Nala Purnama Dirgantara, dipaksa menikah dengan Gaza Alindara, seorang Dosen tampan di kampusnya. Semua Nala lakukan, atas permintaan terakhir mendiang Ayahnya, Prabu Dirgantara.
Demi reputasi keluarga, Nala dan Gaza menjalani pernikahan sandiwara. Diluar, Gaza menjadi suami yang penuh cinta. Namun saat di rumah, ia menjadi sosok asing dan tak tersentuh. Cintanya hanya tertuju pada Anggia Purnama Dirgantara, kakak kandung Nala.
Setahun Nala berjuang dalam rumah tangganya yang terasa kosong, hingga ia memutuskan untuk menyerah, Ia meminta berpisah dari Gaza. Apakah Gaza setuju berpisah dan menikah dengan Anggia atau tetap mempertahankan Nala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon za.zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Mencari Bukti
Suasana meja makan cukup tenang, semua orang sarapan dalam diam kecuali Nenek Puspa dan Zanna yang beberapa kali saling melirik memberi kode. Mereka bisa melihat bagaimana canggungnya keadaan saat ini.
Tidak, yang merasa canggung dan gugup hanya Nala, sedangkan Gaza? pria itu masih makan dengan lahap dan bersikap biasa saja. Seolah semalam tidak terjadi apa-apa. Tidak ada yang memaksa masuk ke kamarnya dan tidak ada rasa canggung karena semalam untuk pertama kalinya mereka berdua tidur bersama.
“Nenek semalam ganggu kalian ya?” tanya Puspa sembari tersenyum lebar.
Nala menggeleng cepat sementara Gaza mengangguk.
“Sangat mengganggu,” ucap Gaza memperjelas anggukan kepalanya.
Nala menggeleng panik. “Gak kok, Nek. Mas Gaza bercanda.” Nala tak enak pada wanita tua di hadapannya ini, bagaimana bisa cucunya sendiri menjawab tanpa peduli perasaannya.
“Maafin Nenek ya?” ucap Puspa sembari menunduk tapi tetap saja, tak ada raut wajah bersalah darinya.
“Nenek hari ini mau kemana? Nenek butuh sesuatu?” tanya Gaza pembuat Puspa menatapnya heran.
Zanna tersenyum lebar. “Aku gak ditanya? aku butuh tas baru.” Zanna sangat antusias.
“Boleh.” Gaza menjawab membuat Zanna membekap mulutnya.
“Serius boleh? Tas mahal sampai jutaan. Boleh?” Zanna memastikan.
“Boleh,” jawab Gaza singkat.
“Huaaaaaa. Alhamdulillah, rejeki anak soleh. Terima kasih Kakakku.” Zanna berteriak senang. Ia segera mendekat ke arah Gaza, berniat memeluk pria itu.
“Stop, jangan mendekat!” Gaza segera menahan Zanna yang bersiap memeluknya.
“Dih kenapa?” tanya Zanna heran. “Tapi gak apa-apa, yang penting dapat tas baru.” Zanna kembali duduk dengan senyuman ceria di wajahnya.
“Nenek mau apa?” tanya Gaza lagi.
“Apa saja boleh?” tanya Puspa pelan.
Seketika Gaza menyesali pertanyaannya. Sepertinya Puspa diam karena merencanakan sesuatu.
Gaza mengangguk pelan. “Boleh.”
Puspa tersenyum senang, binar matanya terlihat memancarkan kebahagiaan. “Ayo lakukan pemeriksaan kesuburan.”
Seketika suasana hening. Zanna yang tadi sangat bahagia ikut diam. Dalam hati ia kesal karena Neneknya tidak paham situasi dan kondisi.
“Baik…” jawab Gaza sembari tersenyum lembut.
“Mas…” Nala menatap Gaza tak percaya.
Bagaimana bisa suaminya itu menuruti semua ucapan Neneknya.
“Tapi…” lanjut Gaza setelah cukup lama diam.
Puspa yang tadi tersenyum senang seketika diam, ia kira Gaza semudah itu untuk setuju.
“Apa?” tanya Puspa kesal.
