NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ini Ibuku

Sabtu sore yang cerah.

Begitu turun dari bus, senyum Raga menyambut. Lagi-lagi sendirian, nangkring di atas motor birunya. Tubuh yang menjulang hampir dua meter, terbalut kaos flanel biru tua dipadu celana seragam pramuka. Sepasang kakinya terbungkus sepatu converse hitam.

“Sendirian, Mas?” tanyaku basa-basi.

“Berdua.”

“Sama...?” Aku celingukan menahan debar dalam dada, berharap manusia keduanya adalah Kevin.

Melihat tingkahku, Raga tergelak.

“Nyari siapa?”

“Katanya berdua?”

“Iya, berdua dengan kamu.”

Spontan bibirku mengerucut. Tawa Raga semakin riuh. Sepertinya puas sekali melihat aku merengut.

“Sudahlah, aku pulang aja,” rajukku seraya berjalan menjauh.

“Lah, jangan dooong! Masa gitu doang ngambek!”

Tanpa menghentikan langkah, aku menyahuti ucapannya. “Siapa yang ngambek!”

Raga membuntutiku hingga depan pagar. Motornya ditinggal begitu saja, parkir di samping ruko.

“Kok pagarnya tutup?” tanyanya keheranan begitu melihat aku mengetuk pagar besi menggunakan gembok.

“Sabtu buka sampai jam 3.”

“Waaah... kayak Bank aja ya,” tukasnya seraya terkekeh. “Hari Minggu tutup?”

Aku mengangguk.

“Kalo tutup begini, Bapakmu ngapain dong?”

“Kerjaan kantor libur. Biasanya narik becak. Tapi ini kayaknya belum berangkat. Mungkin lagi mandi.”

“Terus kamu?”

“Aku kenapa?” Kupandangi Raga yang—selalu—harum semerbak setiap kali mencegatku pulang sekolah.

“Kalau tutup begini ngapain?”

“Terserah,” sahutku cuek. “Tidur boleh, main juga boleh.”

Raga tersenyum lebar. Namun, di balik senyumnya, dia tampak menahan kesal. Lama-lama, senyum itu berubah menjadi seringai

“Kenapa?” Tawaku meledak tak tertahan. Raga melotot ke arahku, tapi tak ada seram-seramnya sama sekali. Matanya minimalis begitu. “Kenapa, sih?” ulangku kemudian sembari menahan tawa.

“Maksud aku tuh, biasanya kamu ngapain?”

“Ooo, biasanya? Biasanya ikut Ibu ke tempat kerja.”

“Jauh?”

“Di Jalan Trunojoyo situ.”

“Naik apa ke sana?”

“Kadang jalan kaki, kadang diantar Bapak. Dekat, kok! Itu... seberang jalan, agak ke selatan dikit.”

“Ayo tak anter.”

“Nggak usah!” tolakku spontan, tanpa berpikir atau menimbang.

Kekecewaan tergambar jelas di wajah Raga. Mukanya memerah, senyumnya pudar. Pemuda itu berpaling ke arah yang berlawanan dengan keberadaanku. Dia tampak menghela napas pendek, dan menghempaskannya dalam satu embusan.

Sebetulnya aku menyadari perubahan sikap tersebut, tetapi memilih untuk bodo amat. Bukan karena tak peduli, bukan karena tak memiliki perasaan. Lebih menjaga etika sosial saja.

Aku tidak mau dianggap sebagai gadis gampangan. Kami kenal baru tiga hari, masa langsung mau dibawa naik motor. Dulu, hal seperti itu betul-betul dijaga. Meski tak tertulis, seakan ada hukum sosial dalam masyarakat yang mengatur. Tidak baik apabila seorang gadis begitu mudah dibawa keluar oleh cowok, sekalipun itu kawan.

Bapak tergopoh-gopoh menghampiri pagar dengan segepok kunci di tangan. Setelah gembok terbuka, dan Bapak membentangkan pagar lebar-lebar, aku berpaling menghadap Raga.

“Masuk dulu ya, Mas. Maaf nggak bisa ngajak Mas Raga singgah. Aku harus siap-siap ke tempat Ibu.”

“Pulang jam berapa?” sahutnya lesu.

“Biasanya jam 9, sih. Kalau nggak jalan-jalan dulu.”

“Sip.”

Aku tak menanggapi ucapan Raga. Entah apa maksud kata ‘sip’ yang dia lontarkan. Bergegas kupacu langkah meninggalkan dia dan masuk rumah, menyusul Bapak.

