Kemala adalah seorang wanita mandiri yang masih memiliki suami. Namun karena suami yang sangat pelit ia terpaksa bekerja sambil membawa anak nya yang masih kecil. setiap hari Burhan suaminya hanya memberi uang sebesar 10.000 rupiah beserta uang jajan untuk nya. Selama menikah dengan Burhan ia hanya tahu bahwa Burhan adalah seorang supir truk pengangkut sawit, tanpa ia ketahui suaminya itu adalah manajer di perusahaan kelapa sawit terbesar di kota itu. bagaimana kah kelanjutan rumah tangga Kemala? akan kah badai itu terus menerus datang ataukah akan ada pelangi setelah hujan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uul Dheaven, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Usaha Sampingan
Selain mencari berondolan, aku juga bisa menganyam daun sawit menjadi apa saja. Seperti peralatan yang ada di dapur ku saat ini.
Biasa nya sehabis mengambil lidi yang ada di daun sawit, aku akan menjemur daun nya. Barulah setelah itu aku bisa menganyam beberapa kerajinan tangan.
"Mala, aku mau dong dibuatkan sandal seperti punya anak Lanang (laki-laki) mu." Ucap salah satu tetangga ku.
"Tapi Wak, sandal seperti itu nggak akan awet. Apalagi kalau udah lama dan layu."
" Tapi bentuk nya unik Mala. Nggak apa kalau nggak bisa di pake. Aku simpan aja di lemari supaya jadi koleksi."
"Tapi Wak, Mala takut nanti wawak kecewa."
"Udh nggak apa, kau buatkan aja satu untuk ku. Nanti kalau memang aku suka, aku ambil. Gimana?"
"Iya Wak. Nanti mala usahakan ya."
"Oh ya Mala, kau itu kan pintar buat kerajinan tangan. Kenapa nggak kau olah semua itu. Kan lumayan bisa nambah jajan."
"Ah wawak ini, nanti kalau yang beli nya nggak suka gimana. Mala takut Wak."
"Gini aja, kau kan pernah bantuin anak wawak buat kerajinan tangan. Itu tu jam dinding dari batu kecil-kecil. Apa lah namanya itu wawak nggak tahu. Coba kau buat mana tahu nanti ada yang tertarik."
"Aku nggak percaya diri Wak."
"Buat saja dulu nanti biar wawak minta bantuan anak wawak untuk di promosi kan."
"Iya Wak, nanti lah Mala usaha dulu. Kalau udah siap nanti mala kerumah wawak."
"Iya, nanti wawak tunggu ya."
Aku pun mulai memisahkan lidi dari daun sawit kembali. Lumayan sekali lidi-lidi ini bisa dijadikan sapu dan dijual.
Aku jadi teringat apa yang dikatakan Wak Nur, apa ku mulai saja mengoleksi benda-benda yang ada didalam hutan terus aku jadikan kerajinan tangan.
Dari dulu aku memang suka sekali membuat sesuatu yang baru. Bakat seni ku memang ada disana. Namun semua terkubur saat aku menikah dengan bang Burhan dan berhenti melanjutkan pendidikan.
Saat itu dia pernah berjanji akan membiayai kuliah ku. Namun, semua hanya tinggal janji. Jangan kan kuliah, bisa tamat Sekolah Menengah Atas saja aku sudah sangat bersyukur.
"Tak perlu lah kau lanjutkan kuliah Mala, kau itu perempuan yang nanti kerjaan nya cuma dirumah, untuk apa pendidikan tinggi-tinggi. Buang-buang uang anak saya saja." Ucap Ibu mertua kala itu.
Aku hanya diam tanpa berkata apapun. Jangan harap bisa menang berdebat melawan mertua ku itu. Jika tidak bisa menggunakan mulut, ia akan menggunakan tangan nya untuk membungkam ku.
Bang Burhan bukan nya membela ku, ia pun seperti tidak mau tahu dengan keinginan ku untuk melanjutkan kuliah.
"Abang tak masalah jika kau mau kuliah Mala, cuma ya itu. Abang ini kan cuma supir truk. Kecuali kalau kau punya biaya sendiri."
