Awal pertemuan dengan Muhammad Hazim Zaim membuat Haniyatul Qoriah hampir terkena serangan Hipertensi. Meski gadis itu selalu menghindar. Namun, malangnya takdir terus mempertemukan mereka. Sehingga kehidupan Haniyatul Qoriah sudah tidak setenang dulu lagi. Ada-ada saja tingkah Hazim Zaim yang membuat Haniyatul pusing tujuh keliling. Perkelahian terus tercetus diantara mereka mulai dari perkelahian kecil sehingga ke besar.
apakah kisah mereka akan berakhir dengan sebuah pertemanan setelah sekian lama kedua kubu berseteru?
Ataukah hubungan mereka terjalin lebih dari sekadar teman biasa dan musuh?
"Maukah kau menjadi bulanku?"
~Haniyatul Qoriah~
🚫dilarang menjiplak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Haryani Latip, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tarik Ulur (Part 2)
Kalau sudah di tantang, siapa yang takut membuktikan?
______________________________________
"Jangan pergi," perintah Zaim dengan tegas.
Bola mata Haniyatul langsung menangkap sosok lelaki itu dengan emosi yang ditahan.
"Jika kau pergi aku akan berteriak dan mengatakan bahwa aku akan melamarmu besok," ancam Zaim. Membuat Ainul membulatkan matanya. Sedangkan Humaira, gadis itu langsung menghentikan aktivitasnya menyantap makan siangnya. Demikian juga dengan Mukhlis dan Aydan.
Ini anak semakin dibiarkan semakin mengelunjak dia, batin Haniyatul. Sedangkan Zaim sudah berdiri dihadapan gadis itu seakan-akan sedang menantang.
Suasananya semakin seru, bisik batin Mukhlis sambil berusaha menyembunyikan senyumannya. Sementara Aydan pula menatap keduanya dengan serius, ia penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya.
Haniyatul memegang bekalnya dengan keras seakan siap ingin memukul lelaki itu dengan bekal makanannya. Mulutnya dikatup erat dan bersiap ingin mengayunkan tangannya kearah Zaim.
Zaim menutup matanya dengan kening yang dikerutkan. Ia menduga bahwa Haniyatul pasti akan memukul kepalanya dengan bekal makanan yang dipegang, sama seperti yang terjadi beberapa hari yang lalu, tetapi Zaim tidak pula berniat ingin menghindar. Jadi, ia memejamkan matanya rapat-rapat.
Niat Haniyatul yang awalnya ingin memukul Zaim dengan bekal makanannya kini diurungkan ketika melihat ekspresi Zaim yang sedemikian rupa. Tangan Haniyatul yang berada bebas di udara ditarik kasar oleh sang tuan. Kemudian Haniyatul berlalu begitu saja.
"Hahahaha," tawa Mukhlis meledak. Sungguh ia sudah tidak bisa menahan tawanya lagi.
Mendengar Mukhlis yang tertawa terbahak-bahak. Akhirnya, Zaim pun memutuskan untuk membuka matanya. Dilihatnya pundak gadis itu sudah mulai menjauh darinya dengan mengatur langkah yang cepat seraya menahan emosi yang bergejolak.
Zaim menghela napas lega sembari mengusap dadanya." Ini cewek kayak preman ya, kalian lihat bukan?" tanya Zaim pada temannya. Jari telunjuknya lurus mengarah pada sosok Haniyatul yang kian menjauh.
Mukhlis tertawa terkekeh-kekeh setelah melihat tayangan Bioskop gratis di depan mata.
"Itu anak tidak shalat ya?" gumam Zaim. Ia melirik arloji yang terpasang di tangan kanannya. Karena memang setelah istirahat, masuk pula waktu shalat Asar.
"Han," gumam Ainul setelah kelibat temannya hilang di depan mata. Ia juga melirik arloji di tangannya sama seperti yang dilakukan oleh Zaim tadi.