 

 

🍁🍁

 

 

Malamnya—

Aku dan Ibu pulang lebih awal dari biasanya. Kalau malam Minggu acara televisi tak ada yang menarik. Ibu memutuskan segera pulang begitu semua pekerjaan usai. Kami berencana jalan-jalan, sekadar keliling kota. Duduk di atas becak yang dikayuh Bapak, dan dibawa mengitari Jalan Agus Salim hingga alun-alun, lalu muter lewat Jalan Cokroaminoto hingga tembus Pasar Sleko. Itulah quality time kami sekeluarga. Meski tidak membeli apa-apa, rasanya sudah bahagia. Hingga usiaku setua ini, masih terasa euforia-nya.

Saat-saat terindah dalam kenangan masa remajaku adalah ketika berbincang bersama Ibu di atas becak, menceritakan apapun yang ingin aku ceritakan, meski tahu itu bukan hal penting. Kadang kami membicarakan alur cerita sinetron yang sama sekali tak memiliki faedah.

Kami tak pernah bosan melewati malam demi malam dengan perjalanan yang selalu sama. Hingga bertahun-tahun pun tak ada rasa jemu. Justru selalu rindu, dan jika saja mungkin, ingin rasanya putaran waktu berjalan mundur ke masa itu. Tertawa di sebelah Ibu yang tak pernah lelah mendukungku.

Ah, manisnya kenangan.

 

🍁🍁

 

 

Setelah cukup berkeliling kota, dan berhasil mendapatkan makanan favorit—sate ayam Madura, kami pun pulang. Arloji di pergelangan tanganku menunjuk angka 9 kurang sekian menit. Gara-gara antre sate yang memakan waktu hampir satu jam, niat hati pulang cepat supaya bisa istirahat, berakhir sami mawon alias sama saja. Sampai rumah tetap pukul 9.

Di tepi gapura Jalan Srindit, banyak anak cowok duduk berbincang sembari memainkan gitar. Tumben! Ujarku dalam hati. Biasanya selalu sepi. Jalan Srindit jarang memiliki anak muda, berbeda dengan gang lain.

Aku tidak berani menoleh ke mereka, sebab jumlahnya banyak. Mungkin sekitar 20 orang. Ah, rupanya diriku masih memiliki rasa malu.

Sayup-sayup telingaku menangkap suara petikan gitar di antara riuhnya obrolan, diiringi sebuah vokal yang—meski tidak merdu—cukup enak didengar. Dia menyanyikan lagu DEWA yang liriknya sedikit dimodifikasi. Waktu aku lewat, hanya kebagian reff.

Hawa tercipta di dunia

Untuk menemani sang Adam

Begitu juga dirimu (cewek srindit)

Tercipta tuk temani aku

Reff tersebut berkali-kali diulang, seolah ingin menegaskan bahwa di situ inti lagu yang hendak dia sampaikan. Dari lirik yang seharusnya, ditambah dengan kata ‘cewek srindit’, sepertinya si penyanyi ingin orang tahu bahwa lagunya dia tujukan untuk si ‘cewek srindit’ tersebut.

Saking nyelenehnya, saat turun dari becak, aku tergelitik untuk menoleh ke sana, ingin tahu siapa mereka. Bukan karena ganjen, tapi aku merasa suara itu seperti tidak asing. Makanya aku kepo.

Dan... jeng-jeng!

Ternyata sang vokalis gadungan tersebut adalah Raga.

Apa maksudnya, coba? Siapa yang dia maksud ‘cewek Srindit’? Wajar aku baper. Meski belum mengenal seluruh warga situ, aku tahu di seputar rumah tidak ada gadis selain aku. Dan faktanya, Raga mengenalku.

Pada saat aku tertegun memandangi gerombolan remaja lelaki yang berada dalam jarak kurang lebih 150 meter dari tempatku berdiri, tiba-tiba salah satu di antara mereka menyadari keberadaanku. Dia menggamit pundak Raga yang masih asyik memainkan gitar dengan penuh penghayatan—tengadah sambil memejamkan mata. Dramatis sekali.

Pemuda itu menoleh begitu bahunya dijawil oleh si teman—yang aku ingat adalah Taufik. Sesaat dia menatap Taufik seraya mengurangi volume gitarnya.