“Tunggu setelah Nala selesai KKN ya Nek. Biarkan Nala KKN dengan tenang tanpa memikirkan apapun hasil dari pemeriksaan ini. Bisa?” tanya Gaza lembut, ia bahkan menggenggam tangan Neneknya.
Puspa tersenyum kemudian mengangguk setuju, ia kira Gaza akan memberi syarat yang sulit dipenuhi.
“Baiklah, Nenek setuju. Maafin Nenek ya Nala. Karena permintaan Nenek barusan mungkin membebani kamu.”
Nala mengangguk, ia lega setidaknya cara yang suaminya lakukan bisa mengulur waktu. Nala melirik ke arah Gaza yang kini menatapnya sambil tersenyum lembut.
Seketika Nala memalingkan wajahnya, bayangan semalam kembali mengusiknya. Ah… memalukan.
“Tapi tasku sekarang ya, Kak,” pinta Zanna sembari menatap Kakaknya dengan tatapan memohon.
“Iya, setelah ini kamu bisa ke pergi belanja. Tapi antar Nenek pulang dulu,” ujar Gaza, pria itu kembali menikmati sarapannya.
“Kok pulang?” tanya Nenek Puspa heran.
“Loh memangnya Nenek gak pulang?” tanya Gaza pelan.
“Nenek masih mau disini,” ucap Puspa dengan tenang. “Kalian kalau mau jalan atau ke kampus pergi saja. Nenek biar ditemani Mbak di rumah,” lanjutnya.
Nala menatap wanita tua itu tak percaya. Berarti malam ini hingga beberapa malam ke depan dia akan terjebak dengan suaminya sendiri.
“Ini gila,” bisik Nala dalam hati.
***
“Bunda! Assalamualaikum…” teriak Nala dari halaman rumah. Ia baru saja turun dari mobil miliknya, setelah berdebat panjang. Gaza akhirnya mengizinkan dirinya untuk membawa mobil sendiri. Bisa bahaya jika Gaza ikut mengantarnya.
Nala berlari masuk, ia rindu rumah tempat dirinya di besarkan. Selama menikah ia jarang pulang, hanya sekali itupun tidak untuk menginap hanya untuk singgah. Bukan karena marah, hanya saja setelah kepergian ayahnya, rumah terasa sepi. Ia belum terbiasa bahkan hingga detik ini, ia masih tak percaya bahwa di rumah ini tak ada lagi pria paruh baya yang selalu menunggunya pulang sambil menikmati kopi di teras depan.
“Waalaikumsalam, Nala!” Anggia yang sedang berada di ruang tamu terkejut melihat Nala berlari masuk.
“Kak…” Nala berlari memeluk Anggia. “Kangen banget! Adiknya sakit tapi gak dijenguk,” ucap Nala manja tapi di bersamaan dengan ucapan protesnya.
Anggia tersenyum, “biasanya juga mengobati diri sendiri. Kalau kemarin gak pingsan kamu juga gak akan kerumah sakit.” Anggia membalas protes.
Nala mengerucutkan bibirnya, apa yang diucapkan Anggia semua benar. Jika sakitnya masih bisa diobati maka dia akan mengobatinya sendiri. Hanya saja kemarin, suasana hatinya sedang tidak baik. Pikirannya kacau jadi ia mengabaikan demam dan sakit perut yang ia rasakan.
“Tumben kesini?” tanya Anggia sembari membawa adiknya duduk di sofa.
Saat Nala ingin duduk ia terkejut saat melihat Dokter Reza duduk di ruang tamu. Pria itu hanya mengenakan pakaian santai, sudah bisa ditebak kedatangannya bukan untuk urusan pekerjaan.
“Wah ada dokter Reza,” gumam Nala sembari tersenyum mengejek, ia sesekali melirik Anggia yang terlihat kesal.
“Sudah duduk! Kakak panggil Bunda,” ucap Anggia kemudian berlalu dari hadapan Reza dan Nala.
Nala melihat Kakaknya hingga hilang di balik pintu dapur, dengan cepat ia mendekat ke arah Reza.
“Dokter ngapain ke sini?” tanya Nala dengan sangat antusias.
