Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Pertama
Ezra, yang selama percakapan lebih banyak diam, akhirnya angkat bicara. "Jakarta memang tak terduga. Setelah kami kembali dari luar pulau, aku sempat berpikir kehidupan di sini akan berbeda dari yang dulu. Tapi bertemu kalian lagi, terutama Lily, benar-benar membawa banyak kenangan kembali."
Lily merasakan pipinya memanas ketika Ezra menyebut namanya. Meski perasaan itu sudah lama ia coba pendam, ia tak bisa menahan debaran di dadanya saat mendengar suaranya yang kini lebih dewasa dan tenang. Bu Santi melirik ke arah Pak Andi sejenak sebelum berkata, "Sebenarnya, kami juga nggak pernah berencana pindah ke Jakarta. Tapi Lily yang memutuskan ingin kuliah di sini."
Semua mata tiba-tiba tertuju pada Lily, yang kini merasa canggung jadi pusat perhatian. Ia tersenyum malu, lalu menjelaskan. "Iya, aku pengin kuliah di Jakarta karena ada banyak kesempatan yang mungkin nggak bisa aku dapatkan di Surabaya. Awalnya, orang tuaku keberatan kalau aku harus hidup sendiri di kota besar. Jadi... mereka ikut pindah ke sini."
Pak Andi tertawa kecil sambil memandang Lily dengan penuh kasih. "Iya, pada akhirnya kami nggak tega membiarkan Lily pergi sendiri ke kota yang asing, jadi kami memutuskan untuk pindah sekalian." Bu Laura mengangguk penuh pengertian. "Itu keputusan yang bijak. Kehidupan di kota besar seperti Jakarta memang menantang, terutama bagi anak muda yang baru pertama kali datang."
Lily tersenyum tipis, merasa didukung oleh semua orang di ruangan itu. "Aku senang bisa ada di sini sekarang. Meskipun awalnya rasanya berat meninggalkan Surabaya, aku mulai merasa bahwa mungkin di sini, di Jakarta, akan ada banyak hal baik yang menantiku." Melisa menatap Lily dengan senyum lebar. "Dan salah satu hal baik itu adalah kita bisa bertemu lagi. Kita bisa kembali menghabiskan waktu bersama, Lil. Ini seperti kesempatan kedua!"
Lily tertawa pelan, merasa hangat dengan persahabatan mereka yang kembali terjalin. "Iya, Mel. Kita harus sering main lagi, seperti dulu." Namun, meski suasana begitu hangat, ada sedikit kegelisahan dalam hati Lily. Pertemuan ini membawa banyak kenangan masa lalu kembali, termasuk perasaan yang ia miliki untuk Ezra. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, ia menyadari bahwa hatinya masih belum berubah sepenuhnya.
Saat percakapan antara orang tua mereka semakin mendalam, membicarakan berbagai kenangan dan pengalaman, Ezra sempat menatap Lily beberapa kali. Meski tak ada kata yang diucapkan, ada sesuatu dalam tatapan itu sesuatu yang membuat Lily merasa gugup. Apakah Ezra menyadari perasaannya dulu? Atau mungkin, Ezra pun merasakan hal yang sama?
Namun, sebelum Lily bisa lebih jauh tenggelam dalam pikirannya, Melisa menyela dengan semangat. "Lil, besok kamu ada waktu kosong nggak? Aku pengin ngajak kamu keliling Jakarta. Aku udah lama di sini, jadi aku tahu tempat-tempat yang seru!" Lily tersenyum, merasa lega karena suasana menjadi lebih ringan. "Tentu, aku belum sempat jalan-jalan sejak sampai di sini. Ayo, kita pergi!"
Pak Anton tertawa mendengar rencana mereka. "Baiklah, sepertinya anak-anak sudah merencanakan hari mereka. Kami juga masih perlu mengurus beberapa hal terkait kepindahan kami." Setelah beberapa jam berlalu, kedua keluarga akhirnya mengakhiri pertemuan mereka dengan penuh kehangatan. Bu Laura dan Pak Anton berpamitan, begitu juga Melisa dan Ezra. Sebelum pergi, Melisa memeluk Lily erat dan berjanji mereka akan segera bertemu lagi keesokan harinya.