Tak lama kemudian, pandangannya beralih ke arahku. Saat itulah, tatapan kami bertemu. Gitar dalam dekapannya bergegas dia taruh demi beranjak menghampiriku.

Sebetulnya aku kelabakan juga disamperi cowok ketika sedang bersama Ibu. Ibuku orangnya susah-susah gampang. Kadang saklek terhadap masalah anak remaja. Apalagi aku pernah diperingatkan untuk menjaga jarak dengan cowok Madiun.

“Hai,” sapa Raga dengan gaya khasnya, diiringi seulas senyum. Aku tak menjawab, hanya balas senyum. “Ibu?” bisiknya lirih seraya menunjuk Ibuku menggunakan jari jempol.

Ibu sedang memandang ke arah lain, belum menyadari keberadaan Raga.

Aku mengangguk samar.

Sebuah sikap tak terduga tiba-tiba dilakukan oleh cowok itu. Dengan percaya diri, dia menghampiri Ibuku dan langsung mengulurkan tangan kanan. Tentu saja Ibu kaget. Masih dengan wajah kebingungan, Ibu menyambut tangannya. Tak disangka, Raga merunduk dan mencium tangan Ibuku dengan takzim.

“Saya Raga, Bu. Teman Adek,” urainya tanpa keraguan, membuatku terbelalak kaget. “Eh maksud saya, teman Nada,” ralatnya segera.

Kutahan kuat-kuat tawa yang nyaris menyembur keluar.

“O ini yang namanya Raga?” sambut Ibu dengan sebuah pertanyaan yang sedikit memerahkan muka. Kesannya kayak aku sering bercerita tentang nama tersebut. Kan malu. Apalagi ketika setelahnya Raga menoleh ke arahku dengan sorot mata menuntut penjelasan.

Refleks aku geleng kepala seraya melebarkan kedua bola mata.

Untungnya Ibu tidak bicara lebih banyak lagi. Hanya basa-basi sebentar, lalu pamit masuk. Dia biarkan aku di tepi jalan, berdua dengan Raga di bawah tatapan mata beberapa kawan pemuda itu dari kejauhan.

“Biasa pulang jam segini?” Raga mengajukan pertanyaan basa-basi. Sudah kuberitahu sebelumnya bahwa biasanya aku pulang jam sekian, kok masih juga nanya. “Aku nungguin sejak tadi.”

“Ngapain?”

“Kok ngapain? Kan ini malam Minggu.”

“Terus kenapa?”

“Apel, dong!”

Aku terkikik geli. “Memangnya kita siapaan? Gaya banget mau apel.”

“Ha ha ha....”

“Tadi nyanyi lagu apa?”

“Dewa.”

“Emang lagunya gitu? Perasaan liriknya beda deh.”

Raga tersenyum lebar. “Kamu denger?”

“Aku nggak budek, kali.”

Sembari tertawa geli, dia usap wajahnya yang memerah.

“Iseng aja tadi,” dalihnya kemudian, masih dengan wajah yang merah padam. Aku tersenyum mafhum. “O iya itu... Ibu kamu nggak marah kamu ngobrol dengan cowok di jalan begini?”

“Seharusnya sih marah.”

“Hah? Serius? Terus gimana?”

“Yang penting nggak dimarahi, ‘kan?”

“Takutnya nanti pas aku sudah pulang kamu dimarahin.”

“Memangnya Mas Raga mau main ke rumah?”

“Mau, tapi sudah malem. Sebenernya tadi juga rencananya pengen maen ke rumah kamu.”

Aku diam.

“Mmm, besok saja, ya? Besok aku ke sini lagi.”

Dalam hati aku menjawab : terserah elu!

Namun, bibirku berkata lain. “Iya, nggak pa-pa.”

“Ya sudah, masuk sana! Aku juga mau pulang.”

Aku menoleh ke arah kawan-kawan Raga yang tengah riuh bercanda tawa di ujung jalan. Mataku mencari sosok Kevin yang rupanya tak ada di sana.

Akhirnya aku menuruti perintah Raga. Melangkah ke halaman, menutup pagar, menggemboknya, lalu masuk rumah. Raga belum beranjak, memperhatikan segala tindak tandukku. Hingga pintu rumah aku tutup, sempat kulihat dia masih berdiri di tempat semula. Dan ketika kusibakkan sedikit gorden untuk mengintipnya, tampak dia melangkah menuju kawan-kawannya.

 

🍁🍁

1
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka aja ceritanya
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!