"Tapi, bukan nya Abang udah janji sebelum kita nikah waktu itu."
"Ya itu kan karena Abang pikir biaya kuliah itu murah. Pas Abang hitung-hitung malah nggak cukup dengan gaji Abang yang cuma sebagai supir."
"Apa Abang nggak bisa usaha gitu? Mala pengen melanjutkan cita-cita Mala bang. Mala janji nggak akan melupakan tanggung jawab maka sebagai seorang istri."
"Tolong menurut Mala, jangan suka membantah suami mu."
"Tapi bang, Abang udah ingkar janji kalau begini."
"Kau ini, sudah ku bilang jangan membantah tidak juga kau dengarkan aku."
Ucap bang Burhan sambil meremas mulut ku.
Saat itu pertama kali aku merasakan bagaimana bang Burhan bisa berubah menjadi kasar jika aku tidak menuruti apa kata nya.
"Bunda, sandal Aska udah putus."
Seketika lamunan ku buyar saat mendengar suara Aska. Ah ternyata sandal nya telah habis masa pakai nya. Aku membuat sandal Aska dari daun sawit yang ku anyam. Aska sangat menyukai nya.
Sebenarnya aku bisa saja membeli kan Aska sandal baru, hanya saja tiap aku membelikan nya sandal, pasti bang Burhan akan mengambil nya.
Aku pun bingung entah dibawa kemana semua sandal milik Aska itu. Setiap ku tanya ia hanya menjawab jika sandal itu ia berikan kepada Tika.
"Tika itu perempuan bang, bukan laki-laki. Apa mungkin dia mau memakai sandal milik Aska?"
"Itu bukan urusan mu Mala. Terserah Tika mau di apakan sandal itu. Di pakai atau di buang, tidak ada sangkut pautnya dengan mu."
"Bang, itu sandal aku beli dengan mencari berondolan. Tidak ada sepeser pun uang Abang. Jadi jangan sekali-kali Abang mengambil milik Aska lagi."
"Sombong sekali kau Mala! Baru menjadi buruh pencari berondolan saja gaya mu setinggi langit."
Setelah berdebat biasanya bang Burhan akan pergi meninggalkan ku sendiri. Entah terbuat dari apa hati dan pikirannya. Tidak sedikit pun ia peduli dengan kami.
Pulang kerumah bapak dan Mak aku tidak berani. Pasti mereka akan menyalahkan ku karena tidak bisa menjadi istri yang baik. Orang tua ku lebih mempercayai bang Burhan dari pada anak nya sendiri.
Bang Burhan pintar sekali bermain peran. Setiap lebaran kami hanya akan menginap semalam saja di rumah keluarga ku. Disana bang Burhan akan memperlakukan orang tua ku dengan sangat baik.
"Baju mu itu-itu aja Mala! Apa Burhan tidak membelikan mu baju baru?" Tanya Mak waktu itu.
"Bukan begitu Mak, Mala tidak ingin merepotkan Burhan, ia sangat hemat sekali menyimpan uang yang Burhan berikan kepada nya. Katanya pengen cepat kaya." Ucap bang Burhan.
"Jangan kau pikir kaya dulu Mala, jika punya uang nikmati lah. Jangan sampai kau menyesal nanti." Ucap Mak ku menimpali.
Aku hanya menunduk mendengar pembicaraan mereka. Pintar sekali laki-laki yang bergelar suami ku mengarang cerita. Bagaimana bisa kaya, untuk makan sehari-hari saja aku kesusahan bahkan harus membanting tulang.
Seandainya orang tua ku tahu bagaimana anak nya di perlakukan disana. Bahkan pembantu pun lebih baik daripada status ku saat ini.
"Bentar ya nak, nanti kita beli saja sandal yang baru. Tapi Aska janji jangan kasih tahu ayah. Gimana?"
"Iya bunda, nanti sandal nya Aska sembunyikan di tempat yang aman." Ucap Aska sambil terkikik geli.
Setelah menghasilkan beberapa sapu lidi, aku pun pergi bersama Aska ke kedai yang berada di tidak jauh dari rumah ku. Kedai itu banyak menjual segala jenis barang yang kita inginkan. Seperti Sandal, sepatu, baju, tas dan aksesoris lainnya.
