Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Balik Senyum Palsu
Alina Zafirah Al-Mu'tasim, merupakan putri tunggal dari seorang pengusaha yang cukup kaya dan di segani. Wanita berparas cantik dengan mata cokelat terangnya yang memukau.
Lahir dalam keluarga berada membuat hidupnya hampir tak pernah merasa kekurangan, semua yang dia inginkan bisa dia dapatkan dengan mudah, karena ayahnya adalah seorang pria yang royal dan suka memanjakan keluarga.
Sejak kecil hingga masuk universitas, Alina selalu menempuh pendidikannya di sekolah berbasis agama islam. Dia juga pernah masuk ke Islamic boarding school selama 3 tahun pada masa SMA, lalu masuk ke universitas Islam Indonesia dan mengambil jurusan Ekonomi.
Keluarganya sangat religius dan selalu memperhatikan sikap dan pergaulan Alina di dalam maupun di luar rumah. Menjadikan gadis bercadar itu tak hanya terjaga dari sentuhan pria asing tapi juga membuatnya menjadi pribadi yang sopan santun dan mandiri.
Alina juga tidak memiliki hubungan percintaan yang spesifik. Dia tidak pernah bergaul dengan pria yang bukan mahromnya. Bicaranya yang tegas dan tidak mendayu membuat semua pria di kampusnya nampak segan dan kagum, apalagi di dukung dengan kecerdasan yang dimilikinya membuat teman temannya kerap merasa insecure.
Namun kehidupan mulai berubah ketika sang ibu meninggal dunia saat ia berusia 21 tahun, tepatnya 2 tahun yang lalu. Alina merasa terguncang dengan wafat sang ibu yang sangat ia cintai, dan salah satu warisan yang di tinggalkan untuknya hanyalah wasiat untuk selalu istiqomah dalam mengamalkan kewajiban dan nilai nilai agama sebagai seorang Muslimah.
Perjodohannya dengan Liam pun di atur semata mata untuk jasa timbal balik. Dulu, Aiden Company milik ayah Alina hampir bangkrut karena ketidakmampuannya beradaptasi dengan teknologi baru dan persaingan yang semakin ketat. Pabrik baru yang diharapkan menjadi penyelamat justru menjadi beban besar akibat kesalahan manajemen dan biaya yang membengkak. Hutang menumpuk, kontrak hilang, dan perusahaan terancam runtuh.
Di tengah kekalutan itu, Hamza merasa tercekik oleh keadaan dan bayang bayang kemiskinan terus menghantui. Meski begitu ia tak patah semangat untuk mencari bantuan dana dari investor baru, hingga ia bertemu dengan Louise Damien yang bersedia menginvestasikan sebagian besar sahamnya, disitulah hubungan baik di antara keluarga Alina dan Liam terjalin.
Kini saat Perusahaan Damien Corp dan nama baiknya terlibat skandal yang melibatkan nama anak mereka. Louise meminta agar Hamza membantu mereka mengembalikan nama baik Liam dengan menjodohkan Liam dengan Alina. Berat bagi Hamza untuk menerima permintaan itu namun mengenang jasanya yang begitu besar pada keluarganya membuatnya tak enak untuk menolak.
...[••••]...
Alina melangkah perlahan menuruni anak tangga, anggun dan tenang, dengan langkah yang membuat gaunnya berdesir lembut. Di ruang tamu, keluarga suaminya sedang asyik berbincang, terdengar tawa hangat yang mencairkan suasana pagi itu. Saat Alina muncul, semua mata tertuju padanya, dan senyum ramah langsung terpancar dari wajah ibu mertuanya.
Nyonya Anna berdiri, menyambut menantunya.
"Selamat pagi, sayang"sapanya lembut, matanya berbinar seraya memegang lengan menantunya.
Alina tersenyum, lalu menundukkan kepala dengan sopan.
"Selamat pagi, Mah. Maaf, aku seharusnya yang lebih dulu menyapa."
Ibu mertuanya tertawa kecil, mengibaskan tangan seolah-olah menepis formalitas itu.
"Ah, tidak apa-apa. Saya hanya merasa senang sekali, tidak menyangka akhirnya punya menantu yang sholehah dan lembut sepertimu!" Suaranya terdengar tulus, dan ada kebanggaan yang tersirat di dalamnya.
Alina tersenyum hangat, hatinya sedikit lega mendengar penerimaan yang begitu baik dari keluarga suaminya.
"Alina juga merasa sangat bahagia, Mah. Semoga Mamah selalu menyayangi Alina seperti ini."
Ibu mertuanya tersenyum, lalu menyentuh tangan Alina dengan lembut.
"Tentu saja, mulai sekarang kamu adalah putriku. Saya akan memperlakukanmu seperti anak kandung saya sendiri, jangan khawatir."
Alina menunduk sedikit, matanya berbinar penuh terima kasih.
"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Mah. Alina sangat bersyukur."
Suasana terasa hangat, dan tawa kecil kembali memenuhi ruangan. Namun, tiba-tiba ibu mertuanya menambahkan dengan nada bercanda,
"Kalau Liam sampai memperlakukanmu dengan buruk, kasih tahu Mamah ya. Biar saya jewer kupingnya."