"Apa dia masih mens..." Ainul menggantungkan kalimatnya. Pandangannya terarah pada Zaim yang diam-diam mencuri dengar gumamannya.
"Kepo deh," ujar Ainul. Sontak Ainul berlalu pergi setelah pamit dengan Humaira. Jika ia tahu akan seperti ini, mungkin ia tidak akan melarang Haniyatul untuk menyantap makanannya di kelas. Dan hal yang paling dikesalinya adalah sikap sepupunya itu, Zaim. Langsung tidak keren seperti Aydan, kadang Ainul berdoa agar sehari saja Zaim bersikap seperti Aydan yang keren, alim dan tidak konyol.
Aydan melipat tangan ke dada. Beradu pandang dengan Humaira kemudian melihat kearah Ainul yang sedang menyusul temannya ke kelas.
***
Malam acara ulang tahun.
Di atas meja yang berukuran panjang dan terbuat dari bahan kayu Jati asli, terlihat hidangan yang menggugah selera yakni nasi Tumpeng.
Nasi Tumpeng adalah makanan masyarakat Jawa yang penyajian nasinya berbentuk kerucut dan ditata dengan lauk pauk. Olahan nasi yang di pakai umumnya nasi kuning, nasi biasa, atau nasi uduk. Dan nasi tumpeng juga bukan hanya di nikmati oleh masyarakat Jawa saja tapi juga oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Terdengar riuh gelak ketawa memenuhi setiap penjuru rumah yang berkonsep islami tersebut, yang terdiri dari dua lantai. Di bagian ruang tamu pula tergantung beberapa gambaran kaligrafi tulisan Allah dan Muhammad yang ditata dengan rapi. Tidak hanya itu, dindingnya juga berwarna putih yang membawa nuansa Timur Tengah dan sederhana, serta dihiasi dengan ukiran-ukiran kaligrafi, sedangkan lantainya merupakan lantai ubin keramik yang memiliki varian, bentuk, dan warna yang di sukai. Lantai ubin keramik terbuat dari tanah liat yang kemudian dibakar dengan suhu yang disesuaikan dengan standar. Tidak hanya itu, jendelanya juga menyongsong desain Teralis yang terbuat dari besi tempa, berwarna emas dan bermotif Masyrabiya atau motif timur tengah.
Anak-anak mulai bermain ke sana kemari, berlari dan berkejaran dengan senyuman di wajah.
Humaira tersenyum melihat tingkah anak-anak kecil tersebut. Terkadang ia turut nimbrung bermain bersama mereka.
Di teras rumah terlihat Zaim, Mukhlis, dan Aydan sedang berbincang-bincang, membahas topik yang terdengar santai di sela-sela tawa mereka. Malam ini Mukhlis juga turut hadir dalam acara ulang tahun Humaira karena telah diundang oleh Aydan. Memang Humaira meminta Aydan untuk mengundang semua temannya di acara malam ini.
"Za, tadi siang apa menurutmu kamu tidak keterlaluan?" tanya Mukhlis.
"Keterlaluan? Maksudnya apa?" Zaim mengerutkan dahinya.
"Soal tadi siang di kantin, tentang Haniyatul," jelas Mukhlis.
Aydan menyeruput teh hangatnya. Menyimak kembali pembicaraan kedua temannya itu.
"Hahahaha, apa menurutmu aku keterlaluan," sahut Zaim dengan sisa tawanya.
"Sedikit," ujar Mukhlis.
"Ehem," Zaim berdehem.
"Tapi apa kalian tidak merasa Haniyatul itu gadis yang lucu?" lanjut Zaim.
Aydan mengangkat alis kanannya. Masih menyimak perbualan mereka.
"Apa karena dia lucu jadi kamu sering mengganggunya?" tanya Mukhlis. Kali ini ia melipat tangan ke dada.
"Bisa di bilang seperti itu," ucap Zaim seraya menyeruput teh hangatnya.
