NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5

..."Ikatan Ibu dan Anak, memang kuat ternyata. Kalau Ibu sedang merasa tak nyaman dan gundah hatinya, Anak pun ikut merasakan. Terkesan mistis. Namun benar adanya."...

...***...

Jika pertanyaan itu sudah dilontarkan oleh Kakakku, berarti pertanyaan itu tidaklah main-main.

Guyuran pertanyaan darinya ditambah terdapat kaitanya dengan orang tua kami, menjadi titik penentu apakah nantinya Kakakku menjadi marah atau tidak.

Dan sekarang, masalah pintu yang terbuka karena angin pun, menjadi perhatian paling penting di meja makan ini.

"Kakak tanya lagi, mengapa kamu masuk ke sana? Kamu cari apa di dalam?"

Gita tetap melanjutkan melahap sarapan. "Cek kondisi kamar saja, Kak. Banyak debu di perabotan." 

"Barang-barang sudah Kakak simpan. Tidak mungkin ada debu. Lagipula kalau barang didalam rusak, bagaimana? Kakak sudah pernah berpesan, jangan masuk kesana lagi. Jangan pegang apa saja di kamar itu. Benda-benda milik Ibu, semuanya sudah mulai rapuh, nanti rusak. Kamu mau ganti kerusakan?" 

Nita hanya menunduk tidak berselera melihat wajah marahnya dari Nita. Dia tau, bahwa dia sangat peduli dengan barang peninggalan orang tuanya. 

Tidak mau menimbulkan perdebatan semakin panjang lebar, Gita berdiri mencari barang-barang lain untuk dipakai sebelum pemberangkatan menuju sekolah. Memakai sepatu, menyisir rambut menggunakan jari-jari tangan sederhana, Gita membuka pintu.

"Dek, Kakak belum selesai, lho." 

"Aku sibuk, Kak. Kapan-kapan saja." Gita menginjak karpet, secara bergantian. "Aku pergi." Anak itu menutup pintu, bersuara keras.

Setelah kegiatan pertama yang dilakukan Adiknya selesai, Nita kembali merapikan ulang peralatan makan yang menumpuk. Mencuci rutin, membiarkan kering, merapikan bahan-bahan makanan yang berceceran. Seperti itulah kegiatan sebelum berangkat menuju kantor. 

Diselingi untuk menenangkan pikiran, Nita tidak berbicara. Ucapan itu terputus setelah adiknya sbuk dengan kegiatan sibuk belajarnya.

Karena perempuan berpundak kuat itu melakukan aktivitas pekerjaan kantoran yang dimulai pukul delapan, dan sekarang angka berada pada arah setengah tujuh, maka, cepat bertindak, Nita berusaha mengejar waktu. 

Seiring badan miliknya bergerak mempersiapkan perbekalan, Nita turut merasakan adanya guncangan kecil. Walaupun dia bergerak, tetap bisa dirasakan sadar olehnya.

Dia berhenti, memastikan. 

Karena setelah perempuan itu berhenti, guncangan kecil turut berhenti. 

Perempuan berbaju rumah meneruskan melangkah menuju kamar, berganti dengan baju kantoran. Menata diri untuk menjaga penampilan terbaik, dan lainnya. 

Namun, perasaan akan guncangan tadi tetap membekas di pikiran. Mengamati bangunan di dalam rumahnya, memberi kesan bahwa rumah tua ini masih awet dipakai. 

Bersyukur mereka memiliki tempat tinggal.

Tempat tinggal berbentuk rumah memiliki kenangan yang tidak bisa digantikan. Rumah lama peninggalan kedua orang tua mereka.

Dan kisah kakak beradik dengan seisi masalah yang harus dihadapi.

...***...

Pada jalanan ramai dengan kendaraan sesak di mana-mana, angkutan umum telah membawa anak-anak sekolahan menuju sekolah menengah pertama. Bercampur dengan penumpang dewasa.

Tempat itu tidak begitu jauh dari jarak rumahnya, dan bukan berarti harus selalu berjalan kaki.

Kalaupun berjalan kaki, bukan lagi rasa kesal karena terlambat memasuki sekolah, namun juga rasa pegal karena kaki-kaki yang dipaksa berlari.

Oleh karena itu, Gita tidak mau seperti itu.

Dempetan para penumpang , membuat padat menyeluruh pada bagian dalam. Panas, sesak, pengap karena udara yang tertahan oleh badan-badan manusia mengakibatkan mabuk, pusing. Jendela-jendela kecil tidak begitu lebar, sebagai akses pemasok udara segar yang bisa diterima.

Gita harus berjuang demi dirinya, dan sekolahnya. Uang sekomah sangat besar, dan dia tentu saja tidak mampu membayar.

Setidaknya ia menghargai kakaknya yang berjuang membayar uang sekolah.

