Saat acara perayaan desa, Julia justru mendapati malam yang kelam; seorang lelaki asing datang melecehkannya. Akibat kejadian itu ia harus mengandung benih dari seseorang yang tak dikenal, Ibu Asri yang malu karena Julia telah melakukan hubungan di luar nikah akhirnya membuang bayi itu ke sungai begitu ia lahir.
3 tahun kemudian, dia pergi ke kota untuk bekerja. Namun, seorang pria kaya mendatanginya untuk menjadi pengasuh anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 05 - Kesalahan Atau Bukan?
"Lily bukan anak kandung saya. Saya masih lajang dan belum pernah menikah."
Tanpa diduga, jantungku berpacu cepat selagi aku merasakan beban yang dirasakan Pak Bima. Bukankah aku juga kerap merasakan beban hampir setiap waktu?
Kutarik rambutku dan membiarkan rambut itu terurai di punggung. Aku lalu menghadap Pak Bima dan berkata, "Ke-kenapa Pak Bima beritahu hal ini ke saya?"
Sebelah alis gelap Pak Bima terangkat. "Dan apakah salah saya bicara begitu?"
"Tidak. Tapi bukankah itu hal yang sifatnya privasi, saya merasa tidak pantas mengetahuinya, Pak."
"Terus kenapa kamu tanya, kalau tahu itu masalah pribadi?"
"Saya tidak tanya." Sergahku sampai tidak sadar menaikkan nada bicara satu tingkat.
Pak Bima mengernyit dan andai saja aku ini orang lain, ekspresi dinginnya itu mungkin akan membuatku takut. Tapi aku tidak merasakan ancaman apa pun dari pria yang lebih tua sepuluh tahun dari ku itu.
"Kamu loh, yang bahas soal Istri duluan." Ujar Pak Bima sambil mengangkat dagu, seperti mencoba menantangku jika berani menyangkalnya lagi.
Aku sempat diam sejenak.
"Terus, kalau bukan anak Pak Bima ... " balasku. "Kenapa Pak Bima mau merawat dan membesarkan Lily?"
"Menurut kamu yang barusan ini bukan pertanyaan yang sifatnya privacy, ya?"
"Saya tahu --- " kataku pasrah. Ah, aku memang tidak pandai bicara dengan orang pintar.
Pak Bima melipat tangan di depan dadanya yang lebar dan menunduk ke arah ku dengan sorot mata yang lurus.
Aku tak sanggup bernapas tenang saat duduk lebih dekat dengan profesor ini, jadi aku mengalihkan pandangan.
"Saya pernah berbuat suatu kesalahan."
Aku langsung menengok Pak Bima lagi sambil melotot, dan dia melanjutkan lagi kata-katanya; "Waktu pertama kali ketemu Lily, saya tidak pikir dua kali untuk mengambil dan membesarkannya. Dulu, saya selalu berharap kalau dengan merawat Lily setidaknya bisa mengurangi perasaan bersalah dan menebus kesalahan itu."
Aku mematung, hampir semua tak bisa ku percayai, benarkah orang yang ada di samping ku ini adalah profesor Bima Cakra yang galak dan dingin itu? Atau aku masih berhalu? Nyatakah kalau lelaki ini sedang menceritakan secerca rahasianya pada seorang petugas kebersihan seperti ku?
"Kamu selain kerja di sini, punya kerjaan lain?"
Pak bima membangunkan lamunanku. Beruntung aku masih mendengar yang dia katakan.
"Tidak ada, Pak. Cari kerja sekarang susah."
"Memang susah, makanya sekarang kamu beruntung karena saya mau tawarkan kamu jadi pengasuh."
"Pengasuh Pak?" aku mengulangi kata-kata Pak Bima barusan.
"Iya, pengasuhnya Lily."