"Serius? Ucapan mu itu serius?" Kali ini Aydan pula yang bertanya. Terselip keraguan dibalik pertanyaannya itu.
"Kalian kenapa? Iya aku serius," ucapnya.
Sontak Aydan dan Mukhlis mengulum senyum ketika melihat temannya itu seperti cacing kepanasan jika membahas soal Haniyatul.
"Kamu sudah memberikan hadiah buat Humaira?" kali ini Zaim menukar topik pembicaraan.
"Belum," jawab Aydan sembari menundukkan wajah.
"Eh, ini anak. Sekaranglah waktunya. Cepat sana, kasi hadiah! Emang ini anak tidak keren sama sekali," ucap Zaim seolah-olah dia paling keren di antara temannya yang lain.
"Jadi cowok itu harus berani dong," ucap Mukhlis pula. Ia mengepalkan tangannya lalu memukul perlahan bahu Aydan.
Aydan tersenyum mendengar ucapan kedua temannya itu. Tidak hanya itu, Zaim dan Mukhlis malah memaksa Aydan masuk ke rumah agar lelaki itu mau memberikan Humaira kado yang sedari kemarin sudah ia siapkan. Mau tidak mau terpaksalah Aydan masuk ke dalam rumah dan berjalan ke arah Humaira yang dikelilingi oleh beberapa anak kecil yang duduk bermain di ruang tamu.
Dari kejauhan, Ainul melihat Aydan yang sedang menghampiri Humaira. Rasa kecewa mengetuk pintu hatinya, namun ia tidak pula menghentikan kegiatannya menyantap makanan yang ada di hadapannya.
"Humaira," sapa Aydan.
Pandangan Humaira terarah pada Aydan. Sesekali ia melirik kearah orang tua mereka yang sibuk berdiskusi. Entah apa yang mereka diskusikan.
Aydan mengulurkan sebuah kotak kecil yang dibungkus dengan kertas kado berwarna pink.
"Selamat ulang tahun," ucap Aydan.
"Terima kasih," balas Humaira sambil mengambil kado yang diberikan padanya. Malam ini Humaira terlihat begitu cantik bagaikan bidadari, ia mengenakan gamis panjang berwarna biru laut dan jilbab syar'i berwarna putih bersih.
"Aydan, bisa duduk sebentar?" pinta Humaira.
Tanpa banyak bertanya Aydan pun duduk di salah satu kursi yang ada di ruang tamu. Melihat Aydan yang duduk di ruang tamu bersama Humaira dan beberapa anak kecil yang sedang menggambar. Membuat Ainul penasaran dengan topik pembicaraan mereka.
"Aydan, bagaimana menurutmu tentang Haniyatul?" tanya Humaira. Tangannya mengelus puncak kepala seorang anak perempuan yang berada di hadapannya.
"Maksudnya apa?" tanya Aydan.
"Kamu benar-benar tidak peka," ujar Humaira seraya menghentikan kegiatannya mengelus puncak kepala anak perempuan tersebut.
"Apa kamu tidak memperhatikan tingkah Haniyatul yang sepertinya menyukaimu?" l,anjut Humaira. Kali ini raut wajahnya terlihat serius.
"Aku tidak mengerti," sahut Aydan.
"Dia gadis yang baik, sepertinya cocok dengan mu," ucap Humaira lagi. Tidak ada tanda-tanda Humaira akan mengganti topik pembicaraan walaupun Aydan sudah terlihat kesal.
"Hentikan Humaira," bentak Aydan.
Akan tetapi, tidak ada ekspresi terkejut sama sekali di wajah Humaira. Sepertinya ia sudah mempersiapkan diri jika Aydan akan murka dengan ucapannya, sementara Ainul tetap terlihat penasaran dengan apa yang terjadi di antara kedua makhluk Tuhan itu.
"Bukan Humaira, tapi kaka. Kaka Humaira," tegas Humaira.
