Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Selama di rumah ibuku. Tak sekalipun mas Sigit menelpon ku. Dia seperti lupa pada buah hatinya.
Tiga hari berlalu dengan cepat.
Tiba saatnya aku dan putriku pulang. Bilal dan Hafsah sangat keberatan kami kembali. Tapi ibu sangat mengerti kondisi ku.
"Bulan harus pulang kerumah ayahnya. Kapan-kapan dia pasti datang lagi." bujuk ibu.
"Kapan?" tanya Hafsah.
"Mbak belum bisa pastikan. atau kalau kalian kangen pada Bulan, datang saja kerumah." ujarku pada mereka.
Bilal menggeleng.
"Kenapa?"
"Disana orangnya galak-galak. Aku tidak suka." jawabnya kesal.
Ibu membelai rambutnya.
Aku tidak menyalahkan Bilal. Memang benar apa yang dia katakan nya. Orang di rumah suamiku tidak pernah ramah kalau ada anggota keluarga ku yang datang. Lain halnya kalau keluarga Rani yang datang. mereka akan menyambutnya seperti raja.
"Jadi, Sigit tidak menjemputmu?" suara ibu terdengar cemas.
"Mungkin dia lagi sibuk, Bu. Tidak apa-apa." jawabku menghiburnya.
"Coba kau hubungi sekali lagi " desak ibu.
Setelah ku coba. ponselnya aktif dan tersambung. Tapi mas Sigit tidak menjawab.
"Sudahlah Bu. mungkin benar dia sedang sibuk sekali. Aku bisa pulang sendiri kok.."
Dengan menaiki andong aku pulang kerumah. Dengan harapan semua lebih baik dari hari kemarin.
Tapi aku mendapati rumah dalam keadaan sepi dan terkunci. Kemana mereka? Bukan kah mereka tau aku akan pulang sore ini? Sambil menunggu kepulangan mereka aku beristirahat di teras sambil menggendong Bulan.
Aku coba mengirim pesan pada mas Sigit.
(Mas, di rumah sepi dan terkunci. Aku tidak bisa masuk. apa bisa kau pulang secepatnya)
Jangankan membalas pesanku. Di lihat saja tidak.
Dua jam aku menunggu sambil menggendong Bulan yang sedang tidur pulas. Pegal rasanya seluruh tubuh, kesal? jangan di tanya lagi. Mau balik kerumah ibu, hari sudah hampir gelap.
.Saat aku mulai tidak sabar. suara mobil mas Sigit memasuki halaman.
Yang membuat mataku memanas adalah mas Sigit dan keluarganya keluar dari mobil itu. Tidak ada rasa bersalah di wajah mereka karena membiarkan aku menunggu sambil menggendong Bulan.
Ku lihat Rani cekikikan sambil menenteng barang belanjaan yang banyak, begitu pula ibu Mertua. di belakangnya ayah mertua dan Didit mengikuti, mereka terlihat memakai jam tangan yang sama pula.
sedangkan Tara bergelayut manja di gendongan mas Sigit. Perih hati ini menyaksikannya.
Di tangan ayah mertua ada sebuah boneka besar. Ku pikir itu oleh-oleh untuk Bulan. Angin segar menyusup di tengah panasnya hatiku. Paling tidak mas Sigit masih mengingat putri kandungnya.
"May, kau sudah lama?" tanya mas Sigit sambil tetap menggendong Tara.
Bukannya gembira melihat Bulan yang sudah tiga hari tidak di lihatnya. Dia malah sibuk dengan anak centil itu.
"Sudah dua jam aku disini." jawabku ketus.
"Ibu lupa menaruh kunci rumah.." tukas ibu mertua sembari membuka pintu.
Dadaku sesak. Tega sekali mas Sigit tidak mengangkat telpon ku dan membalas pesanku, sedangkan dia sedang bersenang-senang dengan keluarganya.
"Kalian darimana? dan kenapa tidak membalas pesanku?" aku menatap mas Sigit sambil berusaha menguasai diriku.
"Oooh, kau menelpon ku?" pria itu langsung merogoh sakunya.
"Oh iya. Aku tidak sempat melihat ponselku." jawabnya tanpa rasa bersalah.
"Mana sempat lihat handphone. Tara nempel terus sama pakdhe nya." sambut Rani dengan bangganya.
Tara memang anak yang cantik dan centil seperti ibunya. Karena itu mereka sangat memanjakan anak itu. Tapi terkadang aku muak padaa perlakuan mereka kepada Tara.
"Ayah, itu untuk Bulan, kan?" aku menghampiri boneka besar berwarna pink di tangan ayah mertua.
Semua terdiam dan saling pandang.
"Ini punya Tara, dia sendiri yang memilih." Rani langsung mengambil boneka itu dari tanganku.
"Nanti kalau dapat untung besar lagi, kita ulangi lagi, ya Mas. jalan-jalan, belanja dan bersenang-senang." celetuk Rani tanpa rasa malu.
Dengan dada bergemuruh, aku tinggalkan ruang tamu itu.
Jadi mas Sigit sedang banyak uang. Karena itu mereka jalan-jalan. kenapa dia tidak pernah cerita padaku kalau dapat uang.
