Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Jangan pergi...
Reghan kembali duduk di kursi rodanya karena tak ingin semua orang tahu, wajahnya pucat, kedua tangannya mencengkeram erat pegangan kursi hingga buku jarinya memutih. Di hadapannya, tubuh Arum terbaring lemah di lantai, tak sadarkan diri. Seorang pelayan wanita berlari mendekat, namun Reghan mengibaskan tangan.
“Jangan sentuh dia! Aku yang akan bawa dia ke kamarnya. Letakan dia di sini," Reghan menepuk pahanya sendiri.
"Tuan, Anda yakin?" tanya pelayan itu, tatapan Reghan adalah jawaban yang tak bisa dibantah.
Dua pelayan laki-laki buru-buru datang membantu mengangkat tubuh Arum atas perintahnya. Reghan memutar kursi roda listriknya dengan cepat, mengikuti mereka menuju kamar Arum. Namun, di tengah perjalanan, ia berkata pelan tapi tegas,
“Kita bawa ke kamarku saja.”
Para pelayan saling pandang, tak berani menolak. Mereka menuruti perintah itu, lalu mengambil dan meletakkan Arum di atas ranjang besar dengan seprai putih yang rapi. Setelah semuanya selesai, Reghan berkata,
“Keluar, semuanya keluar!"
Nada suaranya datar, tapi tak ada satu pun yang berani membantah. Begitu pintu tertutup, suasana kamar mendadak senyap. Reghan menatap wajah Arum yang begitu pucat, helaan napasnya berat. Ia meraih tangan Arum yang dingin, menahannya lama-lama di antara jemarinya.
“Kenapa aku begitu bodoh…” suaranya nyaris tak terdengar. “Kau cuma ingin memastikan aku makan, tapi aku malah...”
Kalimat itu menggantung di udara. Dada Reghan terasa sesak, matanya bergetar menahan sesuatu yang bahkan tak ia pahami. Beberapa menit kemudian, pintu kembali terbuka. Dokter Samuel datang dengan langkah cepat membawa tas kecilnya.
“Tuan muda, apa yang terjadi?” tanyanya, suaranya cemas.
"Dia tiba-tiba pingsan, sudah sejak dari pagi dia terlihat lemah.” Reghan menunduk, tangannya masih menggenggam tangan Arum.
“Tolong periksa segera,” lanjut Reghan
Samuel segera bekerja, dia memeriksa suhu tubuh, denyut nadi, dan pupil mata Arum. Setelah beberapa saat, dokter itu menatap Reghan dengan nada serius.
“Dia kelelahan berat, Tuan. Tubuhnya drop karena tekanan fisik dan emosi. Dia butuh istirahat dan makanan yang cukup. Jangan biarkan dia bekerja lagi untuk sementara.”
Reghan menatap wajah Arum lama-lama. Ada rasa bersalah yang dalam sekali di balik mata dinginnya.
“Dia akan istirahat di sini,” ucapnya pelan namun mantap. “Aku akan pastikan sendiri.”
Samuel menatapnya sejenak sebelum mengangguk. “Baik, saya akan titipkan vitamin cair dan obat. Jika sampai malam tak sadar, segera hubungi saya.”
Setelah dokter pergi, Reghan duduk diam di samping ranjang. Hanya ada suara detik jam dan napas lembut Arum yang teratur pelan. Ia menatap wajah perempuan itu, lalu mengusap rambutnya perlahan.
“Kalau aku bisa menukar apa pun untuk membuatmu tak sakit…” gumamnya lirih. “Aku akan lakukan.” Tangannya terulur, menyentuh pipi Arum yang dingin.
Saat itu, Reghan menunduk, menatap kursi rodanya sendiri dengan pandangan kosong. Ia sadar selama ini ia bersembunyi di balik kelemahan palsu, tapi Arum perempuan itu benar-benar tulus merawatnya tanpa peduli siapa dia.
Malam semakin larut, lampu kamar hanya tersisa satu yang menyala redup di sisi tempat tidur. Suara detik jam terdengar jelas, mengisi keheningan yang terasa panjang.
Reghan masih duduk di kursi rodanya, sedikit menunduk di sisi ranjang tempat Arum berbaring. Wajah perempuan itu tampak pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Sesekali tubuhnya bergerak gelisah, bibirnya bergetar, lalu suara lirih keluar di antara napas yang terengah.
“Ibu ... jangan tinggalkan aku...” suaranya serak dan lemah. “Ayah ... aku tak mau sendiri ... jangan tinggalkan aku...”
Reghan terdiam, tangannya yang sedari tadi bertumpu di lutut perlahan terangkat, ragu-ragu, lalu menyentuh pelipis Arum dengan lembut. Suara gadis itu kembali terdengar, kali ini seperti anak kecil yang ketakutan.
“Tolong ... jangan pergi...”
Reghan menatapnya dalam diam, dada pria itu terasa menegang, bukan karena marah, tapi sesuatu yang lain. Rasa sakit yang selama ini ia pikir hanya miliknya, ternyata juga dimiliki gadis itu. Dengan gerakan hati-hati, ia mengusap pipi Arum perlahan, seolah takut sentuhannya akan menyakiti.
“Tenanglah...” bisiknya pelan. “Tak ada yang akan pergi, Arum.”
Jemarinya berhenti sejenak di pipi itu, lalu berpindah menyentuh dahi gadis itu yang masih panas.
“Kau tidak sendiri sekarang,” lanjutnya, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Tidurlah, aku di sini. Tidak akan ke mana-mana.”
Arum berhenti mengigau perlahan. Nafasnya mulai teratur, dan air mata kecil mengalir di sudut matanya. Reghan menyekanya pelan dengan ibu jarinya. Ia menatap wajah gadis itu lama sekali, lalu bersandar di sandaran kursi rodanya.
“Mungkin ... aku yang seharusnya minta maaf,” gumamnya lirih, hampir seperti berbicara pada diri sendiri. “Kau terlalu banyak menanggung sakit, sementara aku hanya tahu caraku sendiri untuk membalas dunia.”
Beberapa menit kemudian, Reghan masih belum beranjak. Tangannya tetap menggenggam tangan Arum erat, seolah takut kalau perempuan itu pergi saat ia melepaskannya.