"Berhenti berpura-pura tidak tahu tentang perasaan ku Humaira," mata Aydan memerah menahan emosi. Kontan laki-laki itu pergi dengan emosi yang tertahan. Humaira menatap punggung laki-laki itu dengan raut wajah sedih seraya memeluk anak perempuan yang berada di hadapannya.
***
Haniyatul memilah beberapa buku yang akan di pinjamnya nanti. Sungguh hari ini ia merasa bahagia sekali karena memiliki kesempatan untuk mengunjungi perpustakaan sebelum jam mata pelajaran di mulai.
Haniyatul mulai bersenandung lagu shalawat yang didengarnya tadi malam. Sesekali terdengar ia terbatuk-batuk saat menarik nada tinggi karena tidak berkecukupan napas, sungguh menyanyi bukan keahliannya. Suaranya sumbang dan menyakitkan telinga. Jadi, ia tidak pernah berani-berani memperdengarkan suaranya kepada orang lain, namun kali ini tanpa di sengaja Aydan mendengar suara Haniyatul yang sedang bersenandung karena secara kebetulan ia sedang membaca buku di rak buku yang tidak jauh dari tempat Haniyatul berdiri.
"Ma'a salamaa fi a'mani syaikona, ukh-ukh," walaupun suaranya sumbang ia tetap bersenandung girang dengan cara memelankan suaranya. Takut- takut jika di dengar orang lain.
Aydan tersenyum, namun senyumannya langsung sirna ketika mengingat pembicaraannya dengan Humaira tadi malam. Hatinya tiba-tiba saja merasa kesal pada Haniyatul, Padahal bukan gadis itu yang salah.
Setelah memilah buku, akhirnya tiga buah novel menjadi pilihannya yaitu Kelat-kelat Sayang karya Izzul Izzati, My Love Playgirls karya Siti Nur Dhuha, dan Tujuh Hari Mencintaiku karya Siti Rosmizah. Buku-buku itu di bawa ke tempat pelayanan peminjaman buku sambil membawa kartu anggota perpustakaan.
Ketika tiba di pintu perpustakaan ini, aroma tiap lembaran buku akan menyapa setiap pengunjungnya. Membuat para pencinta buku tidak ingin pergi dari tempat ini bahkan sampai tidak sadar bahwa waktu telah berjalan dengan cepat saking sibuknya menikmati tiap karya dari penulis terkenal. Beberapa bangku kayu yang tersusun dengan rapi, dan rentetan tulisan-tulisan para pemenang dalam lomba menulis kisah Rasul yang diadakan oleh Madrasah Nurul Hidayah di pajang di lemari kaca dekat dengan dinding kosong dan hiasan miniatur bola peta dunia yang berukuran sederhana besar.
"Saya pinjam ketiga buku ini," ucap Haniyatul pada seorang gadis yang hampir seumuran dengannya. Yang di tugaskan untuk menjaga perpustakaan ketika guru yang bertanggung jawab menjaga perpustakaan sedang tidak ada di sekolah.
"Tempo pinjamannya selama lima hari ya kak, hari sabtu sudah harus dikembalikan," ucap wanita tersebut dengan lesung pipi di wajahnya.
"Waktunya tidak bisa diperpanjang sedikit?" tanya Haniyatul.
"Satu buku temponya lima hari, jadi setelah lima hari buku tersebut harus di kembalikan, jika lewat dari harinya maka akan dikenakan sanksi yakni dibayar sebanyak rp2000.00-," jelas gadis itu lagi.
"Satu buku tempo peminjamannya lima hari?" tanya Haniyatul sekali lagi untuk memastikan apa yang baru saja di dengarnya.
"Iya. kak," jawab gadis itu pula.
Wajah Haniyatul cemberut. Dengan terpaksa ia menandatangani beberapa surat peminjaman buku. Sepertinya malam ini ia harus ngebut membaca novel-novel yang di pinjamnya.
