Permainan anak kecil yang berujung menjadi malapetaka bagi semua murid kelas 12 Ips 4 SMA Negeri Bhina Bhakti.
Seiring laporan dari beberapa orang tua murid mengenai anaknya yang sudah berhari-hari tidak pulang ke rumah. Polisi dan tim forensik langsung bergegas untuk mencari tahu, tidak ada jejak sama sekali mengenai menghilangnya para murid kelas 12 yang berjumlah 32 siswa itu.
Hingga dua minggu setelah laporan menghilangnya mereka tersebar, tim investigasi mendapat clue mengenai menghilangnya para siswa itu.
"Sstt... jangan katakan tidak jika kamu ingin hidup, dan ikuti saja perintah Simon."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cakefavo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Mesin Cuci
Suara langkah kaki yang menggema di lorong sekolah saat Michael berlari, keringat dingin membasahi seluruh wajah Michael. Gadis itu berlari untuk melindungi diri dari kejaran sesosok wanita yang menyeramkan, dengan panik Michael memasuki ruang lab fisika dan langsung mengunci pintunya rapat-rapat.
Kedua kata Michael berkaca-kaca, ia melihat sekeliling saat menyadari jika ruangan yang di masukinya gelap, nafas Michael menderu. Perlahan, ia melangkah dan mengawasi ruangan yang minim akan cahaya itu.
Jantung Michael hampir lepas saat mendengar suara barang terjatuh, ia langsung melihat ke arah sumber suara. Beberapa detik kemudian, terdengar suara geraman seseorang.
"Simon says..."
Tubuh Michael menegang dan dia mundur beberapa langkah hingga dia berhenti saat membentur tembok, ia kembali melihat sekeliling ruangan yang gelap.
"Simon says..."
Suara perempuan itu membuat jantung Michael berdegup kencang, dia memejamkan mata saat suara itu semakin terdengar sering dengan intonasi suara yang lebih tinggi. Saat petir menyambar yang menyebabkan ruangan bercahaya karena kilat, Michael dapat melihat banyaknya para mayat teman-temannya yang terbaring di atas lantai dengan darah yang sudah mengering serta bau busuk yang menusuk indra penciumannya.
"SIMON SAYS!"
Michael terbangun dengan nafas yang terengah-engah, Denzzel yang berada di sampingnya terkejut dan segera memegang pundak gadis itu untuk menenangkannya.
"Lu kenapa? lu mimpi buruk?"
Michael terdiam sesaat untuk mengatur nafasnya, jantungnya berdebar kencang. Bagaimana mimpi itu begitu nyata baginya, bahkan membuat jantungnya berdebar-debar seperti ini.
"Gue... gue baik-baik aja," jawabnya.
Michael pun melihat sekeliling, cahaya matahari masuk melalui jendela kelas, ia pun melihat kearah jam dinding saat jarum jam sudah menunjukan pukul sembilan pagi, Denzzel tersenyum tipis dan segera mengacak-acak rambut sahabatnya itu.
"Gue sengaja gak bangunin karena keliatannya lu capek banget, sekarang karena lu udah bangun, lu mandi dulu aja di toilet siswa, terus kita ke kantin bareng."
Michael kembali memperhatikan sekeliling kelasnya, melihat Naira dan juga Alin yang sudah berdandan cantik. Tidak di heran lagi, mereka berdua yang selalu membawa peralatan make up ke sekolah.
Michael pun bangkit dari tempat duduknya dan segera berjalan menuju kamar mandi guru, biasanya disana di sediakan peralatan mandi seperti sabun dan juga shampo.
Beberapa menit setelah mandi, Michael kembali mengenakan pakaian seragamnya, dia berjalan menuju wastafel dan segera mencuci tangannya. Saat ia mengangkat kepalanya dan menatap ke cermin, tubuhnya membeku saat ia melihat sosok wanita yang semalam muncul di mimpinya itu ada di belakangnya, ia pun segera menoleh kebelakang dan terkejut saat melihat Alifa ada disana, Michael pun menghembuskan nafasnya perlahan.
"Lu gak apa-apa?" tanya Alifa.
Michael menggeleng pelan dan mematikan keran, ia pun segera berjalan mendekati gadis itu dan berdiri di depannya.
"Mau mandi?" tanya Michael yang langsung di angguki oleh Alifa.
"Gue ngerasa mual, mungkin mandi bakal bikin gue mendingan."
Michael mengangguk lalu pergi meninggalkan Alifa sendirian di kamar mandi, dia pun berjalan menuju kantin.
Di kantin, Michael melihat sekeliling untuk mencari Denzzel. Disana ada beberapa teman-temannya juga yang sedang sarapan, saat matanya menangkap sosok Denzzel yang sedang duduk bersebelahan dengan Chaiden dan juga Vino, untuk sesaat ia terdiam, ragu untuk menghampirinya.