Ezra, yang terakhir meninggalkan rumah, tersenyum tipis ke arah Lily. "Sampai jumpa besok, Lily."
"Sampai jumpa, Ezra," balas Lily dengan suara yang bergetar halus.
Ketika pintu rumah Lily tertutup dan tamu-tamu mereka pergi, Lily merasa seakan banyak hal yang belum selesai. Meski senang bisa bertemu kembali dengan sahabat lamanya, perasaannya terhadap Ezra kini menjadi sesuatu yang harus ia hadapi. Dan di tengah perasaan itu, ia tahu bahwa pertemuan ini bukanlah akhir dari cerita melainkan awal dari babak baru yang penuh dengan kenangan lama dan harapan baru.
***
Pagi itu, matahari baru saja muncul, menyinari kompleks perumahan baru tempat keluarga Lily tinggal. Suasana masih tenang, dengan hanya beberapa tetangga yang sudah memulai aktivitas mereka. Di dalam rumah, Bu Santi sedang sibuk menyiapkan makanan nasi uduk lengkap dengan lauk-pauk kesukaan keluarga Melisa.
"Lily, sini bantu Ibu sebentar," panggil Bu Santi dari dapur.
Lily, yang masih sedikit mengantuk, keluar dari kamarnya sambil menguap. "Iya, Bu. Ada apa?"
Bu Santi tersenyum sambil menunjuk ke arah bungkusan makanan yang sudah siap di meja dapur. "Ibu pengin kamu antar ini ke rumah Melisa. Sekalian, kita menjalin hubungan baik lagi dengan tetangga."
Lily melihat bungkusan makanan itu dan mengangguk, tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Bentar, Bu. Aku harus mandi dulu," ujarnya sambil melirik penampilannya yang masih berantakan dengan rambut kusut dan wajah yang belum segar.
Bu Santi terlihat bingung, mengerutkan kening sambil menggelengkan kepala. "Padahal cuma pergi ke tetangga, Lily. Nggak usah ribet-ribet mandi segala. Kan, cuma sebentar."
Lily tersenyum sedikit canggung. "Tapi Bu, kan ini keluarga Melisa... ya, siapa tahu aku ketemu sama yang lain juga," jawabnya sambil sedikit malu-malu, terutama karena ia masih memikirkan kemungkinan bertemu dengan Ezra. Sejak pertemuan kemarin, perasaannya tak bisa berhenti bergejolak, meski ia sendiri berusaha untuk tetap tenang.
Bu Santi tertawa kecil, menyadari kegelisahan anaknya yang tersirat. "Ya sudah, kalau kamu memang mau rapi dulu, nggak apa-apa. Tapi jangan kelamaan, ya. Nanti keburu siang."
Lily mengangguk cepat dan langsung bergegas menuju kamar mandi. Pikirannya berputar, penuh dengan bayangan tentang apa yang mungkin terjadi saat ia mengantarkan makanan ke rumah Melisa. Meskipun hanya tugas sederhana, ada sesuatu yang membuatnya merasa lebih gugup dari biasanya.
Setelah selesai mandi, Lily keluar dengan rambut basah yang masih digulung handuk, mengenakan pakaian kasual yang ia pilih dengan hati-hati. Meski penampilannya terlihat santai, dia tahu dirinya sudah bersiap untuk menghadapi apa pun terutama kemungkinan bertemu dengan Ezra.
"Sudah siap, Bu," katanya dengan senyum sedikit canggung.
Bu Santi hanya tertawa dan menggelengkan kepala. "Cuma ngantar makanan, tapi kelihatan seperti mau ke acara penting. Hati-hati, ya. Sampaikan salam buat keluarga Melisa."