Haniyatul pun berlalu dengan membawa ketiga novel tersebut di tangan. Ingin saja ia meminjam buku-buku itu secara bergantian tapi nanti malah novel yang lain pula di pinjam orang. Bisa-bisa Haniyatul galau merana karena penasaran.
Setelah Haniyatul pergi. Aydan pun keluar dari tempat persembunyiannya. Menatap punggung gadis itu yang mulai menjauh darinya lalu menghilang di balik pintu... (lanjut ke Flashback)
Aydan sedang berlari-lari kecil bersama dengan ayahnya dan Humaira. Memang Humaira sudah dianggap seperti anak sendiri oleh ayahnya, mereka berbicara ringan di sela-sela tawa dan rasa bahagia yang membuncah.
Dari kejauhan terlihat seorang gadis sedang duduk di bangku kayu sambil mengikat tali sepatunya. Mata Aydan melebar ketika mengenal sosok gadis tersebut, namun ia tetap memasang tampang tidak peduli pada si gadis. Saat Aydan dan Humaira mendekati Haniyatul. Wajah gadis itu terlihat sedih, mungkin melalui ekspresi itu Humaira bisa menduga perasaan Haniyatul pada Aydan.
"Permisi kak? Mau pinjam buku?" pertanyaan si gadis manis membuyarkan lamunan Aydan. Pandangannya kini teralihkan pada si gadis tersebut. Buku di tangan di letakkan dihadapan gadis berlesung pipi itu. Hari ini Aydan meminjam buku yang berjudul Ada Syurga di Dekatmu karya Ust. Saiful Hadi El-Sutha.
***
"Han, maaf ya," ucap Ainul seraya menggandeng lengan temannya yang sedang duduk membaca buku. Hari ini kelas tidak terlalu bising. Jadi, suasananya terkesan cocok untuk membaca.
"Maaf? Kenapa?" tanya Haniyatul. Matanya tak lepas dari membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di setiap halaman buku.
"Soal Zaim kemarin," jelas Ainul. Wajahnya menunduk sedih.
Haniyatul menutup novel yang dibacanya yang berjudul Kelat-kelat Sayang karya Izzul Izzati. Kini pandangannya terarah pada Ainul.
"Soal kemarin itu salah Zaim, bukan salah kamu. Jadi, dia yang harus minta maaf," ucap Haniyatul. Tangan Ainul digenggam erat dengan penuh kelembutan.
"Soalnya aku juga sepupunya, dan dia itu sudah bercanda kelewatan," sahut Ainul pula dengan wajah bersalah.
"Apa kaitannya jika kamu sepupunya? Intinyakan dia yang salah bukan?" balas Haniyatul. Ia tidak ingin temannya itu merasa bersalah atas kesalahan orang lain.
"Tapi, Han. Sebelumnya Zaim tidak pernah bersikap seperti itu pada mana-mana gadis. Sepertinya dia bersikap begitu hanya dengan mu saja," jelas Ainul seraya membuat gambaran Abstrak di belakang bukunya.
"Jadi, sebelumnya Zaim laki-laki seperti apa?" tanya Haniyatul dengan nada suara kurang berminat membahas soal laki-laki itu
"Dia laki-laki yang baik, hangat, sopan, dan penyayang," puji Ainul dengan bersungguh-sungguh.
Akan tetapi, apapun yang dikatakan Ainul tentang Zaim tidak sedikit pun membuat Haniyatul melunak pada lelaki itu. Jika hatinya sudah benci ya tetap saja benci walau orang yang dibenci itu sudah di puji meninggi oleh orang lain. Tetap, saja hati Haniyatul tidak akan berubah, namun harus di ingat jangan terlalu membenci karena bisa saja dari rasa benci muncul rasa sayang.
***
Jam sudah menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh siang. Mata Ainul sudah mulai mengantuk mendengar samar-samar suara Ustadz Faqir menjelaskan tentang Sifat-sifat Terpuji dalam Islam.
