"Tak harus ada alasan untuk berselingkuh!"
Rumah tangga yang tenang tanpa badai, ternyata menyembunyikan satu pengkhianatan. Suami yang sempurna belum tentu setia dan tidak ada perempuan yang rela di duakan, apalagi itu di lakukan oleh lelaki yang di cintainya.
Anin membalas perselingkuhan suami dan sahabatnya dengan manis sampai keduanya bertekuk lutut dalam derita dan penyesalan. Istri sah, tak harus merendahkan dirinya dengan mengamuk dan menangis untuk sebuah ketidak setiaan.
Anin hanya membuktikan siapa yang memanggil Topan dialah yang harus menuai badai.
Seperti apa kisahnya, ikuti cerita ini ya☺️🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Suesant SW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8. Terjaga Dalam Pelukan
"Kamu membuatku ter@nqs@ng, sayang..."
Anin tak bereaksi, sesaat dia seperti orang linglung. Entah bagaimana cara, seseorang yang jelas telah membelakanginya dengan ketidak setiaan bisa bersikap sedemikian naturalnya.
"Atau aku yang terlalu berlebihan curiga?" Pertanyaan itu menggema di sudut hatinya, perlakuan Galih membuatnya tertegun sejenak.
Mata Anin terpejam saat tangan Galih naik ke atas, l3nguh yang tak berirama keluar dari sela bibir lelaki yang telah sekian tahun menikahinya itu.
"Ada apa denganmu, sayang?" Tiba-tiba pertanyaan itu terdengar, memantul di telinga Anin setengah berbisik.
"Hah?" Anin tertegun, matanya tak berkedip dengan tatapan lurus ke arah tembok kamar sementara dia tak bergeming membiarkan Galih menempel di punggungnya
"Kamu sedikit berbeda dari biasanya."
"Aku? Aku berbeda bagaimana?" Anin menggigit bibirnya, entah bagaimana cara wanita lain di belahan dunia ini memperlakukan suaminya saat tahu lelaki itu kedapatan bermain api di belakangnya, apalagi itu dengan sahabat baik yang di percayainya?
Bagaimana perasaan mereka ketika memikirkan suaminya tidur dengan perempuan lain lalu pada saat yang sama akan menjamah dirinya dengan perlakuan yang sama?
Apakah normal menangis, berteriak histeris, mengamuk? Ataukah diam, tersenyum dan mengatakan tak apa-apa untuk menenangkan hati sendiri dan menyelamatkan keadaan?
Rasanya di khianati oleh orang yang kita cintai dan orang yang kita percayai itu dobelnya luar biasa!
Anin merasa dilema, hatinya sakit, tak ada yang bisa menawarnya tentu saja kecuali amarah dan murka tetapi dengan segenap kekuatan dia menahan emosinya yang di bibir kesabaran.
Dia harus membuktikan dengan mata kepalanya sendiri perselingkuhan mereka bagaimanapun caranya dan jika ini sungguh benar maka dia harus memberi pelajaran yang akan di ingat oleh mereka seumur hidup.
"Kamu terasa lebih pendiam, sayang. Kenapa? Ada masalah? " Galih membalikkan tubuh Anin dan membuat mereka bersitatap untuk beberapa lama.
"Akh, aku baik-baik saja. Perasaan ayang saja." Anin menarik sudut bibirnya, senyum terpaksa yang di buat-buat manis tetap saja terasa hambar.
"Eh, kenapa matamu merah sembab begitu?" Galih menangkupkan tangannya di kedua belah pipi Anin.
"Oh, ini...tadi...tadi aku kelilipan pas memeriksa kamar Gigi." Sahut Anin sambil membuang wajahnya ke samping dengan jengah.
Galih menyapu telapak tangannya di pipi Anin, perlakuan Galih benar-benar membuat Anin terperangkap dalam rasa bingung sekaligus jijik.
Dan sebelum sempat Anin melepaskan diri,
Cup.
Sebuah kecupan mendarat di bibirnya, singkat.
"Sayang...kemarilah..." Galih menarik tangan Anin ke tempat tidur, dengan tanpa memberi aba-aba, tubuh Anin di dorongnya ke atas tempat tidur.
Anin yang setengah terbaring masih terkejut di tindih oleh Galih, lalu ciuman liar tanpa bicara itu menyusuri wajah hingga lehernya. Terasa kasar dan di penuhi gairah.
Cumb*an yang di berikan Galih tak bisa di respon Anin dengan alami, selayaknya istri yang lagi di landa rindu. Tentu saja, siapa yang bisa membalas sebuah ciuman ketika sesaat yang lalu mendapati sebuah foto pertemuan orang yang sama yang kini sedang berusaha menindihnya ini melakukan pertemuan, dinner mesra dengan perempuan lain?