Reza tertawa geli, saat di rumah sakit Nala sangat pendiam bahkan terkesan dingin. Tapi melihat tingkahnya saat ini, Reza sekarang percaya semua cerita Anggia bahwa adiknya ini sangat ceria.
“Jalan-jalan, ketemu Kakak mu dan Bunda.” Reza menjawab sembari memperhatikan ekspresi terkejut Nala.
“Dokter deketin Kak Anggia?” tebak Nala dengan suara berbisik, ia takut Anggia tiba-tiba muncul dan mendengar pertanyaannya.
Reza menatap sekeliling kemudian mendekat ke arah Nala, seolah-olah apa yang akan disampaikannya itu sangat rahasia.
“Iya, doain ya,” bisik Reza membuat Nala mundur sambil membekap mulutnya tak percaya.
“Kenapa?” tanya Reza saat melihat Nala terkejut.
“Gak apa-apa,” balas Nala.
Nala seketika menjauh, pikirannya saat ini tertuju pada Gaza. Bagaimana jika suaminya itu tau, kalau saat ini perempuan yang dicintai didekati oleh seorang pria. Jangan lupakan, Gaza pernah mengakui secara langsung bahwa ia tak menyukai reza.
“Wahh…” gumam Nala sembari menatap Reza tak percaya. Wajah Nala jelas memperlihatkan ekspresi terkejut dan heran secara bersamaan.
Reza mengerutkan keningnya, sepertinya reaksi Nala sangat terlambat. Ia hanya bisa tertawa pelan, menurutnya Nala sangat lucu. Tapi ekspresi wajahnya bukan menandakan ia sedang dengan kedekatan dirinya dan Anggia.
“Nala…” panggil Ratih saat melihat Nala yang duduk tak jauh dari Reza.
Anggia yang mengikuti dari belakang menatap heran ke arah Nala yang hanya diam, seperti baru saja mendapat kabar buruk.
“Nala, kamu kenapa?” tanya Ratih saat melihat Nala tak menjawab panggilannya.
“Nala kenapa, Mas?” tanya Anggia yang melihat Reza menahan tawanya.
“Mas?” ucap Nala mengulang panggilan Anggia pada Reza.
“Loh, kok seperti kaget begitu, La? Ada apa?” tanya Ratih, ia mulai menyadari ada yang salah pada Nala.
“Gak apa-apa. Aku kaget,” ucap Nala sembari mengelus dadanya.
“Kaget?” tanya Ratih. “Sejak kapan kaget seperti ini? kamu seperti habis melihat hantu,” lanjut Ratih sembari mengelus kepala Nala.
Bahu tegap Nala mendadak kempes saat mengetahui kenyataan itu. Niatnya mencari bukti tentang Anggia dan Gaza justru terhempas oleh kenyataan. Pria yang kini tertawa sambil melihatnya, justru sedang menjalin hubungan khusus dengan kakaknya. Nala mengira Kakaknya akan menolak seperti sebelum-sebelumnya. Tapi binar mata Anggia jelas terlihat, bahwa Anggia juga menerima dan mulai membuka hati untuk hubungan baru ini.
Lalu, untuk apa ia di sini? apa masih ada harapan untuk secuil bukti? Setidaknya jejak bahwa Kakak dan Gaza pernah menjalin hubungan khusus sebelum Nala menikah masih tersisa. Atau sesuatu yang bisa membuktikan keduanya masih saling mencintai bahkan setelah Gaza menikah.
“Bun, lapar. Ajak aku makan dong!” ucap Nala mebuat Ratih menggeleng pelan, anak terakhirnya ini benar-benar aneh.
“Ayo ke dapur. Perkara lapar aja bikin kamu jadi bengong begitu. Bunda sampai panik, kirain kamu masih sakit.” Ocehan Ratih terdengar mendengung di telinga Nala.
Nala dan Ratih berjalan ke arah dapur sambil berbicara pelan. Anggia yang melihat itu hanya bisa menghela nafas lega. Ia melirik ke arah Reza, pria itu tersenyum manis ke arahnya, terlalu tulus untuk seorang Anggia.