Pak Bima tersenyum, tapi lengkungan di mulutnya sama sekali tidak menunjukkan rasa humor sama sekali. "Saya tidak menerima jawaban selain, Iya. Ini sudah resiko kamu, karna kamu yang bilang ke dia mau jadi ibu. Selama ini semua orang menolak, sedangkan kamu membiarkan dia berharap. Jadi saya tidak punya alasan lagi ke Lily."
"Mana bisa begitu, Pak?!" Sontak aku bicara ngotot karena Pak Bima terkesan mengecam. "Saya juga tidak tahu kalau ternyata bakal serumit ini, saya cuma mau jaga perasaannya Lily."
"Saya bayar tiga kali lipat dari gaji kamu kerja di sini."
"Oke, pak. Siap." Kulihat Pak Bima menertawaiku. Mungkin baginya aku ini gila. Tapi sungguh kesempatan ini tidak boleh ditolak. Gaji di kampus ini memang tidak banyak, tapi cukup. Apalagi kalau tiga kali lipat seperti yang ditawarkan Pak Bima bisa lebih dari cukup untuk mengirimi Ibu di kampung.
"Kapan saya bisa mulai kerja, Pak?"
"Malam ini."
"Malam?"
"Kamu kerja jadi Ibu pura-pura. Sebenarnya tidak beda jauh dari pengasuh, cuma di depan Lily bertingkah-lah sebagai seorang Ibu. Seperti katamu tadi; Anak ku kekurangan kasih sayang dari sosok wanita karena itu aku ingin kamu memberikan apa yang tidak bisa aku berikan padanya."
"Tapi memangnya harus malam ya, Pak?"
"Malah kamu harus selalu standby tiap saya dan Lily butuhkan." Pak Bima menjawab singkat, kemudian berdiri dari kursi.
"Mulai malam ini kamu tinggal di rumah saya, kita tinggal bertiga. Kamu mengasuh Lily secara langsung, tapi ingat kamu bekerja sebagai Ibu pura-pura. Jadi, di depannya bertingkah dan berperan-lah seolah-olah kamu memang ibunya." Lanjutnya.
Aku mengikuti Pak Bima berdiri seraya berkata, "Tapi saya sudah mengontrak kamar kost, Pak..."
Pak Bima menghela napas, dan menjawab tanpa melihatku, "Tinggal di rumah saya gratis. Fasilitas lengkap dan tidak perlu pikirkan biaya makan."
Oh, bagus juga. Pikirku.
Pak Bima lantas pergi meninggalkan taman, sementara aku hanya sebatas memandangi punggungnya yang lebar dan gagah itu dari kejauhan, bahkan sebuah kemeja pun tak bisa menutupi keindahan yang dimiliki seorang lelaki sepertinya.
Namun, meski begitu. Dia bukanlah manusia sempurna seperti yang terlihat pada gambaran fisiknya. Nyaris aku sempat berpikiran yang sama seperti orang lainnya sebelum Pak Bima sendiri yang bilang kalau dia pernah melakukan kesalahan.
Aku sempat merenung, memangnya kesalahan sebesar apa yang membuat Pak Bima berpikir kalau merawat dan membesarkan Lily lah yang mungkin sepadan untuk menebusnya. Meski senyatanya dia sendiri terlihat ragu.
Entahlah, aku tak tahu. Hanya saja, bicara soal kesalahan. Aku memang tidak tahu kesalahan apa yang dia lakukan, tapi menurutku dia sudah cukup berani untuk menebusnya. Sementara aku? Aku sendiri juga pernah melakukan yang tidak benar, tapi apakah diperko-sa orang itu juga disebut kesalahan?
Aku tidak pernah menginginkannya, tapi itu sudah terjadi. Lalu pertanyaannya, apakah aku memiliki tanggung jawab untuk menebus masa lalu itu?
Angin berhembus kencang. Mungkin sebagai jawaban Tuhan, hanya aku tidak mengerti artinya.
"Ah, sudahlah. Aku harus lanjut bekerja. Biar nanti sore bisa berkemas dan malamnya bisa langsung kerja di rumah Pak Bima."
Aku pun berlalu.