Di usianya yang baru menginjak 17 tahun Laila sudah harus menjadi janda dengan dua orang anak perempuan. Salah satu dari anak perempuan itu memiliki kekurangan (Kalau kata orang kampung mah kurang se-ons).
Bagaimana hidup berat yang harus dijalani Laila dengan status janda dan anak perempuan yang kurang se-ons itu?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Kue Laila yang tidak terjual nyatanya membawa berkah untuk sang Ibu tua renta. Katanya kuenya itu untuk keluarganya yang belum makan. Si Ibu pun pulang dengan perut kenyang, serta membawa pulang kue juga.
"Habis juga 'kan."
Salwa tersenyum, kalau Adiknya sudah dari tidur.
"Besok jualan lagi, Bu?."
"Insya Allah jualan, Kak"
"Oke, Bu."
Ibu Laila menggendong Halwa, menidurkannya di atas tempat tidur. Salwa pun menyusul, tidur di samping sang Adik.
Keesokan paginya.
Arman datang bertamu ke rumah Laila, laki-laki itu langsung memasang spanduk dengan tulisan besar Warung Laila. Menjual aneka kue pisang. Harga mulai dari Rp. 1.000,00. Menerima pesanan, Arman mencantumkan nomor ponselnya. Lengkap dengan berbagai gambar-gambar kue guna semakin menarik perhatian pembeli. Ada juga banner yang turut menghiasi depan rumah Laila.
"Semangat, Ibu Laila." Arman mengangkat tangannya yang mengepal. Menyemangati Ibu Laila di depan Salwa dan Halwa.
"Terima kasih, semoga Allah membalas semua kebaikan Pak Arman."
"Aamiin."
"Tapi ngomong-ngomong saya tidak setua itu kalau harus dipanggil Pak. Panggil saya Arman saja. Saya di atas kamu lima tahun."
Laila mengangguk.
"Lalu bagaimana aku dan Halwa memanggil?."
"Kalau kalian baru harus tetap memanggil Pak."
"Oke, Pak Arman." Salwa dan Halwa mengacungkan jempol mengikuti Arman.
Arman tidak pernah berlama-lama berada di rumah Laila. Karena tetap menjaga nama baiknya. Apalagi Laila tidak pernah menawarkan minum kalau bukan Salwa dan Halwa yang berinisiatif. Tapi sejauh ini Arman tidak mempermasalahkannya. Cukup mengerti dengan status Laila.
"Semoga saja hari ini ada yang beli ya, Bu."
"Semoga ya, Kak."
"Aamiin." Ucap ketiganya.
Sambil menunggu adanya pembeli, Laila mencoba membuat bolu pisang dengan panduan buku resep yang diberikan Arman. Di sana tertulis secara detail, semoga saja hasilnya lebih bagus daripada kemarin.
Waktu sudah mau sore, Halwa dan Salwa tertidur di teras. Ibu Laila segera memindahkan mereka. Perempuan itu kembali ke teras, duduk sebentar di sana. Menunggu, siapa tahu ada pembeli yang datang. Namun sampai memasuki waktu shalat asar tapi belum ada yang datang membeli.
Laila pun masuk, menutup pintu. Melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang muslim. Baru juga Laila salam, sudah ada yang memanggilnya dari luar. Masih menggunakan mukena Laila pun keluar. Ternyata itu Teh Linda.
"Belum ada yang laku, Laila?."
"Belum, Teh Linda."
"Terkadang rezeki itu ada yang harus di jemput."
"Iya, Teh."
"Ya sudah aku bawa semua kuenya, ada layar tancap di kampung sebelah. Kalau kamu pasti tidak mau ke sana 'kan?."
"Iya, Teh."
"Kamu masih ada pisangnya?."
"Masih ada Teh."
"Kamu goreng saja, biasanya laku untuk menemani kopi."
"Berapa banyak, Teh?."
"Tiga puluh saja."
"Iya, Teh."
"Nanti aku ke sini lagi."
"Kamu percaya tidak sama aku, Laila?."
"Percaya."
Teh Linda pergi membawa kue-kue Laila yang masih utuh, lima puluh pcs. Laila sendiri segera menggoreng pisang, mengikuti resep yang ada di buku resepnya Arman.
Laila tersenyum senang, pisang gorengnya sesuai yang diinginkannya dan bolu pisang pun sangat sempurna menurutnya.
"Kamu membuat bolu juga?."
"Iya, Teh. Ini untuk Teh Linda, coba cicipi dulu." Laila menyerahkan dua potong bolu dan Teh Linda menerimanya. Segera mencicipinya dan ternyata rasanya enak, pas di lidah tidak terlalu manis. Dan teksturnya sangat lembut. Pisang gorengnya juga enak, ada kriuk-kriuknya.