Tidak hanya Ainul saja yang mulai mengantuk, tetapi hampir seluruh siswa di kelas merasakan hal yang sama. Udara dingin siang itu dengan gerimis hujan yang mulai membasahi bumi seakan memanggil setengah jiwa untuk tenggelam dalam suasana kantuk.
Ainul menguap seraya mengetuk-ngetuk meja dengan pulpennya. Matanya menatap kearah teman disebelahnya, Haniyatul. Tidak puas memainkan pulpennya kali ini Ainul membuat pula gambaran abstrak di belakang buku tulisnya. Menambahkan lagi coretan-coretan di belakang buku tersebut.
Di atas gambaran-gambaran Abstrak yang dibuatnya ia menuliskan beberapa kalimat ' Hazim dan Hani'
Ustadz Faqir duduk di kursinya lalu menatap keluar ruangan. Dilihatnya langit semakin gelap. Sepertinya hujan akan turun dengan deras siang ini.
Haniyatul mengalihkan pandangannya ke arah Ainul. Dan ternyata gadis itu sudah tertidur. Lalu Haniyatul melihat pula ke belakang. Hampir semua siswa meletakkan kepala mereka diatas meja untuk tidur hanya satu dua saja yang masih bertahan.
Ustadz Faqir sepertinya mengerti dengan situasi saat ini, ia pun mengemas buku-buku yang dibawanya tadi lalu mengucapkan salam dan berlalu pergi tanpa mewariskan tugas buat siswanya.
Tidak lama setelah Ustadz Faqir meninggalkan ruangan kelas. Akhirnya bel istirahat pun berbunyi. Mengembalikan setengah jiwa yang sudah melayang entah ke mana. Bel istirahat memang sudah seperti ucapan mantra saja yang mampu menyegarkan pikiran para siswa dari rasa kantuk dan lapar yang mendera.
Hujan yang tadinya gerimis kini menjadi semakin deras menghantam atap sekolah. Suara hujan seakan nyanyian yang membuat beberapa orang tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Assalamualaikum, Hani," sapa Humaira. Ia memelankan suaranya karena ia melihat Ainul yang sedang tidur.
"Walaikumsalam, iya kak. Ada apa?" tanya Haniyatul dengan suara yang turut di rendahkan.
"Bisa aku berbicara dengan mu sebentar?" tanya Humaira pula. Matanya beradu pandang dengan Haniyatul. Menatap dalam-dalam wajah Haniyatul yang terlihat kaget.
***
Hujan semakin deras, dan awan kelabu semakin pekat di langit. Udara dingin mondar-mandir mencari mangsa. Dan di tengah kedinginan itu terlihat dua orang gadis sedang duduk bersebelahan di sebuah Pendopo kayu yang di desain dengan menyongsong konsep islami berukuran sederhana dengan meja berbahan besi berbentuk bulat berada di tengah-tengah Pendopo kayu itu.
"Apa yang ingin kakak bicarakan padaku?" tanya Haniyatul. Ia meremas kasar tangannya.
"Soal Aydan,"
Jdaar!
Suara kilat langsung bergemuruh saat nama itu disebutkan oleh Humaira. Sehingga, membuat Haniyatul turut merasa terkejut karena tiba-tiba saja Humaira berkata begitu.
"A---Aydan? Kenapa dengan Aydan?" tanya Haniyatul sedikit terbata-bata.
Humaira melemparkan senyuman manis pada Haniyatul. Akan tetapi, ia tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. "Tolong, tolong jaga dia saat aku pergi nanti," ucap Humaira seolah sedang memohon.
Haniyatul semakin tidak mengerti maksud dibalik ucapan wanita itu. Kilat sambung menyambung di atas langit. Awan yang kelabu kini berubah menjadi hitam. Udara dingin tadi mulai menyapa dengan ganas menerbangkan dedaunan dari ranting pepohonan.
Tbc
but Honey hehehe gak sayang juga sih tapi madu hahahahaha 🤣✌️
mmm...jdi pengen dipeduliin 🙈