"Mang, berhenti, mang," panggilan sopir telah diucapkan oleh ibu-ibu yang menggunakan jasa angkot ini, menjadikan kendaraan beroda empat akhirnya berhenti. Mengurangi polisi napas berbau sangatlah lega.

Keadaan itulah yang dirasakan oleh Gita. Sedari tadi, ia menahan semampunya. Perempuan itu tidak mau melukai hati hanya karena bau napas dan bau mulut.

...Menjaga perasaan orang dewasa adalah hal yang paling penting di hidupnya. Terkecuali teman-teman di sekolah. Itu sudah berbeda lagi. ...

Sesekali, Gita menggeser tubuhnya menuju kursi yang terlihat sepi, luas.

Perjalanan bergerak lagi, menuju lokasi berikutnya.

Goyangan-goyangan badan dan landasan jalan yang terkadang mengagetkan dirinya, harus ditahan sabar.

Bukan mengapa, sudah berulang kali seperti ini. Para penumpang di dalam yang tidak mengerti bagaimana kondisi jalanan yang digunakan, dan juga udara panas, harus ditahan dua kali lipat.

"Haduh, mang, dipercepat mobilnya, dong. Saya buru-buru mau pulang ini." Salah satu ibu yang membawa bayi kecil, mengomel tentang kinerja angkot ini.

"Iya, bu, iya. Saya berusaha, bu." Pak sopir hanya mengangguk takut.

Gita yang mengamati, merasakan tak nyaman sebagai pengguna.

Bayi meronta menangis, menendang wajah ibunya karena tidak suka digendong, ditambah wajah cemas sang sopir yang mengharuskan menambah kecepatan, membuatnya harus berpikir sesuatu.

Gita mengingat tentang kerajinan gelang yang dibuatnya kemarin malam. Perempuan itu suka bermain jari, membuat kerajinan.

Ransel yang dibawa, mulai mengeluarkan sebuah benda. Gelang berwarna pink, menjadi sasaran utama.

Bayi yang menangis, melirik mata melihat benda yang dibawa oleh siswi sekolahan.

Gita mencoba mengalihkan pandangan bayi itu menuju gelang yang dipegangnya.

Tanpa berpikir lama, bayi itu berhenti menangis. Meraih dengan tangan-tangan mungilnya sampai dapat menyentuh.

Gita pun merasa lega karena tangisan itu menghilang.

Ibu yang menggendong bayi, menoleh karena suara tangisan menjadi tidak ada. Tersenyum karena gerakan meraung tadi, menjadi tenang.

"Neng, kamu kasih apa itu?" tanya ibu yang membawa bayinya. "Gelang, ya?"

Pada gerakan jari yang masih bermain dengan bayi ibu tersebut, Gita melihat wajah ibunya. "Iya, Bu. Bayinya jadi suka main." Gita tersenyum malu.

"Walah, gapapa kok, Nak. Ibu jadi seneng kalau ada yang bisa memberhentikan tangisannya. Makasih banyak ya, Neng. Ibu jadi tertolong."

"Iya, Bu, sama-sama." Gita meneruskan bermain dengan bayi lucu yang dilihatnya pagi ini.

Sang ibu sibuk memperhatikan depan selama sopir mengerahkan kemudi, akhirnya berteriak lagi. "Mang, disitu saja, Mang. Berhenti, Mang."

"Iya, Bu," Sang Sopir menuruti kemauan.

Mobil bergerak lurus sedikit, kemudian berhenti sesuai lokasi yang ditentukan.

"Silahkan, Bu." Sopir laki-laki mempersilahkan penumpang tadi untuk segera turun.

"Saya duluan ya, Neng." Ibu pembawa bayi lucu telah berdiri menunduk. Berjalan pelan menuju pintu keluar.

"Da-da, Adek," Gita bersuara kecil, melambaikan tangan kepada bayi lucu untuk terakhir kalinya.

Memandang ibu dan anaknya, Gita menatap kosong dengan pertemuan singkat itu.

"Kapan aku bisa merasakan dekapan ibu seperti itu lagi, ya?"

Gita selalu memikirkan kembali dengan renungan-renungan pada dirinya. Melihat iri, ketika pelukan anak kepada ibunya, sangat-sangat tidak bisa dihindarkan.

Mobil angkutan berjalan lagi, menyisakan beberapa anggota yang tersisa. Anak sekolah, kakak-kakak muda, bapak-bapak bertopi, dan sisanya sopir di depan.

Gita menyenderkan kepala, berdekatan dengan jendela yang terbuka setengah.

Renungan yang menenggelamkan dirinya, tak menyadarkan bahwa mobil ini, kini berhenti di depan sebuah gerbang berukuran sedang.

"Mbak, turun, mbak. Sudah sampai." Pak Angkot memberitahu lokasi satu penumpang yang telah lama diketahui tujuannya.

Gita melamun panjang.

"Eh, iya." Gita tersadar dari lamunan setelah salah satu kakak muda, menepuk pundaknya. "Sudah sampai, ya?"

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!