarnya?"
Valeria mendekat lagi, kali ini membiarkan ujung pisaunya yang tersembunyi di bawah mejanya menyentuh perut Lorenzo.
"Aku adalah seseorang yang memberimu pilihan, Lorenzo." Suaranya rendah, mematikan. "Kau memberitahuku apa yang aku ingin tahu, atau aku pastikan malam ini jadi malam terakhirmu."
Lorenzo berkedip, keringat mulai membasahi dahinya. Klub masih berdentum dengan musik keras, orang-orang tertawa dan minum-minum, tanpa menyadari bahwa tepat di antara mereka, seorang pria baru saja menjadi mangsa seekor predator.
"Kau tidak tahu apa yang kau lakukan, wanita gila," bisik Lorenzo.
Valeria menyeringai. "Oh, aku sangat tahu."
Lorenzo menghela napas gemetar. Ia bisa mencoba melawan, tapi ia juga tahu, jika wanita ini cukup berani untuk mendatanginya sendirian, berarti ia bukan orang sembarangan.
"Oke," gumam Lorenzo akhirnya. "Aku akan bicara. Tapi bukan di sini."
Valeria menepuk pipinya dengan ringan, seolah pria itu adalah seorang anak kecil. "Bagus sekali. Ayo kita bicara, sayang."
Ia menggamit lengan Lorenzo dengan manis, membawanya keluar dari klub.
Tidak ada yang tahu bahwa malam ini, nasib Lorenzo Marchesi akan berubah selamanya.
Lorenzo Marchesi tahu bahwa tidak ada jalan keluar dari situasi ini.
Valeria membawanya ke sebuah gudang tua di pinggiran Milan—tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota, jauh dari saksi mata. Tempat yang sempurna untuk menyimpan rahasia… atau mengubur seseorang.
Dengan satu dorongan ringan, Valeria membuat Lorenzo jatuh tersungkur di lantai beton yang dingin. Ia menghela napas pelan, membiarkan pria itu merasakan ketakutan beberapa detik lebih lama sebelum akhirnya berbicara.
"Baiklah, Lorenzo," katanya sambil bersandar di meja kayu usang. "Kita bisa melakukan ini dengan cara mudah… atau cara yang sangat menyakitkan. Kau yang memilih."
Lorenzo menatap Valeria, matanya dipenuhi ketakutan dan kebencian sekaligus. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?"
Valeria berlutut di depannya, menatapnya lekat-lekat. "Kebenaran."
Lorenzo tertawa sinis, meskipun tubuhnya masih gemetar. "Kebenaran? Apa yang akan kau lakukan jika aku memberitahumu? Membunuhku setelahnya?"
Valeria tersenyum, matanya bersinar penuh kegilaan. "Mungkin. Tapi itu tergantung pada seberapa bergunanya kau bagiku."
Lorenzo mengusap wajahnya dengan kasar, tahu bahwa tidak ada pilihan lain. "Dengar… Aku hanya pion waktu itu. Orang yang benar-benar menarik tali di balik semua ini bukanlah aku."
Valeria menyipitkan matanya. "Siapa?"
Lorenzo menelan ludah. "Antonio Moretti."
Nama itu membuat Valeria membeku sejenak.
Moretti.
Salah satu keluarga mafia terbesar di Italia. Jika benar Moretti yang berada di balik pembantaian keluarganya, maka musuh yang harus ia hadapi jauh lebih besar dari yang ia kira.
"Apa peran Moretti?" Valeria bertanya dengan nada berbahaya.
Lorenzo menghela napas berat. "Moretti tidak hanya memerintahkan pembunuhan keluargamu, tapi juga memastikan tidak ada satu pun dari mereka yang bisa membalas dendam. Mereka menyuap polisi, membayar informan, dan bahkan menyingkirkan siapa pun yang berani menyelidikinya."
Valeria mengepalkan tangan.
Jadi inilah alasan mereka menghilang begitu saja dari catatan sejarah.
Lorenzo melanjutkan dengan suara lirih. "Mereka mengira kau sudah mati. Tapi sekarang kau kembali… dan jika Moretti tahu kau masih hidup, dia tidak akan diam saja."
Valeria tersenyum tipis. "Bagus. Itu berarti aku bisa datang kepadanya sebelum dia datang kepadaku."
Lorenzo memandangnya dengan ketakutan. "Kau gila."
Valeria terkikik pelan. "Aku lebih dari itu."
Lalu, tanpa ragu sedikit pun, ia mengeluarkan pistol dari balik jaketnya dan menembakkan peluru tepat di antara kedua mata Lorenzo.
Darah menyembur, tubuh pria itu jatuh ke lantai dengan suara berdebum. Valeria tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Baginya, kematian adalah bagian dari permainannya.
Ia menarik napas dalam, lalu mengeluarkan ponselnya.
Dante harus tahu.
Tapi sebelum ia bisa mengetik pesan, sebuah suara dalam benaknya berbisik.
"Dante tidak perlu tahu semuanya."
Valeria menyeringai sendiri.
Untuk saat ini, ini adalah permainannya. Dan ia tidak akan membiarkan siapa pun mengendalikannya—bahkan Dante Salvatore.