"Shortie, sini!" panggil Denzzel sambil melambaikan tangannya yang membuat Michael tersadar, kedua laki-laki yang ada di sampingnya pun melihat Michael.
Gadis itu menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya berjalan mendekati Denzzel, ia duduk di seberangnya, Hanni yang baru saja mengambil makanan segera menghampiri mereka dan duduk di sebelah Michael.
"Ada untungnya juga, kantin gak ada yang ngejaga dan kita bisa makan tanpa harus bayar," kata Hanni sambil terkekeh, dia pun segera menyantap makanannya.
Denzzel tersenyum sambil melihat Michael, dia memberikan sebungkus roti kepada sahabatnya karena tahu jika Michael tidak akan bisa makan nasi saat di pagi hari, sambil tersenyum Michael pun menerimanya.
"Lu mau kemana?" suara Kanin terdengar saat bertanya kepada Alin, tetapi Michael tidak terlalu memperdulikannya dan melanjutkan memakan rotinya.
"Gue mau minjem mesin cucinya bi Tiara, dia ada mesin cuci kan disini?"
Kanin mengangguk, membenarkan pertanyaan Alin. Sedangkan Alin pun segera memasuki warung kecil milik bi Tiara, dia membayangkan saat dimana dia selalu di marahi oleh wanita paruh baya itu karena memasuki warung kecilnya hanya untuk melihat anaknya yang masih berusia 5 tahun, tetapi sekarang suara itu tidak lagi terdengar dan Alin merindukannya.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara teriakan Alin di dalam sana, yang membuat Michael berhenti makan. Mason dan yang lainnya pun segera berlari untuk melihat apa yang telah terjadi, begitu mereka masuk, terlihat Alin yang sedang terduduk di lantai dengan wajahnya yang pucat.
"D-disana..." gumam Alin sambil menunjuk kearah mesin cuci.
Mason pun segera mendekati mesin cuci dan membukanya, seketika dia mundur beberapa langkah dan membuang mukanya ke arah lain, membuat yang lainnya penasaran.
"Sialan!" umpatnya.
"Ada apa?" tanya Reygan.
"Lu liat sendiri."
Karena penasaran Reygan pun segera mendekati mesin cuci dan membukanya, seketika dia bereaksi sama seperti Mason, Denzzel pun menghampiri mereka dan segera memeriksanya.
Michael dan Kanin membantu Alin untuk bangkit dan membawanya keluar ruangan. Begitu Denzzel membuka mesin cuci, dia melihat potongan tubuh manusia di dalamnya, dia pun segera memalingkan wajahnya dan menutup kembali mesin cuci tersebut, Axel memperhatikannya dengan wajah yang pucat.
"K-kenapa?" tanya Axel.
"Sialan anjing, siapa yang udah ngelakuin ini, emang harus banget sampe segitunya?" teriak Mason dengan kesal memukul meja.
"Siapa dia?" tanya Yahezkael.
"Elias," jawab Denzzel sambil memejamkan matanya.
Michael pun kembali memasuki ruangan dan membuka mesin cuci untuk memeriksanya, dapat terlihat potongan tubuh Elias yang mengkhawatirkan dan juga begitu mengerikan, bagaimana kepala dan wajahnya yang hancur dan retak serta beberapa tubuhnya yang berpisah secara tidak wajar.
"Gak ada pengumuman apapun kan? kenapa bisa kayak gitu?" tanya Nijan dengan suara yang bergetar.
"Ini bukan karena di eksekusi, gue semalem bahkan ngeliat dia udah tidur di kelas," sahut Axel.
"Pembunuhan? apa motifnya dia ngebunuh Elias sampe segitunya!" kata Jejen sambil menggertakan giginya.
"Delapan orang di kelas kita meninggal, tapi kematian Elias yang lebih parah," gumam Hanni.
Karena penasaran San yang sedang memegang makanannya mengintip ke arah mesin cuci, dia pun segera menahan mual dan langsung pergi keluar ruangan.
"Sialan, jadi gak nafsu makan gue!"
"Kita semalem tidur dan gak tau apa-apa, walaupun Elias di eksekusi mungkin kita kebangun karena suara wanita itu di ruang siaran..." ucap Denzzel sambil menatap satu per satu temannya.
"Udah fiks ini pembunuhan, gila!" kata Risha sambil memainkan jari-jarinya karena takut.
"Sialan, ini ulah Simon pasti!" Hannah bersuara sambil mendengus kesal.
"Jujur aja anjing siapa Simonnya, lu yang jadi Simon parah banget, ngebunuh temen kelas kita kayak gitu, gak ada otak apa?!" teriakan Rean menggema di udara.