Lily mengambil bungkusan makanan itu, dan dengan hati-hati, dia melangkah keluar rumah. Udara pagi yang segar sedikit membantu menenangkan kegugupannya, meski langkah kakinya terasa berat. Hanya beberapa rumah saja jaraknya, namun perasaannya sudah tak menentu.
Sesampainya di depan rumah Melisa, Lily sempat ragu-ragu. Suasana rumah Melisa itu masih terasa sama seperti dulu mengingatkannya pada masa kecil mereka ketika dia sering bermain di sana, meskipun dengan rumah yang berbeda, namun suasanya masih tetap sama. Namun, kini semua terasa berbeda. Mereka semua sudah dewasa, dan perasaan-perasaan yang dulu terpendam kini seolah kembali muncul.
Dengan sedikit keraguan, Lily mengetuk pintu. Tak lama kemudian, pintu terbuka, namun bukan Melisa yang menyambutnya. Alih-alih, seorang wanita yang lebih tua dari Lily berdiri di ambang pintu. Wajahnya tampak anggun dan cantik, rambutnya tergerai panjang dengan pakaian yang tampak elegan namun kasual. Wanita itu tersenyum ramah, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.
"Oh, halo. Kamu pasti tetangga baru, ya?" sapa wanita itu lembut. Lily sedikit terkejut melihat sosok yang tidak dikenalnya. "Iya, benar. Aku Lily, tetangga sebelah. Aku bawa makanan dari ibuku untuk keluarga Melisa." Wanita itu tersenyum dan membuka pintu lebih lebar. "Oh, terima kasih. Silakan masuk. Aku kebetulan lagi di sini."
Dengan perasaan campur aduk, Lily masuk ke dalam rumah Melisa. Rumah itu masih terasa akrab baginya, suasana yang sama seperti rumah melisa yang dulu. Namun, ada yang berbeda kali ini suasana yang lebih dewasa, lebih tenang, dan penuh misteri, terutama dengan kehadiran wanita yang tak ia kenal.
Saat Lily melangkah masuk lebih dalam ke ruang tamu, dia langsung terkejut ketika melihat Ezra sedang duduk di sofa, bersama wanita yang baru saja membukakan pintu. Wanita itu tampak duduk santai di sebelah Ezra, dan mereka terlihat sedang mengobrol. Saat melihat Lily masuk, Ezra berdiri dan tersenyum tipis.
"Lily, pagi-pagi sudah mampir," sapa Ezra dengan nada santai, meski ada kehangatan dalam suaranya. Lily tersenyum canggung, merasa sedikit gugup dengan situasi ini. "Iya, aku disuruh ibu nganter makanan untuk kalian."
Ezra mengangguk, tapi sebelum ia bisa berbicara lebih lanjut, wanita di sebelahnya memotong percakapan dengan suara lembut namun penuh percaya diri. "Ezra, ini teman masa kecilmu ya?" tanya wanita itu sambil menatap Lily dengan senyuman yang seolah-olah menilai dirinya.
Ezra mengangguk. "Iya, benar. Lily dulu sering main sama adikku, Melisa. Kita bertetangga waktu kecil." Wanita itu tersenyum lebih lebar dan memperkenalkan dirinya. "Oh, senang sekali bertemu denganmu, Lily. Aku Nadia," katanya sambil mengulurkan tangan.
Lily menyambut jabat tangannya dengan sopan, meski di dalam hati ia tak bisa menahan rasa penasaran yang tiba-tiba muncul. Siapa Nadia ini? Apa hubungannya dengan Ezra? Meski mencoba menepis perasaan aneh itu, Lily tak bisa mengabaikan fakta bahwa Nadia tampak begitu dekat dengan Ezra lebih dari sekadar teman biasa.
Lily cpt move on syg, jgn brlarut larut dlm kesdihan bgkitlh fokus dgn kuliamu. aku do'akn smoga secepatnya tuhan mngirim laki" yg mncintai kmu dgn tulus. up lgi thor byk" 😍💪