Saat sudah di kamar. aku tidak tahan untuk tidak melabrak suami ku.
"Kau tega ya Mas. Kau pergi bersenang-senang tanpa mengingat anakmu sendiri. Semuanya hanya tentang Tara, Tara dan Tara lagi. Kapan giliran Bulan?" suaraku meninggi.
Mas Sigit menatapku tidak suka.
"Jaga nada bicaramu, May.."
"Aku salah bicara begini? Sedangkan kau tidak mengingat kami. Jangan kan aku, Bulan yang anak kandungmu kau lupakan." jawabku sengit.
"Salahmu sendiri kau pulang kerumah ibumu. Sudah ku bilang lain kali saja. Tapi kau ngotot." jawabnya enteng.
"Itu bukan alasan untuk tidak melibatkan kami."
"Sudahlah. kau tidak usah cemburu, bukankah aku sudah memberimu uang belanja. pergi saja belanja apa yang kau mau. Ribet amat... Lagi pula mereka adalah keluarga ku."
Mataku mulai beranak sungai.
Segampang itu pola pikirnya. Kalau mereka keluarganya, lalu kami di anggap apa? Orang luar?
Sejak kejadian dengan ibu mertua, dia memang memberiku uang untuk kebutuhan Bulan satu juta sebulan. lalu apakah dengan begitu dia merasa tidak perlu melibatkan aku salam acara keluarga?
"Tapi aku juga ingin kau ajak jalan-jalan seperti mereka. Belanja dan bersenang-senang seperti kata Rani." ucapku tanpa malu.
"Cuma itu? Gampang lah. besok kita jalan-jalan bertiga saja." ucapnya santai.
Hatiku agak terhibur.
"Benar hanya bertiga?" tanyaku meyakinkan.
Dia mengangguk. Itulah aku. Sangat gampang memaafkan, dengan janjinya itu aku mulai bersikap lunak padanya.
"Tapi lain kali, jangan lupakan Bulan, dong Mas. Kau harus adil. masa Tara kau belikan boneka mahal tapi Bulan tidak." aku merajuk.
"Bulan, kan masih kecil, May." jawabnya beralasan.
"Mas tidak tau? dia sudah bisa memperebutkan mainan dengan Tara." jelas ku bersemangat.
"Oh, ya..? Kau sudah bisa berebut mainan dengan kaka Tara?" mas Sigit memangku anaknya sambil mengajaknya mengobrol. Kemarahanku mulai mereda. Sebenarnya dia ayah yang baik, tapi mungkin karena pengaruh ibunya terkadang seperti lalai akan tugasnya sebagai seorang kepala keluarga.
***
Besoknya, aku sudah bersiap. Begitupun Bulan, dia sudah ku mandikan dan ku dandani. Kami akan menghabiskan waktu bertiga saja. Membayangkan hal itu membuatku sangat bahagia.
Begitupun mas Sigit. Dia sengaja pulang agak cepat. Pukul dua dia sudah berada di rumah.
Tapi agak heran juga melihat Rani, Tara dan Didit bersiap. Apakah mereka akan pergi juga? Masa bodo lah pada urusan mereka. Yang jelas aku sangat bahagia karena akan merasakan mempunyai keluarga kecil yang utuh. Hanya ada aku, mas Sigit dan putri kecil kami.
"Mas, aku dan Rani mau menghadiri acara pernikahan teman. Aku pakai mobilnya, ya?" ucap Didit tiba-tiba.
Aku yang sedang bersiap terkejut mendengarnya.
"Maaf, tapi kami juga mau pergi." jawabku cepat.
Didit terlihat kecewa.
"Acara kami lebih penting. Ini bukan sekedar jalan-jalan. kami ada undangan pernikahan seorang kerabat. Sedang jalan-jalan bisa di lain waktu. Iya, kan Mas?" Rani ikut nimbrung dalam obrolan itu. Ucapannya membuat telingaku sakit. Enak saja dia bilang acaranya lebih penting ketimbang acara kami.
Mas Sigit menghampirinya.
"May, benar. Sebenarnya kami ada rencana mau keluar. Tapi kalau kau mau memakainya, pakai saja."
Aku terbelalak mendengarnya. Aku pikir dia akan mempertahankan mobil itu untuk kami.
"Terima kasih, Mas." ucap Didit dan langsung menyambar kunci mobil tanpa melihat kepadaku yang sedang marah.
Rani mengikutinya ke mobil.
Aku berdiri
kaku di tempat. Lalu acara kami bagaimana?
Mas Sigit hampir saja menabrak ku saat dia berbalik.
"May?" ucapnya heran.
"Kenapa kau ijinkan Didit pakai mobilnya? Lalu rencana kita bagaimana?" tanyaku kesal.
"May, dia sangat butuh mobil itu. sedangkan jalan-jalan kita masih ada waktu besok, iya, kan?" dia membujuk ku.
aku benar-benar marah oleh sikapnya. Sepanjang malam itu aku diamkan mas Sigit.
Mungkin karena merasa bersalah dia tidak ikut marah. Bahkan seolah membujuk ku.
"Aku janji, besok acara kita pasti akan terlaksana..." dia memegangi kedua telinganya.