"Kamu pintar juga ya, Laila."
"Masih belajar, Teh Linda."
"Ya sudah aku bawa semuanya. Kamu doakan semuanya pulang dalam bentuk uang."
"Iya, Aamiin."
Tidak ingin membuang waktu lagi, Teh Linda segera menaiki motornya. Membawa jualan Laila kampung sebelah. Mulut perempuan itu juga komat kamit, memohon semua jualan Laila habis tanpa sisa. Teh Linda segera membuka lapak di tengah keramaian orang-orang. Bersaing dengan berbagai jenis makanan yang sudah ada di sana.
Film layar tancap sudah dimulai, tapi dagangan Teh Linda belum tersentuh juga. Empat puluh menit pemutaran film, barulah pembeli sudah mulai berdatangan, apa yang dijualnya sangat cocok untuk mengganjal perut mereka yang sudah mulai lapar. Bahkan hanya kurang dari dua puluh lima menit dagangan Teh Linda habis terjual. Perempuan itu sangat senang bukan kepalang.
Tanpa menunggu film selesai dirinya telah pulang. Ada kebahagiaan tersendiri yang dirasakan Teh Linda. Makanan yang dijualnya telah habis, bahkan masih ada orang yang mau membeli lagi karena rasanya memang sangat enak. Mereka ketagihan.
"Laila...Laila..." Belum juga motor berhenti Teh Linda sudah memanggil Laila sangat kencang. Meluapkan rasa bahagianya.
Laila yang mendengar langsung membuka pintu. Berdiri di teras sambil menunggu Teh Linda turun dari motor.
"Jualannya habis semua, Laila." Teh Linda bicara penuh semangat.
Mereka pun duduk lesehan di atas teras.
"Alhamdulillah, Teh."
"Mereka semua menyukai kue buatan kamu, Laila. Besok masih ada layar tancapnya. Kamu buat yang banyak kuenya, ya. Besok siang sore aku ambil."
Teh Linda menyerahkan plastik berisi uang hasil penjualan pada Laila. Laila pun segera mengeluarkan uang dua puluh lima ribu, kemudian menyerahkannya pada Teh Linda dari keuntungan penjualannya.
"Ini apa, Laila?."
"Hasil keuntungannya saya bagi dua."
"Tidak perlu, Laila" Teh Linda menolak.
"Tidak apa-apa Teh Linda, ambil saja. Ini rezeki kita."
Teh Linda menatap uang itu kemudian beralih menatap Laila.
"Kamu ikhlas?."
"Tentu saja, tapi maaf cuma sedikit."
"Ini cukup besar, Laila. Semoga besok habis lagi jualannya."
"Aamiin."
*****
Sesuai permintaan Teh Linda, Laila memberanikan diri membuat kue cukup banyak. Masing-masing tujuh puluh pcs. Pengerjaannya di mulai dari subuh, selesai benar-benar saat Teh Linda datang ke rumah.
"Pasti kamu capek banget semuanya dikerjakan sendiri."
"Kalau capek pasti iya, tapi ada anak-anak yang selalu bantu."
"Ya sudah aku jalan sekarang, takutnya keburu sore."
"Iya Teh, hati-hati."
Laila merapikan dapur yang cukup berantakan itu. Untungnya Salwa dan Halwa sudah bisa mengurus diri sendiri jadi dirinya tidak terlalu capek dengan mengurus kedua anaknya.
"Ibu."
"Apa, Kak."
"Ada Pak Arman di depan."
"Iya."
Laila pun menyudahi aktivitasnya, segera menemui Arman.
"Sudah habis jualannya?."
"Saya tidak jual di rumah karena saya repot."
"Repot kenapa?."
"Teh Linda membantu jualan saya ke kampung sebelah, ada layar tancap katanya tiga malam."
"Laku?."
"Alhamdulillah."
Arman mengangguk sembari ikut mengucap alhamdulillah.
"Untuk hari minggu besok ada pesanan. Tapi bolu pisang sepuluh loyang."
"Oh iya, kamu belum mencoba bolu pisang yang tadi dibawa Teh Linda." Tanpa diminta tolong Salwa sudah membawa bolu yang memang disiapkan untuk Pak Arman nya.
"Ini sempurna banget." Arman menelannya tanpa merasa seret.
"Alhamdulillah, saya menggunakan resep dan cara kamu." Laila tersenyum tipis.
"Aku senang kalau itu dapat membantu."
Untuk pertama kalinya Arman melihat senyum manis pada bibir Laila.
Bersambung.....
jangan lupa dateng aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia
jangan lupa mampir di beberapa karyaku ya😉