Tidak ada satu pun dari mereka yang menjawab ataupun bergerak, mereka takut untuk bereaksi karena tidak ingin di tuduh yang tidak-tidak.
"Lu semua mau pulang, kan? cari tau siapa Simonnya, gak usah diem doang kayak orang dongo!" lanjut Rean.
Denzzel melangkah maju, suaranya tegas dan berwibawa. "Cukup! Kita gak akan nyelesain apa pun dengan saling nuduh kayak gini. Kita harus tenang dan berpikir rasional. Kalau kita terus kayak gini, kita cuman bakal nimbulin lebih banyak kekacauan dan kehilangan lebih banyak teman-temen kita."
Rean menatap Denzzel lalu terkekeh pelan, ia pun maju satu langkah sehingga jaraknya dengan Denzzel hanya beberapa centimeter. "Lu nyuruh kita tenang? bahkan setelah ngeliat temen sekelas kita mati kayak gitu? kita gak tau bakalan kayak gimana kalau ngelanjutin permainannya, bisa-bisa kita bakalan berakhir kayak gitu!" bentaknya.
"Gue tau-"
"Lu disini kayak biasa aja, apa jangan-jangan lu Simonnya?!" tuduh Rean sambil mencengkram kerah baju Denzzel.
"Apa ini waktunya buat bertengkar?" tanya Kanin sambil maju beberapa langkah, berniat untuk menghentikan Rean.
Rean menatap Kanin dengan tajam lalu mendekatinya, urat-urat di wajahnya dapat terlihat saat dia sedang mencoba untuk menahan emosinya sendiri.
"Terus apa? Apa saran lu wakil ketua kelas? Lu mau nyuruh gue buat ngelakuin apa?!" teriaknya.
Axel langsung berdiri di depan Kanin saat Rean mendekatinya, tatapannya tak kalah tajam saat menatap Rean, membuat laki-laki itu menggeram frustasi.
"Sialan, dasar bodo!"
Michael menghela nafas dan segera mendorong pundak Rean hingga dia mundur beberapa langkah, suasana disana seketika menjadi tegang.
"Lu gak bisa seenaknya nuduh kayak gitu, gimana kalau tuduhan itu balik ke diri lu sendiri?" tanya Michael dengan tenang.
"Lu gak usah ikut campur!"
"Disini gue ada hak buat ikut campur!" bentak Michael yang membuat Rean terkejut dan langsung terdiam. Michael yang selalu pendiam, tidak banyak bicara dan bertindak kini terlihat berbeda di matanya, bahkan Hannah terkekeh pelan melihat sikap berani gadis itu.
Michael melihat ke sekeliling teman-teman sekelasnya, tatapannya tegas dan serius.
"Kita harus saling bekerja sama dan mengungkap identitas Simon sebenarnya. Jangan biarin rasa takut dan kecurigaan menguasai kita. Kita lebih kuat bersama, dan kita akan menang jika kita bekerja sama."
Teman-teman sekelas mengangguk tanpa suara, ekspresi mereka menunjukkan campuran antara tekad dan ketakutan. Mereka menyadari bahwa kata-kata Michael masuk akal, dan mereka perlahan mulai tenang, napas mereka lebih teratur dan mantap.
Axel melangkah maju, tangannya sedikit gemetar saat berbicara. "Lu bener, kita gak boleh ngebiarin Simon menang. Kita harus bekerja sama dan menemukan cara buat ngungkapin identitas Simon. Tapi bagaimana kita bisa saling percaya kalau siapa pun di antara kita Simon?"
Denzzel melirik ke arah Axel lalu ke seluruh teman-temannya, ekspresinya tegas dan penuh tekad.
"Itu bener, kita gak bisa saling percaya gitu aja. Tapi, kita juga gak bisa ngebiarin kecurigaan dan paranoia memecah belah kita. Kita harus tetep waspada dan jeli, tapi kita juga harus saling ngasih manfaat dari keraguan. Kita semua bareng-bareng dalam hal ini, dan kita harus saling ngedukung kalau kita mau bertahan hidup."
Denzzel terdiam sejenak, tatapannya bertemu dengan mata setiap teman sekelasnya, diam-diam menyampaikan tekad dan kepercayaan dirinya. "Kita bisa ngelakuin ini. Kita lebih cerdas, lebih kuat, dan lebih tangguh daripada yang dipikirin Simon. Kita hanya perlu fokus, bekerja sama, dan memercayai insting kita bareng-bareng," lanjutnya.
Mereka mengangguk setuju, ketakutan dan ketidakpastian mereka meredam karena kata-kata Denzzel. Mereka menyadari bahwa satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah bekerja sama dan menggunakan akal sehat mereka untuk mengungkapkan siapa Simon sebenarnya.