Semua orang tertawa, termasuk Alina, meski hatinya sedikit bergetar mendengar nama suaminya disebut. Namun ia tetap tersenyum dan tertawa kecil.
"Selamat pagi, Mah... Selamat pagi semuanya," terdengar suara Liam, yang baru saja menuruni tangga dengan langkah tenang. Semua orang menoleh padanya, melihat pria itu bergabung di sofa, duduk bersama keluarganya.
"Selamat pagi..." jawab mereka serentak, kecuali Alina yang diam-diam memperhatikan Liam dari sudut matanya.
"Liam... Kau terlihat segar pagi ini. Sepertinya malam pertamamu sukses besar, ya?" Daren, pamannya, berseloroh, senyum penuh arti mengembang di wajahnya. Tak ada yang tahu bahwa di balik wajah berseri Liam, tersimpan rasa benci yang ia sembunyikan terhadap perjodohan ini.
Tawa pun kembali pecah, seolah-olah semua orang memahami maksud dari wajah Liam yang terlihat puas. Semua menertawakan kemungkinan bahwa malam pertamanya berjalan mulus.
Liam, yang tak ingin menimbulkan kecurigaan, ikut terkekeh kecil dan mengangguk.
"Bisa saja, Paman... Tapi, ya, Alina memang sangat cantik dan penurut. Aku langsung jatuh cinta padanya." Suaranya terdengar meyakinkan, dan saat ia memandang Alina, ia sempat mengedipkan satu matanya, sebuah isyarat samar yang dipenuhi ancaman agar Alina ikut berpura pura dalam sandiwara ini.
"Uh, so sweet!" keluarganya bersorak riang, tawa mereka pecah. Sementara Alina hanya bisa tersenyum tipis, sepasang matanya sejenak teralih ke arah atap, sebelum beralih kembali menatap keluarganya yang tampak bahagia.
"Alina, apa kau hanya akan mengobrol dengan ibu mertuamu, atau kau mau bergabung dengan kami di sini?" suara Paman Daren kembali menggema, memecah lamunannya.
Alina menoleh, memiringkan tubuh sedikit ke arah Daren, matanya menyapu isi meja tamu yang di penuhi gelas kopi, dan beberapa batang bungkus rokok, serta 3 botol mewah anggur fermentasi.
Dia sempat terheran dengan adanya botol botol itu di pagi hari, atau semua itu hanya sisa sisa pesta semalam?
"Aku mau... Tapi sayangnya, aku tidak suka asap dari tembakau dan aroma Wine itu, Paman!"
Daren tertawa pelan, meremehkan.
"Itu karena kau belum tahu, semua ini adalah simbol kejayaan dan kebanggaan seorang konglomerat,"
Alina menatapnya dengan tenang, namun suaranya mengandung ketegasan.
"Kebanggan seperti apa yang akan merugikan diri sendiri Paman Daren? bukankah setiap hisapan dan tegukannya merupakan racun yang bisa membunuh perlahan lahan?"
Ruangan itu hening mendadak ada ketegangan, sebelum ayah Alina, yang duduk di sudut, segera memanggil putrinya,
"Alina..." Nada suaranya penuh kekhawatiran, takut jika ucapannya menyinggung keluarga suaminya.
Namun, tiba-tiba, suara tepukan tangan terdengar dari arah pintu. Semua mata beralih ke arah sumber suara, dan di sana, adik kandung Liam, Evan, baru saja masuk.
"Wah wah hebat, hebat... kau benar benar luar biasa, kakak ipar. Jika aku juga memiliki istri sepertimu aku akan sangat bangga!" katanya sambil tersenyum lebar, memandang Alina dengan kesan menggoda.
Liam melirik Evan dengan tatapan tajam, tidak menyukai perhatian yang terlalu besar dari adiknya. Namun, ibunya, Nyonya Anna, tersenyum lembut.
"Apa yang dikatakan Evan memang benar," tambahnya.
"Saya setuju dengan pendapat menantuku. Alina memiliki prinsip yang kuat dan bijak. Saya senang sekali, Liam beruntung mendapat istri sepertinya."
Alina tersenyum tipis mendengar pujian itu, sementara Liam tetap duduk diam, menyembunyikan rasa tertekannya di balik senyum palsu yang ia pasang sejak awal.
...[••••]...
Bersambung....
ayo la firaun, ad yg halal gk usah lgi mikiri msa lalu yg gitu2 az. mncoba mengenal alina psti sangt menyenangkn krna dy wanita yg cerdas. semakin k sini alina akn mnunjukn sikp humoris ny dn liam akn mnunjukkn sikap lembut walau pn msih datar.
haaa, liam dengar tu ap kta raka. smga raka, kau memg sahabt yg tulus y raka. cuci trus otak liam biar dia meroboh degn sendiriny benteng tinggi yg ud dy bangun.
doble up kk😄
gitu dong alina, gk usah sikit2 nangis
sok cuek, sok perhatian. liam liam, awas kau y 😏
lanjut thor.