"Bunda, Aska mau yang ini. Ada gambar manusia laba-laba."
"Aska suka yang ini? Tapi janji di jaga ya nak sandal nya."
"Iya bunda."
Setelah mendapatkan sandal yang di inginkan Aska kami pun membayar barang belanjaan kami. Tanpa sadar mata ku melihat seseorang yang sangat ku kenali.
Bang Burhan suamiku sedang menggendong Tika, di sampingnya berdiri Tiwi dengan senyuman terindah nya. Sungguh pemandangan yang membuat hati ku perih.
"Om, Tika mau beli boneka ini dan ini. Terus Tika juga mau tas baru dan baju baru."
"Ambil aja semua yang Tika suka, nanti Om yang bayarin."
"Terima kasih Om Burhan." Ucap Tika sambil mencium pipi suamiku.
Entah mereka menyadari kehadiran kami atau mereka hanya berpura-pura tidak mengenal kami. Mata Aska menyiratkan kepedihan saat melihat Anak orang lain yang berada di gendongan ayah nya.
"Yuk nak kita pulang. Bunda udah lelah ni seharian kerja."
"Iya bunda."
Aska hanya menjawab seadanya. Tampak wajah murung menghiasi wajah anak laki-laki ku itu.
"Oh ya nak, seperti nya Bunda kepengen makan bakso deh. Kamu mau nggak."
"Mau Bun, Aska mau makan bakso."
"Tapi ada syaratnya, senyum dulu dong!"
Kami pun bergandengan tangan bersama menuju kedai bakso yang sudah lama tidak kami rasakan.
Aska langsung mencoba memakai sandal barunya. Alhamdulillah anak ku sangat senang dengan sandal pilihan nya.
"Maaf Bu, nggak ada uang pecah."
Tiba-tiba salah satu pelanggan berkata saat melihat ku dan Aska.
"Maaf pak, saya mau makan di sini." Ucap ku pelan.
"Oo saya kira pengemis."
Aku dan Aska pun langsung mencari tempat duduk yang bersebelahan dengan pelanggan tadi. Apa seburuk itu penampilan ku sehingga aku di sangka seorang pengemis?
"Eh ada Kemala, mau pesan apa?"
"Pesan dua mangkuk bakso porsi jumbo ya bik."
"Oke sip! Di tunggu ya."
Pemilik kedai bakso ini sangat mengenal ku. Karena dulu di awal menikah bang Burhan sering mengajak ku ke sini. Namun semua itu tidak bertahan lama.
"Bunda, apa nggak apa kita makan bakso jumbo? Nanti uang bunda habis."
"Untuk anak bunda apapun akan bunda lakukan. Yang penting Aska bahagia dan tersenyum."
Biarlah uang hasil menjual berondolan habis yang penting hati anak ku tidak terluka saat melihat pemandangan tadi.
Kami pun menikmati bakso yang sudah lama tidak kami rasakan. Rasa enak dan bahagia bercampur menjadi satu. Aska makan sambil tersenyum dan aku tahu anak ku pasti sangat bahagia.
"Aska, besok temani Bunda ke hutan mau? Kita nyari apa saja yang bisa di daur ulang."
"Daur ulang itu apa bunda?"
"Daur ulang itu barang yang sudah tidak bisa dipakai lagi, namun masih bisa kita manfaatkan untuk hal yang lain."
"Boleh deh bunda, sambilan nyari jamur ya Bunda."
"Iya deh untuk anak Bunda apa sih yang nggak."
Setelah kenyang, kami pun pulang kerumah. Disana telah berdiri mertua ku dengan tangan yang berada di pinggang. Pandangannya tertuju padaku.
Entah apa maksudnya datang kerumah kami dengan wajah marah seperti itu. Ku lihat sapu-sapu yang akan ku jual besok telah berserakan. Bahkan ada yang sudah patah.
Apakah itu ulah mertuaku? Apa lagi yang akan ia lakukan kali ini. Aku hanya bisa pasrah atas semua keadaan ini.