"Sayang, aku rindu bau tubuhmu..." Bisik Galih serak, di ciuminya leher hingga dada Anin hampir di setiap jengkalnya dan saat bertemu sebuah gundukan, tangannya menarik kancing piyama dress itu sedikit tak sabar dan setelahnya dengan rakus dia menyes@pnya.
Tubuh Anin menegang kaku, tak berusaha menggeliat seperti biasanya. Secara naluriah dia menyukai semua cumbu@n suaminya yang tak pernah gagal untuk membuatnya mabuk kepayang itu. Tetapi, di saat bersamaan secara sadar jiwanya menolak, bagaimana tidak, lelaki yang sama ini mungkin saja beberapa saat sebelumnya melepas hajat yang sama pada orang lain dan sekarang dia ingin menuntaskan hasrat itu padanya?
"Ukh..." Sebagai istri Anin merasakan sakit itu hingga ke sendi-sendinya, bayangan perlakuan yang sama yamg mungkin di lakukan Galih pada Retno membuat dirinya sesak nafas.
Semakin di pejamkannya mata semakin pula rasa perih itu naik hingga memaksa air mata untuk keluar dari kelenjarnya.
"Sayang..." Panggilan Galih terdengar dalam volume sedikit tinggi, menyadarkan Anin yang memejamkan matanya sekuat tenaga sembari menahan nafas, tanpa sadar kefuanya mencengkeram sepray di kedua sisi tubuhnya sampai badannya menegang karena gemetar.
"Kamu kenapa?" Tanya Galih kemudian, dia mematung di atas tubuh Anin, paras otu mengeras kemerahan dengan kedua tangan bertumpu di atas tempat tidur. Posisinya seperti orang yang siap melahap Anin kapan saja.
Anin membuka matanya, tanpa bisa di kontrolnya, air mata itu meleleh ke pelipisnya.
"Kamu menangis?" Galih terpana, nyaris tak berkedip.
"Tidak!" Anin menepis tangan Galih yang hendak menyentuh pelipisnya itu seakan ingin memastikan air mata itu nyata.
"Sudah ku bilang mataku tadi kelilipan." Anin mendorong tubuh Galih menjauh lalu bangkit segera. Merapikan piyama dressnya.
"Sayang, bukankah kamu menungguku untuk bercinta?" Pertanyaan konyol itu merobek perasaan Anin sebagai istri.
Bercinta? Dia hanya berfikir aku menunggunya untuk bercinta? Aku ini istrinya!!! Anin berdecih dalam hati, dia marah diperlakukan seakan tak berharga. Dengan tanpa menunggu persetujuan, di matikannya lampu kamar dan yang menyala hanya lampu tidur di atas meja.
Anin beringsut ke tempat tidur, hatinya kesal tak bisa bersandiwara seperti rencananya di awal, hanya untuk menganalisa perbedaan sikap sang suami saat menyentuhnya.
Ternyata rasa sakit, cemburu dan terluka membuatnya merasa jengah dan tak kuasa merespon dengan benar setiap sentuhan sang suami. Perasaannya begitu hambar karena kesakitan yang tak bisa di ungkapnya.
"Sayang?" Dalam remang Galih menatap setiap gerakan Anin yang tak biasa.
"Maafkan aku, Yang...aku lupa bilang kalau aku sedang haid sekarang." Sahut Anin sambil menarik leher suaminya lalu mendekatkan dahinya ke bibir sang suami, seperti kebiasaan Galih yang senantiasa mengecup dahinya sebelum mereka berdua tidur.
"Kita tidur saja, ya. Aku tahu ayang sangat lelah setelah perjalanan ke puncak. Pekerjaanmu yang banyak tentu membuat letih, ayang perlu banyak istirahat." Anin menarik selimutnya lalu membelakangi Galih seakan dia benar-benar memberi kesempatan Galih untuk segera tidur.
"Oh, ku kira karena kamu lagi marah padaku? Ternyata lahi haid, ya?" Suara tawa kecil Galih terdengar garing di telinga Anin. Lalu suaminya itu masuk ke dalam selimut dan memeluk Anin dari belakang,
"Tapi peluk boleh, kan?" Bisik Galih. Ani tak menjawab, dia hanya memejamkan matanya, tanpa menolak pelukan suaminya itu.
Kadang-kadang seseorang mengkhianati kita tanpa menunjukkan taringnya dan perselingkuhan tak harus di tunjukkan dengan gejala sehingga acap kali kita tak menyadari pasangan kita sedang menyelingkuhi kita.
Hujan datang tanpa selalu di sertai angin kencang dan badai, cobaan juga menghampiri tak selamanya dengan peringatan.
Anin menggigit bibirnya, deru nafas teratur Galih terdengar berirama di belakang punggungnya, dia tahu Galih mungkin sedang terlelap tanpa sedikitpun merasa berdosa. malam ini, dia pasti akan terjaga dengan murka dalam pelukan sang suami.
andai d alam nyata, tak bejek2 tu suami .bikin dendam aja
sukses dalam berkarya.
ku suport dngan kirim setangkai mawar.